
Bila ke Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang memiliki luas wilayah hijau mendominasi, coba imajinasikan selain lebatnya hutan atau autentiknya kehidupan masyarakat lokal. Tempat ini adalah surga tersembunyi yang menyimpan banyak keindahan lain, salah satunya adalah hewan endemik dari perairan Danau Sentarum.
Jumat sore itu, langit terlihat akan hujan. Namun, Ade Mustafa sudah tak sabar segera pulang menemui keluarganya. Alhasil, kami berdua berkendara motor selama tiga jam menembus hujan demi tujuan berpindah dari langit ibukota kabupaten di Putussibau ke langit pedalaman Selimbau, sebuah daerah di hulu Sungai Kapuas yang terhubung ke Danau Sentarum. Jika kawan saya bepergian karena alasan keluarga, saya datang ke “Kampung di Atas Air” untuk sesuatu yang menarik perhatian saya, yaitu melihat panen ikan siluk.
Kampung yang saya tuju bernama Desa Titian Kuala, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu. Mengapa saya menyebut tempat ini sebagai “Kampung di Atas Air”? Karena dibangun dengan pondasi kayu tinggi yang aman dari tergenang luapan air antara tiga sampai lima meter.
Kampung ini merupakan salah satu daerah yang menjadi asal hewan endemik paling terkenal bagi pecinta ikan hias, yaitu ikan siluk. Melalui perjumpaan dengan kampung inilah, saya mencoba bercerita bagaimana satwa ini tak sekadar dimaknai sebagai komoditas, tetapi mewarnai pula kehidupan masyarakat di sekitar habitat aslinya.
Hewan endemik yang terancam punah
Ikan siluk merupakan sebutan lokal untuk ikan arwana jenis Super Red dengan nama latin Scleropages formosus. Masuk dalam kategori dilindungi dan masuk dalam Apendiks 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Merupakan jenis ikan endemik yang habitatnya sangat terbatas, yaitu di perairan Danau Sentarum dan perairan yang terhubung ke hulu Sungai Kapuas.
Pemijahan ikan siluk berlangsung secara external fertilization atau pembuahan di luar tubuh. Induk betina akan mengeluarkan telur kemudian induk jantan mengeluarkan spermanya untuk membuahi telur. Telur hasil pembuahan akan disimpan oleh induk jantan di dalam mulut selama dua bulan. Dalam jangka waktu itu induk jantan tidak akan makan atau berpuasa.
Proses panen ikan di kolam Pak Haji Muk
Pangsa pasar ikan siluk mulai merebak sekitar tahun 1970-an. Sejak itu, penangkapannya dilakukan besar-besaran di alam liar. Waktu itu, ikan siluk masih bisa dijumpai di bawah tiang penyangga rumah warga saat air sungai pasang. Cerita ini saya dapatkan dari saudara ipar teman saya, biasa dipanggil Pak Cik.
Saat ini, jangankan menemukannya di bawah tiang rumah, keberadaannya di Danau Sentarum pun telah sangat sedikit. Selain perburuan besar-besaran di alam liar, Pak Cik menganalisis pula fenomena kelangkaannya dari sistem penangkapan ikan konsumsi di perairan Danau Sentarum dan hulu-hulu sungai yang tak diatur dengan baik. Dulu, ia ingat, ketika remaja paling tidak sebulan sekali ia mengikuti kapal besar yang membawa ikan hasil tangkapan dari danau dan perairan sekitarnya ke Pontianak. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, berton-ton ikan!
Overfishing inilah yang menurutnya menyebabkan berbagai kelangkaan ikan, termasuk penyebab punahnya beberapa jenis hewan air tawar. Penangkapan menggunakan pukat harimau selama puluhan tahun telah mengancam kelestarian berbagai habitat satwa.
Nah, generasi yang lebih tua (saksi hidup yang berusia lebih dari 70 tahun), menyatakan bahwa dulu ikan siluk hanya dimanfaatkan sebagai ikan asin. Ya, ikan asin! Hal ini karena ikan siluk kurang enak dikonsumsi. Jadi bayangkan, dari ikan yang sangat berlimpah sekarang menjadi satwa langka yang dilindungi.
Betapa fantastisnya ulah manusia.
Kepercayaan masyarakat
Saya berkesempatan melihat panen ikan siluk dari dekat di kolam ikan milik Pak Ade Munawir, atau yang akrab disapa Pak Haji Muk, dua hari setelah kedatangan saya di Selimbau.
Dua penjaga kolam Pak Haji Muk telah turun ke kolam. Dua lainnya menarik pembatas kolam ke pinggir. Setelah ikan yang membawa anakan berhasil ditangkap, satu orang memegang bagian mulutnya. Tepat sebelum mulut ikan ditekan untuk mengeluarkan anakan, orang tersebut meneriakkan selawat Nabi sebanyak tiga kali, diikuti oleh yang hadir dengan keceriaan seperti menyambut bayi lahir. Allahumma shalli ‘ala Muhammad …
Saya terkesima melihat fenomena ini. Ada tempat khusus bagi ikan ini di hati masyarakat rupanya. Apa yang menyebabkan mereka ‘menghormati’ satwa tersebut setinggi itu?
Anakan Arwana yang baru dipanen
Kepercayaan yang berkembang seputar ikan siluk yang umum didengar orang adalah kepercayaan orang Tionghoa yang menyebutnya sebagai “ikan naga”. Menurut kepercayaan mereka, ikan yang memiliki sungut menyerupai naga ini merupakan ikan bertuah, yang membawa keberuntungan. Berdasarkan feng shui, ikan ini dianggap sebagai simbol dari kesehatan, kegembiraan, dan kemakmuran. Memelihara ikan arwana juga dianggap meningkatkan status sosial si pemelihara.
Melalui sisi mitologi inilah plus keberadaannya yang langka dan pengembangbiakannya yang tergolong tak mudah beserta jumlah peranakan per kelahiran yang sedikit (ikan siluk bereproduksi sekali atau dua kali setahun, dengan rentang reproduksi rata- rata 20–30-an ekor per induk. Bandingkan dengan ikan arwana brasil yang bisa mencapai ratusan ekor per induk dan mampu bereproduksi hampir setiap bulan), harga ikan siluk menjadi sangat mahal di pasar ikan hias.
Nah, mitologi semacam itu pada masyarakat di sekitar habitat asli ikan siluk memang tidak ada. Masyarakat sekitar beretnis Melayu dan Dayak. Saya kurang mengetahui bagaimana suku Dayak memberi makna pada ikan ini. Namun, bagi etnis Melayu, saya sedikit mendapat pengetahuan bagaimana ikan siluk meresap ke sisi filosofis (atau mungkin religiositas?) masyarakat.
Hampir dua dekade, ikan siluk marak dibudidayakan di kolam penangkaran milik warga. Sejak ditetapkan sebagai satwa langka plus harganya sangat mahal, mendorong penangkapan liar di habitat aslinya. Sehingga, meskipun masuk dalam kateori Apendiks 1 CITES, pemerintah memberikan kebijakan memperbolehkan jual beli dengan syarat harus dari ikan penangkaran.
Kebijakan ini saya rasa cukup efektif pada sisi konservasi, karena masyarakat akan fokus melakukan kembang biak dalam kolam ketimbang berburu di alam liar.
Selama dua dekade, ikan siluk telah banyak membantu perekonomian masyarakat, yang mayoritas nelayan perairan air tawar atau petani ladang, sekarang memiliki opsi lain yaitu jual-beli ikan hias yang menguntungkan.
Geliat perekonomian warga tumbuh. Bagi yang memiliki modal, mampu membangun kolam dan berjualan ikan hias dengan omzet ratusan juta. Adapun masyarakat umum yang tidak memiliki akses modal mumpuni, masih bisa menikmati ‘percikan’ rezeki dengan cara memelihara satu-dua ekor ikan siluk hingga dalam hitungan bulan atau beberapa tahun setelahnya, dijual kembali dengan harga berlipat.
Kondisi ini tentu saja menjadi berkah bagi masyarakat, ketika dihadapkan pada susahnya mencari penghasilan dari mata pencaharian lain. Singkat kata, sebagaimana kepercayaan etnis Thionghoa, ikan ini membawa peruntungan bagi warga sekitar.
Tak ayal, ikan ini pun dianggap bertuah oleh masyarakat. Apalagi, ikan ini pun memiliki mitologi lainnya: tak bisa dipastikan kapan bisa bereproduksi. Di suatu penangkaran ada yang dalam satu tahun bereproduksi sekali, ada yang sampai dua kali, bahkan ada yang ‘hoki’ yaitu tiga bulan dua kali panen. Di lain tempat, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun belum juga bereproduksi. “Ikan ini tidak bisa dipaksa,” kata Pak Haji Muk.
Karena itulah, mungkin, berkembang pula cara pandang masyarakat, dari yang hanya memandang sebagai komoditas menjadi lebih dari itu. Misalnya, masyarakat percaya ikan siluk tidak bisa didapatkan dari hasil yang tidak baik, seperti berjudi, mencuri, korupsi, dan segala macam uang tidak halal lainnya. Jika asalnya dari uang itu, diyakini tidak akan memberikan rezeki banyak bagi pemiliknya. Pun dengan segala akad jual-beli, tidak akan berhasil jika ada aspek penipuan di dalamnya.
Hal-hal semacam inilah yang mungkin menyebabkan ikan siluk dihormati. Bagaimana gejala-gejala alam diolah menjadi sisi religiusitas dan pemaknaan filosofis bagi saya menakjubkan. Di tengah praktek-praktek menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan ekonomi, pemaknaan seperti ini seperti ‘oase’ di tengah keterpurukan nilai-nilai manusia.
Maka, teriakan selawat Nabi ketika panen ikan adalah ungkapan ekspresi yang estetik. Ada persambungan rasa dari satwa yang dipelihara dengan kebudayaan masyarakat. Kemudian lahirlah produk budaya baru dari interaksi yang terjadi. Kebudayaan tersebut lahir tidak secara serta-merta, tetapi melalui pengolahan nilai yang ada di masyarakat, yaitu nilai-nilai relijiusitas yang dipadukan dengan filosofi khas dari masyarakat.
Ada ungkapan terima kasih, ada ungkapan bahagia, ada harapan, ada kebersamaan, dan ada titik terang untuk melihat ke masa depan. Maka, tak salah apabila ekspresi yang ditunjukkan dari selawat Nabi itu seperti halnya menatap kelahiran bayi, sang penerus peradaban dan kebudayaan manusia. (*)
- Eksotisme sang Ikan Naga - 8 June 2022
- Cerita dari Batas Negeri - 9 January 2019
- Danau Sentarum, Denyut Alam Kapuas Hulu - 4 April 2018