Judul : Para Raja dan Revolusi
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : November 2016
Tebal : 212 halaman + sampul
ISBN : 978-602-769-618-1
Kamu membayangkan seseorang menanyaimu apa yang semestinya dilakukan sebuah esai. Dan kamu membayangkan, kamu menjawabnya seperti ini: “Membuka seluas mungkin kemungkinan pembacaan terhadap sesuatu sehingga sesuatu itu tidak lagi terlihat sebagai dirinya yang tunggal melainkan dirinya yang jamak, yang dengan itu berpotensi memantik lahirnya pemahaman-pemahaman baru yang lebih komprehensif dan tentunya kritis.” Pemahaman ini, kamu dapati setelah kamu membaca esai-esai Linda Christanty di Para Raja dan Revolusi.
Kamu sudah jatuh suka pada esai-esai Linda Christanty sejak lama dan kamu tidak merasa kesulitan menemukan sesuatu yang kamu kemukakan itu di esai-esainya Linda dalam Para Raja dan Revolusi. Di esai pertama, misalkan, “Sejarah Keluarga adalah Sejarah Politik”, Linda menunjukkan bahwa narasi sebuah keluarga sesungguhnya tidaklah hanya bercerita tentang orang-orang dalam keluarga itu melainkan juga narasi politik yang tersirat di sana, termasuk keterlibatan orang-orang di keluarga tersebut—baik aktif maupun pasif, baik sebagai pelaku maupun korban—dalam sejarah negara dan dunia. Linda menghadirkan beberapa contoh: narasi Reggie Baay (Belanda), narasi Dacia Mariani (Italia), dan narasi Bre Redana (Indonesia). Linda mengungkapkan bahwa sejumlah hal yang dialami orang-orang ini yang kemudian melekat di ingatan mereka tidak bisa dipisahkan dari pergolakan politik sebuah negara, dari sejarah sebuah bangsa. Linda mendorong dirimu untuk memahami bahwa dalam sebuah struktur sosial yang kecil sesungguhnya tersembunyi sebuah struktur sosial yang besar, yang akan memberimu pemahaman yang lebih baik apabila kamu mengetahuinya. Di akhir esainya ini, Linda berkata: “Sejarah keluarga ternyata tidak hanya mengungkap dari mana kita berasal atau berakar, tetapi memperlihatkan bagaimana kekuatan di luar rumah kita membentuk, menyatukan, atau memisahkan individu-individu di dalamnya. Sejarah keluarga adalah sejarah politik.”
Sesuatu semacam ini kamu temukan juga di esai berjudul “Percakapan yang Hilang di Pagi Hari”. Sejatinya, esai ini menawarkan sebuah hubungan pertemanan dua sosok manusia, yang salah satunya adalah Linda sendiri. Namun ia kemudian dengan mudah dan wajar menawarkan hal-hal lain yang lebih dari itu, semisal situasi tak kondusif di Timur Tengah atau kebijakan politik Amerika Serikat yang lagi-lagi dianggap tidak tepat sasaran. Esai ini juga menawarkan apa-apa yang hidup dan muncul dalam benak si penutur, yakni Linda, seperti soal ExxonMobil yang terlibat dalam sejumlah kasus penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan di masa berlangsungnya konflik antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Sekali lagi, kamu mendapati bahwa dalam sesuatu yang semula kecil kamu melihat sesuatu yang ternyata besar; pada awalnya kamu melihat sesuatu itu sebagai dirinya yang tunggal namun kemudian kamu melihatnya sebagai sesuatu yang ternyata jamak.
Kamu terhibur dengan bentuk esai seperti itu. Bukan hanya kamu beroleh informasi dan argumen si penulis, kamu juga terhibur, sebab kamu merasa disuguhi sejumlah “pengalaman” yang membuatmu seperti sedang berhadapan dengan cerita, dengan kisah, dengan narasi yang bergerak. Dari sebuah titik kamu dibawa ke sebuah titik lain lalu ke sebuah titik lain lagi lalu ke sebuah titik lainnya lagi. Linda memancingmu untuk tidak hanya berada di satu ruang dan menganalisa sebuah peristiwa, melainkan juga berada di ruang-ruang lain yang di sana kamu mungkin akan melihat peristiwa itu sedikit berbeda. Pengayaan sudut pandang, lewat dihadirkannya peristiwa-peristiwa lain, yang terkait dengan peristiwa-utama. Kamu menyimpulkannya seperti itu. Dan kamu tahu, dengan mengikuti alur yang ditawarkan Linda, kamu memang merasa kamu berada di posisi yang lebih memungkinkan menilai si peristiwa-utama itu secara adil.
Satu hal lainnya yang kamu pahami dari membaca Para Raja dan Revolusi adalah kecenderungan Linda untuk melakukan represi, terhadap kritik-kritiknya sendiri. Yang satu ini telah menarik perhatianmu sejak lama sebab kamu sesungguhnya heran mengapa seseorang yang bermaksud melontarkan kritik justru menekan kuat-kuat kritiknya itu. Yang kamu maksud adalah fakta bahwa kritik dalam esai-esainya Linda tidak pernah berujung dramatis dan emosional; selalu pada akhirnya kritik tersebut dibatasi, dihentikan, diputus sebelum sisi emosional si penulis mungkin muncul. Kamu mendapati hal ini salah satunya di esai berjudul “Dewa Ibu dan Orang Kasim”.
Esai ini membuka dirinya dengan dua kasus pemerkosaan. Korban yang satu adalah bayi berusia 2,5 tahun. Korban yang satu lagi seorang remaja SMP bernama Yuyun yang diperkosa 14 lelaki, yang setelah diperkosa tubuhnya dibuang ke jurang. Dua kasus ini, jika disajikan secara mendalam, berpotensi menguras kesabaranmu dan membangkitkan kemarahanmu bahkan mengalirkan air matamu. Akan tetapi, Linda seperti mencegah itu terjadi. Ia memang menyebutkan bahwa Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menangis di pusara si bayi tadi, dan menambahkannya dengan kalimat “televisi menayangkan adegan sedih ini”, namun ia tidak menciptakan pusaran di dua kasus tersebut yang kiranya mampu mengisap dukacitamu. Kamu, justru dibiarkan dengan mudah mengeluarkan diri dari kesedihan dan kepedihan yang tentu ada pada dua kasus tersebut, untuk kemudian dihadapkan pada sejumlah “pengalaman” lainnya.
Kamu lantas menduga dengan melakukan represi tadi itu Linda sedang berusaha menjagamu tetap tenang, tetap jernih dalam berpikir, tidak terpancing untuk memuntahkan caci-maki lantas tenggelam dalam kebencian membabi-buta. Linda berusaha membuatmu “melupakan” dulu sejenak dua kasus tadi, lalu menjejalimu dengan permasalahan-permasalahan lain yang bisa jadi dengan menganalisisnya sebuah solusi konkret bisa terwujud—atau setidaknya muncul. Linda mengajakmu bertanya mengapa pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi. Ia lantas menawarkan padamu jawaban yang berasal dari seorang antropolog Amerika yang pernah meneliti sistem kekerabatan di Sumatera Barat pada awal 1980-an, Peggy Reeves Sanday: pemerkosaan biasa terjadi dalam masyarakat yang perempuannya tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit peran maupun akses dalam politik dan kekuasaan. Lupakanlah dulu kepedihan tadi, dan cobalah wujudkan apa yang mungkin kita wujudkan. Seolah-olah itu yang hendak diutarakan Linda kepadamu.
Tentunya kamu juga menemukan represi-represi semacam itu di esai-esai Linda yang lain. Di esai “Charlie Hebdo dan Monumen Kegilaan”, misalnya, ada bagian ini: “Seorang lagi mengisahkan peristiwa yang membuat seisi ruangan terhenyak. Dia berasal dari negara di Asia Tengah dan tinggal di salah satu penampungan pengungsi di awal kedatangannya di Belanda. Suatu hari dia diperkosa. Tetapi kemudian dia memutuskan untuk memberi kehidupan kepada janinnya. ‘Sekarang anak saya berumur tiga tahun, perempuan. Saya ingin dia mempunyai masa depan yang lebih baik,’ ujarnya, tersenyum.”
Membacanya kembali kamu seperti disadarkan bahwa represi yang dilakukan Linda itu bertujuan untuk membuat dirimu—juga pembaca-pembaca lain—kuat, dan optimis. Apa yang dialami si pengungsi itu sungguh buruk, kamu tahu itu, namun ia menutup penuturannya dengan kalimat-kalimat yang positif, yang menunjukkan optimisme dan gairah hidup. Kamu mungkin tidak akan mudah bergerak ke arah sana apabila kamu terbawa dan terombang-ombang oleh arus kepedihan tadi, oleh penderitaan-penderitaan yang didramatisasi sedemikian hebatnya. Esai-esai Linda yang penuh represi itu, dengan kata lain, menawarkan padamu sebuah cara efektif menyikapi penderitaan, yakni dengan tidak membiarkan dirimu tertahan—apalagi tenggelam—di sana dan mengarahkan pandangan ke depan, ke hari esok yang masih misterius yang di sana mungkin bertaburan hal-hal baik. Kamu menerimanya, meski di saat yang sama kamu mengakui: kamu bukanlah tipe orang seperti itu.
Di esainya yang berjudul “Ironi dalam Perjuangan” Linda menghadirkan dua kalimat ini: “Manusia dapat menciptakan sejarah dan mengubah arahnya. Tetapi selebihnya hanya misteri.” Kamu tahu pernyataan Linda tersebut merujuk pada orang-orang yang dulu bertikai kemudian meneruskan garis keturunan dan keturunan-keturunannya ini justru melakukan yang sebaliknya—menjalin kebersamaan bahkan membangun keluarga. Namun kamu juga mengembangkan pemahamanmu atas pernyataan tersebut ke arah yang lebih luas, bahwa kehidupan dan segala macam yang ada padanya itu dinamis. Konstelasi politik senantiasa berganti-ganti. Begitu juga penilaian orang-orang akan sebuah peristiwa atau benda, atau bahkan kata. Dan sementara hal itu pasti terjadi, Linda mengajakmu sebisa mungkin membuka mata selebar-lebarnya dan “membaca” apa-apa yang kelak “tertangkap oleh matamu” itu—demi kehidupan yang lebih baik.(*)
- Manusia Modern dan Realitas yang Bergerak Cepat - 28 December 2019
- Sebuah Lubang yang Lebar dan Dalam - 29 November 2019
- Pesan Moral - 29 September 2017