Judul : Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault
Pengarang : Risda Nur Widia
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 216 halaman
ISBN : 978-602-391-350-3
Membaca ulang sejarah, apalagi menuliskan ulang sejarah dalam bentuk cerita pendek seharusnya menjadi usaha penulis untuk tidak sekadar mengungkap, namun mengambil sikap: mempertanyakan kebenaran sekaligus kesalahan. Sehingga yang kemudian terjadi yaitu, penulis berdiri sebagai pembuka jalan baru, rute alternatif, atau teropong lain untuk melihat apa yang lampau terjadi, atau bisa jadi, mendongkrak sekaligus melawan arus dari dogma lama yang pernah dikatakan Pram, “sejarah adalah milik penguasa.” Namun yang lazim terjadi di belantara sastra negeri ini adalah penulis bertindak hanya sebagai kreator ulang dari apa yang telah ada sebelumnya, di mana mereka sekadar memindahkan apa dari A ke B, atau sebagaimana apa yang dikemukakan Goenawan Mohammad perihal pengkajian sastra: memandang karya sastra sebagai fakta sosial dan fakta mental. Kelaziman ini pun nyaris dilakukan oleh Risda Nur Widia dalam kumpulan cerpen terbarunya, Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault.
Bila dibanding yang lain, yang lebih mendominasi dalam kumpulan cerpen ini adalah tema-tema sejarah. Seperti banyak penulis lain, Risda mencoba menuliskan riwayat kekerasan dan borok sejarah Indonesia yang hampir selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di sinilah saya menemukan penulis hampir saja monoton seperti pendahulunya, sebatas memamerkan potret-potret sejarah. Kita lihat saja dalam cerpen-cerpen yang bertemakan 1965, Ketakutan yang Dirahasiakan, Seratus Kepala di Bawah Rembulan juga Darah ini Merah, Gowok! Beruntung Risda dapat menyelamatkan diri dari jebakan “memamerkan potret sejarah”.
Sebagai penulis yang bukan korban tragedi atau pelaku sejarah tersebut, Risda mencoba mengambil jarak, sengaja ada yang ditahan sebagai usaha Risda memberi ruang renung bagi pembaca sehingga penceritaannya tidak tumpah ruah menjadi kisah yang horor. Di sinilah, Risda mengambil sikap, cara pandang seorang penulis terhadap sejarah dengan berbagai siasat teknik mengolah cerita. Baca saja cerpen “Darah Ini Merah, Gowok!” Pembaca akan dibawa ke suatu ruang untuk memandang Gowok (seorang wanita yang memiliki profesi membimbing dan mengajari berhubungan intim seorang pria yang sebelum dia menikah dan berkeluarga dengan istri resminya) dari sudut pandang yang netral: lensa mata kemanusiaan dan realitas masyarakat pada zaman itu untuk menciptakan simpulan.
“Mula-mula, Tari jijik dengan tugasnya sebagai gowok. Tari tak bisa membayangkan harus serumah dan seranjang dengan pria yang tidak dicintainya selama seminggu; melayani layaknya istri. Hingga mengajari hal-hal yang secara naluriah bisa dilakukan seorang pria apabila melihat wanita telanjang. Namun karena pujian; kedudukan social tinggi; harta melimpah, Tari menikmatinya.” (hal.70)
Jelas sekali, menjadi gowok bukanlah pilihan hidup Tari, melainkan dorongan dan bentukan kultur masyarakat dan Neneknya. Kekerasan mental itu tak diam di situ, kedatangan sekelompok militer yang merangsek, memojokkan Tari dengan tuduhan yang sama sekali tak ia pahami, memaksa mengatakan hal yang tak ia mengerti, bahkan hingga melakukan kekerasan seksual.
Dalam cerpen lain, sejarah yang meski mengisahkan riwayat kekerasan menjadi tak melulu pedih, menjadi konflik batin yang sentimental sekaligus menjadi kompleks. Risda tahu porsi-porsi ceritanya dalam penyajian teror, permenungan, dan metafor. Sebagai amsalnya, cerpen “Seratus Kepala di Bawah Rembulan” yang berkisah tentang konflik asmara buruh tani dalam cengkeraman penguasa tanah dan pergerakan BTI; dan “Tamu dari Masa Lalu dan Kisah yang Pecah di Waktu Sore” tentang seorang suami yang lolos dari peristiwa penculikan ‘65 untuk pulang menemui keluarganya yang tak lagi dimilikinya. Di antara sekian banyak cerita bertema sejarah, yang paling unik adalah “Als Ik Eens Nederlander Was” dengan referensi yang jarang terjangkau dan dipakai penulis lain. Risda berusaha mengisahkan kembali pergerakan Tiga Serangkai dan suaranya dalam menggagalkan pesta peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda. “Hitler dan Neraka yang Dibuatnya” berkisah tentang kondisi psikis seorang tentara dalam medan Perang Dunia II menghadapi kematian yang senyata “neraka”.
Selain tema sejarah, kumpulan cerpen ini juga menyajikan tema bermuatan lokalitas. “Jatilan” dan “Pulung Gantung” mengusung tema lokalitas Gunung Kidul. Menceritakan lokalitas tentu saja tak dapat lepas dari penggunaan bahasa dan dialek lokal demi menjaga keaslian bahasa dan nilai lokalitas. Hal yang luput dari tangan kreatif penulis buku ini saat berkisah tentang lokalitas (Jawa khususnya) adalah kekurangtelitiannya dalam mengadopsi bahasa-bahasa lokal, semisal pagebruk yang semestinya pegebluk (wabah penyakit); keretek yang semestinya teretek (jembatan). Terlepas dari itu, “Kutukan Lembah Baliem” adalah yang cukup menarik. Berkisah tentang tradisi masyarakat suku di Lembah Baliem, di wilayah Pegunungan Jayawijaya yang terlibat perang antarsuku lantaran kisah cinta terlarang anak kepala suku dengan saudaranya. Nilai lokalitasnya meruak dalam berbagai cara dan upacara perkabungan, juga rekonsiliasi kedua belah suku. Cara berkabung sebagai tanda pengorbanan (kesetiaan) yang tragis; memotong jari bagi perempuan yang ditinggal mati keluarganya. Kesedihan seolah kesialan, seolah kutukan para dewa, seolah petaka yang menghuni jari-jari sehingga mesti diputus.
“Di Lembah Baliem, kesedihan adalah darah dan pengorbanan. Kenangan merupakan kepedihan. Pagi itu, kau terbangun dengan sebuah jari kelingking yang putus. Begitu pun dengan mamamu. Pada malam yang sama tanpa pengetahuanmu, ia diam-diam juga memotong jari manis di tangan kirinya. Semua itu ia lakukan untuk menebus rasa sedih yang membebani hati; menebus kutuk para dewa.” (hal. 31)
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa cerpen-cerpen Risda dalam buku ini turut mengukuhkan pandangan bahwa karya sastra sebagai fakta sosial, lewat cerpen “Obituarium Bagi yang Hidup”, “Seribu Kupu-Kupu di Langit”, “Ziarah tanpa Makam”, “Bayi-Bayi Langit” berusaha mengekspos tragedi sosial. Namun di sisi lain, sebagai penyeimbang, penulis pun menghadirkan apa yang disebut sebagai “fakta mental”; cerita-cerita yang dibangun berdasarkan perenungan mendalam seorang pengarang. Baca saja cerpen “Filosofi Rumah” yang mewedar muatan-muatan pesan moral dalam kisah pencarian tanah dan pembangunan rumah sepasang pengantin baru, juga cerpen “Musafir” dan “Lempengan Emas”. Sementara cerpen “Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault” yang menjadi judul kumpulan cerpen ini tampil dengan gaya kontemporer dan membicarakan hal-hal keseharian manusia kekinian yang gelisah dan pencarian sesuatu yang hilang dari hidupnya. “Pohon Langit” satu-satunya yang bisa digolongkan sebagai dalam kategori ekologi sastra dalam buku ini.
“Setiap pagi dan sore Tarno merawat pohon; menyiramnya dengan kasih serta cinta. Tanpa segayung air seperti yang dikatakan pria itu. Dan benar! Biji pohon itu tumbuh… Pohon itu tumbuh lebih cepat dari seharusnya. Kini di kampung telah tumbuh dua pohon. Asap semakin menipis diisap pohon-pohon tersebut.” (hal. 181)
Dalam cerpen ini penulis berusaha menyuarakan ekokritisisme. Ungkapan “menyiramnya dengan kasih serta cinta. Tanpa segayung air” semacam pernyataan halus bahwa pelestarian lingkungan tak membutuhkan material atau modal lain selain kesadaran “kasih dan cinta” lingkungan itu sendiri. []
Tuban, 1 Mei 2017
- Imajinasi yang Subversif dan Pencarian Jati Diri - 21 March 2020
- Fakta Sosial dan Fakta Mental dalam Cerita Pendek - 3 June 2017