Segala sesuatu berkabar tentang dirinya sendiri kepada manusia melalui dua jalur sekaligus. Yaitu, melalui pintu lahir dan pintu batin. Dan ketika “kabar” itu direspons oleh manusia melalui akal dan kesanggupan untuk mengingat, maka yang akan muncul adalah ilmu lahir dan ilmu batin.
Ilmu lahir itu berkaitan dengan bagian permukaan segala sesuatu. Sedang ilmu batin berkelindan secara solid dengan dimensi makna atau substansi yang bersemayam pada “bagian terdalam” segala sesuatu yang tak lain merupakan hakikatnya.
Oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), ilmu lahir itu juga disebut sebagai ‘ilm al-abdan yang secara harfiah bermakna ilmu badan. Sedang ilmu batin beliau sebut sebagai ‘ilm al-adyan yang secara leterlek berarti ilmu agama. Atau bisa juga keduanya disebut sebagai ilmu konsep dan ilmu rasa.
Tidak ada kepastian bahwa keduanya itu secara otomatis menyatu dalam diri seseorang. Boleh jadi orang memiliki ilmu konsep yang sangat memadai dan bahkan mengagumkan tentang sesuatu, tapi sama sekali dia tidak mempunyai akses untuk bahkan hanya menyentuh ilmu rasa tentang sesuatu itu. Berarti ilmu orang itu sebenarnya sangat dangkal karena hanya merambah di permukaan saja.
Dalam perspektif dua macam keilmuan di atas, itu berarti masih dunia kulit walaupun sudah seabrek referensi yang dikuasainya, walau telah melahap seluruh isi perpustakaan. Tak sampai pada kenikmatan substansi yang bersemayam di dalamnya. Ibarat orang yang menggenggam buah badam, dia baru mencengkeram kulitnya yang keras, belum sampai pada inti buahnya yang lezat dan terlindungi di dalam.
Itu perlu dilanjutkan. Perlu merambah ke kedalaman ilmu batin. Yaitu dengan merasakan spiritualitas ilmu yang telah dikuasainya itu. Di situ, seseorang akan bergetar hatinya karena tersentuh oleh kemahaan ilmu hadiratNya. Lenyaplah ilmu yang dimilikinya. Menjelma ilmu Allah Ta’ala sepenuhnya.
Ketika telah sampai pada dimensi batiniah itu, ilmu apa pun yang sedang ditekuni atau dimiliki seseorang akan senantiasa menjadi tangga rohani untuk sesering mungkin sowan kepada hadiratNya. Baik yang ditekuni itu ilmu agama atau bukan, tak peduli, sama saja.
Akan tetapi jika seseorang baru sampai pada dimensi lahiriah, biarpun yang ditekuni itu ilmu-ilmu agama atau bahkan ilmu tasawuf sekali pun, ilmu-ilmu itu tidak akan menyodorkan apa pun kepadanya selain aneka ragam kehambaran yang menjenuhkan. Tak ada kenikmatan spiritual. Tak ada cengkerama dengan hadiratNya lewat jendela ilmu itu.
Andai kita shalat dan tak merasakan perjumpaan dengan Allah Ta’ala, sungguh hal itu masih merupakan bagian dari belenggu ilmu konsep, masih sangat jauh dari jangkauan ilmu rasa. Ibaratnya, itu masih merupakan rangka semata, tak ada roh kehidupan hakiki di dalamnya. Betapa hambar. Betapa dangkal. Nau’dzu biLlah min dzalik. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024