![](https://basabasi.co/wp-content/uploads/2022/08/hibernasi-10-agustus-2022-1024x726.png)
Di cermin lemari, ia berkaca. Roncean melati dan tiga cunduk menthul terpasang di sanggul. Ia mulai menari. Wajahnya tertutup topeng Sekartaji. Sosok penari ini bolak-balik menuju lemari. Tarian berhenti saban ia berhadap-hadapan dengan cermin. Sanggul, cunduk menthul, topeng, kace, sampur dan jarit bertahap ia tanggalkan.
Dalam karya berjudul “Sastra Jiwangga” itu, Rianto membangun cerita: kelembutan dan kegagahan adalah kelaziman di depan cermin. Tapi di luar cermin, kelembutan dan kegagahan lekat dengan purbasangka. Kepedihan pun tak terelakkan. Di akhir tarian, Rianto mengekspresikannya melalui gerakan Baladewan⸻babak penutup pertunjukan lengger yang jadi simbolisasi permohonan pada Tuhan Yang Mahakuasa⸻dengan mimik muka tertawa sekaligus menangis.
Eksperimentasi Lengger
Muasal lengger konon dikreasikan oleh petani sebagai bagian dari ritus kesuburan. Merujuk penelitian Sunaryadi, Lengger: Tradisi dan Transformasi (2000), tarian ini bermula pada abad ke-16 dan dimainkan oleh laki-laki yang berpenampilan perempuan. Paradigma yang melatarbelakanginya: Simbolisasi hukum alam yang serbamendua, sebagaimana siang-malam, baik-buruk, atau kebahagiaan-kepedihan.
Dalam wajah tradisi, dimensi ketubuhan penari lengger melekat sebagai personifikasi magis (indang). Konstruksi semacam itu, membuat penari lengger diperlakukan bagian dari dunia yang bersifat metarealitas. Dalam unsur pertunjukan, tari lengger sekian lama terkunci pada konvensi (pakem). Namun, keumuman ini mulai terlepaskan dengan kemunculan eksperimentasi bentuk dan wacana terhadap lengger.
Dua wajah yang konsisten berkreasi mengeksperimentasikan lengger, yakni Rianto dan Otniel Tasman. Keduanya memang tetap terikat pada tradisi. Tapi baik Rianto maupun Otniel membangun lorong referensialnya masing-masing yang muaranya mengeksplorasi tubuh yang lepas dari sekat stereotip gender.
Rianto dan Otniel tanpa beban membuka dirinya. Keduanya memaknai gejala-gejala dari sudut pandang yang terkait dengan aspek psikologis maupun sosiologis sebagai perlawanan terhadap prasangka. Kecenderungan ini di Rianto tampak dalam karya Medium (2016) atau Hijrah (2018). Sedang di Otniel Tasman tersiratkan dalam Barangan (2013), Lengger Laut (2014), atau No She He or It (2016).
Tampak dalam “Lengger Laut” yang dimainkan oleh Otniel Dance Community di Jagad Lengger Festival (JLF) 2022 pada 27 Juni 2022, bahwa tubuh diwacanakan Otniel tak perlu terikat pada stereotip gender. Karya ini punya kaitan dengan riwayat transformasi seorang lelaki bernama Sadam yang kemudian populer sebagai maestro lengger bernama Dariah. Otniel lewat “Lengger Laut” hendak memaparkan bahwa pasang dan surut tradisi lengger yang menghidupi dan dihidupi oleh Dariah menjadi jalan kultural dan spiritual untuk memutuskan hakikat kemanusiaannya.
Transformasi Lengger
Menengok sejarah, lengger telah mengalami sejumlah transformasi. Di abad ke-17, lengger yang mulanya ditarikan laki-laki mulai digantikan oleh perempuan. Wang Dahai, pelajar dari Fujian yang berkelana bersama kapal dagang Tiongkok menuju Jawa menceritakan bahwa pakter-pakter Tionghoa yang mendapat penghasilan dari sarang burung walet, saat masa panen kerap mengundang gadis-gadis penari, atau ronggeng sebagai bagian ritus kesuburan (lihat Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal Kontribusi Orang Tionghoa. 2010).
Di masa Orde Lama, lengger sebagai pertunjukan seni rakyat dianggap jadi alat partai politik menggalang massa. Pada masa Orde Baru, lengger pun mengalami institusionalisasi hidup dalam pengawasan militer agar tak tersusupi “bahaya laten”. Di era reformasi, muncul kemudian tari calengsai, perpaduan antara kesenian tradisi Banyumas, calung, dan lengger dengan kesenian Tionghoa, barongsai. Gema multikultur dalam kreasi calengsai termungkinkan sebab politik kebangsaan nonrasial yang digagas oleh Presiden Indonesia ke-4, Abdurrachman Wahid atau Gus Dur.
Di abad kita, drama “baik” dan “buruk” seni tradisi lengger tak kunjung sudah. Sosok lengger diangkat oleh Garin Nugroho dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (2019). Dalam buku Memoar Garin Nugroho: Era Emas Film Indonesia (2020), Garin menulis film yang mewacanakan maskulin dan feminin ini dilarang beredar atas keputusan pemerintah daerah di lima kota. Penyebabnya film ini dianggap mengampanyekan LGBT.
Lengger dengan segala transformasinya menunjukkan bahwa makna dan pengertian lengger dari waktu ke waktu tidak ajek (unfix). Transformasi lengger baik dari segi kategorisasi gender pelaku, motif pertunjukan, maupun eksplorasi wacana tergantung pada konteks waktu dan nilai-nilai masyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh politik, agama, maupun ekonomi.
Memaknai Lengger
Menengok kembali hari kemarin, juga abad-abad yang telah lewat, sejatinya lengger tak pernah kehilangan daya kreatifnya. Lengger dalam wajah simbolisasi hukum alam yang serbamendua bisa dimaknai pula sebagai penerimaan pada perbedaan, sebagaimana kesaksian Wang Dahai tentang kaitan ronggeng dengan jejak multikultural di Nusantara atau calengsai sebagai sikap budaya nonrasial.
Di masa kini, eksperimentasi Rianto dan Otniel memungkinkan lengger menjadi teks yang majemuk. Lengger termungkinkan mengalami penandaan-penandaan baru⸻bukan sebatas lagi ritus kesuburan⸻tapi sehimpun irama gerakan yang menekankan pesan: Tiap manusia berhak hidup dalam keberagaman tanpa diskriminasi dan persekusi.
- Dua Wajah Lengger - 10 August 2022
- Kaligrafi Warisan Ayahku - 29 April 2020
- Perang, Puisi dan Laut - 10 November 2018