Dua Sudut Pandang Tentang Pohon Rezeki

m.ok.ru

Kegundahan mengusik Suman untuk melakukan perjalanan jauh ke padepokan Eyang Sukmo di lereng Gunung Lawu. Seperti sudah mengerti akan kedatangan Suman, senja itu Eyang Sukmo berdiri menanti di pelataran, bersedekap, di bawah pohon nangka  yang bergelantungan buah-buahnya, dibiarkan rekah, menebar harum. Tersentak, turun dari mobil, Suman tergopoh-gopoh mendekati Eyang Sukmo, menyalami dan mencium tangannya.

“Kau serupa bulan yang pudar cahayanya,” kata Eyang Sukmo, penuh kasih.

Suman merasa sebagai kanak-kanak salah tingkah, dan tertebak seluruh hasrat yang tersembunyi dalam hati. Ia merasa serupa kijang buruan yang terperangkap dalam jebakan, dan memerlukan pembebasan. Kesunyian padepokan Eyang Sukmo biasanya memberi ruang serupa  ladang pembebasan, yang mengembalikan kelincahannya.

“Apa yang kauinginkan? Ingin cari tempat sunyi?” tanya Eyang Sukmo, meledek. “Kau seperti orang-orang kota yang lain, yang mencari kesunyian ketika kalah, dan meninggalkanku ketika menemukan cahaya hati.”

Tak berani menukas, Suman menenangkan diri, menenggelamkan kegetiran hidup masa silamnya. Ada bayang-bayang masa lalu yang gelap, nestapa, yang selalu ingin dihindarinya kini.

Dalam remang senja Suman melacak jajaran pohon palem ekor tupai, yang disebut orang pohon rezeki, dan ia mesti membaca simbol-simbol pepohonan itu. Jajaran pohon palem ekor tupai itu banyak yang patah dahannya. Dalam pandangan Suman, daun-daunnya merangggas, layu, dan mengering. Langkah Suman bimbang mengikuti jalan yang mengarah ke bawah jajaran pohon rezeki. Ia paling sering mendatangi pohon rezeki. Ia menyusuri jalan setapak, di sekitar naungan jajaran pohon itu. Gugup. Ia tak pernah melihat pohon rezeki meranggas. Termangu, ia berhenti di bawah jajaran pohon palem ekor tupai, dan Eyang Sukmo menyusulnya.

“Lihat, ke atas! Amati daun-daun itu, apa yang kausaksikan?” kata Eyang Sukmo. Suman tengadah. Ia tak percaya dengan pandangannya: dalam remang cahaya bulan dilihatnya daun-daun yang mengering. Dahan-dahan pohon palem ekor tupai itu menghitam. Tubuh Suman seperti lumpuh, dan menggugat dalam hati: seperti inikah ujung pencarianku? Pohon-pohon rezeki masih kokoh berjajar di tepi kolam, dengan dedaunan yang ranggas. Apakah ini isyarat bagi habisnya rezekiku? Tetapi tidakkah pekerjaanku sebagai pemborong  perumahan masih terus berlangsung? Suman masih dipercaya sebagai pemborong sebuah perumahan di daerah perluasan kota. Dalam sepuluh tahun mendatang, ia merasa masih akan berkelimpahan rezeki. Seandainya  ia ingin menikah lagi, tentu masih banyak wanita, bahkan gadis, yang mau mendampinginya.

“Kau terkejut dengan apa yang kaulihat ini?” tanya Eyang Sukmo. “Tidak seperti yang kaubayangkan, pohon rezeki dalam keadaan kering menghitam daun-duannya. Tidak hijau segar sebagaimana biasa.”

“Apa aku akan kembali pada kehidupan yang susah di masa lalu?”

“Hidup tak dapat dikembalikan ke masa silam. Kau memang harus menerima keadaan ini. Mudah-mudahan kau cukup tabah.”

Dulu pertama kali Suman datang ke padepokan Eyang Sukmo pada malam terang bulan, bersama istri, baru menikah sebulan, dengan naik bus dan angkutan desa. Betapa jajaran pohon rezeki itu memberinya harapan dan kegairahan: hijau, tertimpa cahaya bulan. Tenteram duduk berdua di tepi kolam dengan bunga-bunga teratai mengapung di tengahnya, dan di tanggul ditumbuhi bunga-bunga sri rejeki. Istri Suman tak mau beranjak dari bawah jajaran pohon rezeki, meski kabut turun, kian pekat.

Kini, tanpa istri di sisi Suman, mengapa daun-daun pohon rezeki itu tampak ranggas? Hatikukah yang telah ranggas? Atau lantaran aku kehilangan istri? Suman merasa serba salah berada di tepi kolam–yang dalam pandangannya–menyusut airnya, dan bunga teratai mengapung layu.

                                                                 ***  

Bulan setengah lingkaran, bening, tanpa kabut, tanpa angin, di atas jajaran pohon palem ekor tupai, yang dianggap pohon pembawa berkah. Eyang Sukmo yang menanamnya berjajar di tepi kolam, dengan air tampak surut. Bunga teratai terkulai layu. Di tanggul  kolam terlihat terkulai layu bunga-bunga sri rejeki yang biasanya berwarna segar merah jambu, berkilau cahaya bulan permukaannya. Suman beranjak meninggalkan tepi kolam. Ingin ia mendatangi sendang kehidupan. Barangkali di sendang kehidupan ia menemukan pancuran air yang bening berlimpah. Ia sering mendengar kisah para tamu yang membasuh muka dan mengambil air  di sendang itu.

Suman meninggalkan pohon rezeki, kolam dengan bungai teratai layu dan bunga-bunga sri rejeki yang meranggas. Ia kembali ke pendapa padepokan Eyang Sukmo. Memasuki kamar. Tidur. Lelap, dalam kemasygulan.

Di pendapa padepokan Gani datang mengetuk pintu, lelaki yang kini tampak menua, dengan rambut dan kumis beruban. Lelaki itu hidup dalam kebersahajaan. Eyang Sukmo memandangi tamunya yang kini tampak menua, dengan kening berkerut. Ia seorang lelaki yang hampir pensiun, dan mencari kebahagiaan dengan menabuh gamelan di pendapa rumahnya. Ia paling senang menghentak kendang setiap kali menabuh gamelan bersama teman-temannya. Kadang ia memahat topeng-topeng yang dikenakan para penari. Topeng-topeng dengan berbagai gurat wajah manusia.

“Saya bawakan topeng pahatan terbaru untuk Eyang,” Gani memberikan sebuah topeng yang baru dipahatnya. Eyang Sukmo menerima topeng itu. Dipasang di dinding pendapa rumahnya. Gani selalu datang ke pedepokan Eyang Sukmo untuk mengantarkan topeng-topeng yang dipahatnya. Dia memandangi perangai Eyang Sukmo ketika menerima topeng itu: apakah takjub, biasa, atau tak berkenan. Bila wajah Eyang Sukmo takjub, mengamat-amati topeng itu lama dengan terpukau, tiba di rumah Gani melanjutkan memahat topeng-topeng serupa.

“Kenapa kau selalu membawakan topeng-topeng pahatanmu?” tanya Eyang Sukmo, seperti menjajaki perasaan Gani.

“Eyang akan memberi petunjuk padaku, mana topeng yang harus kupahat, dan mana topeng-topeng  yang mesti kulupakan,” balas Gani. “Lagi pula, saya selalu merasa tenteram setelah menyerahkan topeng itu pada Eyang. Esok pagi saya akan kembali pulang dengan gairah baru.”

Melihat cahaya mata Eyang Sukmo, Gani merasa pasti, lelaki tua itu tak berdusta. Gani ditinggalkan seorang diri, berada di tengah temaram cahaya lampu pendapa. Ia seorang diri, dengan rokok, segelas kopi, dan ubi rebus yang dimakan sesekali. Lelaki yang menua itu melarutkan dirinya dengan kesendirian, kesepian, dan perenungannya. Ia seperti tak memerlukan apa pun, kecuali suasana sepi pendapa. Eyang Sukmo beranjak tidur, Gani masih duduk merokok. Ia seorang pencari keheningan. Ia mencari ketenangan, yang jauh dari hiruk-pikuk manusia. Betapa Gani sangat tenang, dengan sepasang mata yang bening, tanpa pergolakan. Ia berada dalam pendapa yang senyap, sempurna dengan dirinya sendiri.

Menjelang fajar Gani bangkit dari duduk bersila seorang diri. Masih tersisa bungkus rokok di kantongnya. Masih tersisa endapan kopi di gelasnya, yang paling manis dalam cecapan lidahnya. Dia bangkit, pelan-pelan, melintasi pintu pendapa yang semalaman dibiarkan terbentang. Langit merah jambu di puncak Gunung Lawu. Menembus kabut tipis, Gani menuruni jalan setapak menuju kolam: jernih, berlimpah, penuh air menggenang, dengan bunga teratai yang sempurna mekar.

Jajaran pohon palem ekor tupai hijau segar, daun-daunnya berembun, runcing-runcing, dan bunga-bunga sri rejeki merah jambu bermekaran di tepian kolam. Gani berjongkok, membasuh wajahnya dengan air kolam, dingin, meresap sampai ke dada. Ia menemukan kembali kesegaran, bahkan kegembiraan yang kadang lenyap manakala memahat topeng di pendapa rumahnya.

Air kolam itu meresapkan kesejukan sampai ke dada Gani. Ia seperti terbasuh dari debu-debu kota yang menebal di antara pori-pori kulitnya. Sudah waktunya pulang, meninggalkan padepokan Eyang Sukmo. Ia tahu menemukan Eyang Sukmo sepagi ini: di kandang kuda. Eyang Sukmo tengah memberi rumput kuda putih, gagah, dan bersih. Gani menyalami Eyang Sukmo, mencium tangannya, dan lincah sekali berjalan kaki, mencapai mobilnya, yang akan membawanya ke kota di pesisir utara Tanah Jawa, dan kembali pulang ke rumahnya yang senyap. Esok ia akan kembali memahat topeng serupa yang diserahkan Eyang Sukmo, yang menerima topeng itu dengan bahagia.

                                                                  ***

Tak ingin melihat kembali pohon rezeki, Suman merasa gersang hatinya. Ia akan meninggalkan padepokan Eyang Sukmo dengan kegundahan. Eyang Sukmo menepuk-nepuk punggungnya, menggoda dengan ledekan, “Tak ingin lagi melihat pohon rezeki?”

Menggeleng, Suman merasa tak ada gunanya melihat pohon rezeki yang semalam tampak ranggas. Ia memacu mobilnya, menuruni lereng Gunung Lawu, dengan perasaan masygul. Sepanjang jalan, Suman melihat, deretan tanaman gersang, serupa musim kemarau panjang, tanpa turun hujan. Ia merasakan kegersangan sepanjang jalan, dan kehilangan kegairahan pandangan sebagaimana biasa ditemukannya dalam perjalanan ke padepokan Eyang Sukmo.  Suman merasa tertipu pandangannya sendiri ketika melihat deretan tanaman layu, serupa menanti datangnya guyuran hujan.

Dalam perjalanan menuruni lereng Gunung Lawu, Suman enggan pulang ke rumah. Ia tak akan menemui istrinya di rumah kayu yang luas, yang ditinggalinya dalam kesunyian. Istrinya sudah meninggal. Memang ada dua anak yang menunggu kepulangannya. Tetapi mereka tak mengisi kegersangan hati setelah istrinya meninggal—tak tergantikan dengan siapa pun. Betapa pun selama ini istrinya terbaring sakit, selalu saja Suman menemukan ketenteraman hati, ketika pulang, dan menemukan ketenangan. Ia masih mengenang semasa hidup susah di masa lalu. Tiap kali ia pulang, mendapati kamar istrinya selalu kosong—seprai yang bersih selalu berganti yang baru, tak seorang pun tidur di atasnya. Ia lebih suka tidur di kursi pendapa, dalam keadaan letih, dan melupakan kehilangan istri. Ia  tak pernah menduga bakal menjalani hidup hanya dengan anak-anak dan pembantu di rumah.

                                                                 ***

Mengikuti semua yang diucapkan Eyang Sukmo, Gani terus mengendarai mobilnya. “Jalanilah hidup dengan yang kaumiliki. Kau akan bahagia!” Ia merasakan hangat matahari lereng Gunung Lawu, hijau tetumbuhan, dan kegembiraan para petani penggarap ladang. Tiap kali pulang dari  padepokan Eyang Sukmo, ia selalu menemukan gambaran topeng baru yang hendak dipahatnya di rumah. Semalam duduk sendirian di pendapa, dalam diam, dengan segelas kopi dan beberapa bungkus rokok, dia merenungkan kembali gurat pahatan topeng yang baru diserahkan pada Eyang Sukmo dan dipasang di dinding pendapa. Dada yang sesak itu kembali lapang. Ia membasuh muka di kolam bawah jajaran pohon palem ekor tupai, di tanggul bertumbuhan bunga sri rejeki, dan di tengah kolam terapung-apung bunga teratai. Ia   mengakui dalam hati, tiap kali gelisah menjelang pernikahan putrinya, Dewi Laksmi, ia memahat topeng-topeng yang seperti dikelupas dari wajahnya: beraneka perangai. Tetapi begitu ia membasuh muka di bawah jajaran pohon palem ekor tupai yang dinamai pohon rezeki, ia tenang: merasa kembali pada diri sendiri, dengan wajahnya yang asli.

Tenteram, Gani mengendarai mobilnya yang membawanya  ke kota pesisir utara Tanah Jawa. Sebulan lagi ia akan kembali ke pendapa padepokan Eyang Sukmo, menyerahkan topeng baru dan membasuh wajahnya di kolam dengan bunga teratai, di bawah jajaran pohon rezeki.

Tenang, penuh dengan kepastian, Gani mengendarai mobilnya menuruni lereng Gunung Lawu. Ia belum pernah sekali pun mengajak Dewi Laksmi, anak gadisnya, ke padepokan Eyang Sukmo. Tetapi Dewi Laksmi selalu percaya akan semua yang dikisahkan ayahnya tentang jajaran pohon rezeki, kolam bening dengan bunga-bunga teratai dan bunga-bunga sri rejeki tumbuh di tanggul. Berulang kali peristiwa membasuh muka di kolam selalu menjadi kisah yang ditunggu Dewi Laksmi. Dulu, sebelum datang ke padepokan Eyang Sukmo, Gani dikenal sebagai seorang pemurung, perokok berat, suka memainkan gamelan—tiap kali merasa gelisah. Tetapi begitu mengenal Eyang Sukmo, mengenal pohon rezeki, memandangi bunga-bunga teratai itu, Gani memiliki kegairahan memahat topeng, dan memenuhi dinding pendapa rumahnya dengan topeng-topeng itu. Gani tak lagi gelisah.

Kini Gani mengendarai mobilnya pelan-pelan, dan menikmati pemandangan dari balik jendela kaca. Ia akan mencapai kota kelahirannya, tiba di kota pesisir utara Tanah Jawa, memasuki rumah kayu. Selalu ada hal yang indah: segelas kopi kental yang disuguhkan anak gadisnya, Dewi Laksmi, diseduh dengan tangan gemulai seorang penari. Harum, kental, dan rasa manis dalam gelas besar, terasa pas dalam cecapan lidahnya.

Ia melupakan peristiwa istrinya meninggalkan rumah hanya untuk bisa menikmati hidup bersama Suman.

                                                                       ***

                                                                                             Pandana Merdeka, Oktober 2018

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!