Judul : Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keragaman Aliran
Penulis : Jeremy Wallach
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : Pertama, Juli 2017
Tebal : 342 hlm
ISBN : 978-602-9402-75-9
Barangkali lantaran keunikan dan kekayaan budayanya, Indonesia menjadi langganan bagi para peneliti Barat untuk melakukan riset akademik. Beberapa peneliti kemudian identik dengan Indonesia, bahkan disebut sebagai indonesianis. Sebut saja misalnya Benedict Anderson, Peter Carey, William Liddle, atau Herbert Feith. Kebanyakan dari mereka meneliti tentang politik, agama dan budaya tradisional. Anehnya, tidak banyak peneliti Barat yang tertarik menelaah kebudayaan populer Indonesia. Selain Krishna Sen dan Andrew Wintraub, nyaris tidak ada peneliti yang secara serius menaruh perhatian pada budaya populer Indonesia. Padahal sebenarnya kajian tentang budaya populer Indonesia tidak kalah menariknya dengan kajian politik atau agama.
Jeremy Wallach mengisi kekosongan kajian budaya populer Indonesia itu dengan menulis buku Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia. Buku ini sebenarnya terbit pertama kali sejak 2008 lalu, namun hanya dikenal di kalangan tertentu saja. Mungkin karena Wallach menulisnya dalam bahasa Inggris. Setelah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu dengan judul Musik Indonesia: Kebisingan dan Keberagaman Aliran, gaung buku ini mulai meluas dan menjadi bahan perbincangan. Wallach memang membatasi hasil penelitiannya dari tahun 1997-2001. Namun, secara keseluruhan apa yang ditulis Wallach dalam buku ini tetap relevan untuk masa sekarang.
Buku ini terbagi ke dalam dua bagian yang kesemuanya saling berhubungan. Di bagian awal, Wallach membahas segala hal mengenai situs musik Indonesia, mulai dari aliran, proses perekaman, cara pemasaran-pendistribusian, pembuatan video klip, sampai pertunjukan musik langsung. Di bagian kedua, Wallach mendedah hasil penelitian partisipatifnya, bergaul dengan musisi dan penikmat lintas genre di Indonesia, khususnya Jakarta. Sebagai sebuah kajian budaya populer di bidang musik, karya Wallach ini bisa disebut sumbangan penting, lantaran kejeliannya dalam menafsirkan apa yang ia lihat. Salah satunya adalah ketika ia melihat unsur politis dari cara pedagang menyusun dagangan kasetnya di rak. Bisa jadi, bagi sebagian orang hal itu akan luput dari perhatian.
Buku ini memang hasil dari penelitian ilmiah kualitatif dengan metodologi etnografi. Namun, teori-teori berat yang kadang kala membosankan untuk dibaca itu tidak kentara dalam karya Wallach. Keterlibatan langsung Wallach dalam berbagai event musik dan pertemuannya dengan pegiat musik populer Indonesia menjadikan buku ini kaya dengan data. Detail-detail data di lapangan itu ia sajikan dengan gaya bahasa mengalir dan tidak menjemukan. Pada titik ini, Wallach membuktikan kelasnya sebagai seorang etnografer yang mampu menggali data di lapangan melalui metode partisipatif dan menyajikannya ke dalam narasi yang begitu hidup.
Misalnya ketika ia menceritakan suasana dan karakter para pengunjung sebuah bar dangdut di salah satu sudut Jakarta. Dengan apik Wallach mendedahkan bagaimana bar dangdut merupakan tempat melepas beban hidup bagi kalangan kelas menengah-bawah Jakarta. Di bar dangdut, kelompok masyarakat yang selalu menjadi objek pembangunan (develop mentalism) ini bebas minum alkohol, bernyanyi, dan berjoget dengan sang biduan. Interaksi dan percakapan pengunjung bar dangdut itu berhasil ia tampilkan secara natural tanpa menyisakan kesan bahwa ia adalah orang luar yang tengah meneliti (outsider researcher). Guyonan khas masyarakat pinggiran Jakarta yang segmented dan kadang hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri pun dapat dipahami Wallach dengan sangat baik. Wallach menyimpulkan bahwa musik dangdut merupakan musik yang paling adaptif dan aspiratif terhadap problem masyarakat kelas bawah. Menurutnya, musik dangdut selain sebagai hiburan sebenarnya juga bermakna politis.
Dengan tema besar musik populer di Indonesia, buku ini membahas segala aliran musik mulai dari pop, rock, punk, metal, underground, sampai dangdut. Wallach melihat adanya arus besar globalisasi tengah deras masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah menjamurnya musik populer yang terinspirasi dari kebudayaan pop Barat. Namun demikian, Wallach tidak melihat musik populer Indonesia sebagai semata tiruan musik populer Barat. Musik populer Indonesia punya ciri khas sendiri dan punya cita rasa lokal. Menurutnya, musik populer Indonesia adalah alat perlawanan atas isu sosial-politik, bahkan atas globalisasi itu sendiri.
Nuansa perlawanan sosial-politik itu tampak kentara dalam musik-musik indie beraliran punk, metal, dan underground. Istilah indie merujuk pada musik yang diproduksi dan didistribusikan oleh kalangan sendiri, bukan oleh perusahaan musik besar. Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, skema musik nasional tumbuh pesat. Musik dan kebudayaan populer yang di masa Orde Baru dilarang atau dianggap tabu mulai berani muncul di ruang publik. Termasuk komunitas punk, metal, dan underground yang sebelumnya kerap dianggap sebagai “musuh” stabilitas sosial. Kemunculan banyak band baru tidak hanya membawa aliran musik yang segar, namun juga mendobrak sistem sosial yang mapan. Beberapa band memainkan musik lintas-aliran, menggabungkan unsur-unsur musik yang sebelumnya dianggap bertentangan dengan tujuan memprotes klasifikasi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial.
Dalam konteks musik metal, Wallach menilai bahwa musik metal Indonesia memiliki ciri dan karakter yang khas dari metal internasional. Lirik lagu metal berbahasa Indonesia adalah ciri menonjol yang membedakan metal Indonesia dengan metal internasional. Unsur pembeda lainnya juga ada pada tema lagu. Di Barat, lagu band-band metal umumnya bertemakan satanisme, okultisme, ateisme, dan sejenisnya. Di Indonesia musik metal didominasi wacana sosial-politik. Meski ada, tema-tema seputar satanisme tidak begitu populer. Bagi Wallach, musik memang tidak pernah lepas dari konteks sosial-politik, dan hal itu pula yang ia lihat dalam konteks masyarakat Indonesia.
Karya Jeremy Wallach, profesor di bidang etnomusikologi ini patut diperhitungkan dalam kancah penelitian budaya populer Indonesia. Kualitasnya patut disejajarkan dengan karya indonesianis lain yang punya pemahaman tentang keindonesiaan yang memadai. Buku ini cocok menjadi rujukan bagi pemerhati dunia musik populer Indonesia, terutama untuk mengetahui bagaimana akar kemunculan musik-musik independen tanah air yang hari ini justru mendominasi musik tanah air. Juga untuk mengetahui bagaimana perkembangan musik Indonesia berkait kelindan dengan situasi sosial-politik yang menyertainya.
- Politik Transaksional dan Bobroknya Demokrasi Kita - 21 September 2019
- Ekspresi Keberagamaan Kaum Muda Muslim Milenial - 29 September 2018
- Sosiologi Rock: Melawan Melalui Budaya Populer - 19 May 2018