FIKSI MORAL

Seni itu memberikan pengajaran, tulis John Gardner dalam On Moral Fiction (1978). Seni, sebagai lawan dari kekacauan, menemukan apa yang bisa dikatakannya. Itulah moralitas seni. Gardner, tentu saja dalam harapan dan visi yang menempatkan fiksi dalam sastra sebagai bagian dari agen perubahan. Meletakkan etika, benar dan salah sebagai prinsip. Untuk itu, dia menegaskan bahwa seni memiliki tujuan sosial yang penting. Gardner percaya bahwa seni, termasuk fiksi sastra, memiliki efek positif dan negatif pada penonton, pembaca, pemirsa, atau pendengar. Seni jarang netral secara moral.Tujuan seni lebih dari sekadar instruksi: ia “menciptakan mitos yang bisa membuat masyarakat hidup, alih-alih mati”. Itu satu-satunya perangkat peradaban yang paling signifikan untuk mempelajari apa yang harus ditegaskan dan apa yang harus ditolak.

Namun, seperti halnya dikeluhkan Gardner, bahwa kaum modernis, dan selanjutnya posmodernis mengabaikan peran moral dalam fiksi. Bentuk estetika menggeser sepenuhnya kebajikan etika. Tujuan seni modernisme adalah capaian estetika, meskipun tidak selalu hampa makna seperti tuduhan Gardner pada Giles Goat Boy novel karya John Barth (1966), misalnya, sebagai bagus sebagai tulisan, tapi hampa makna. Moral dalam sastra modern, pada bentuk wacana, sering kali lebih membawakan gagasan yang menyusup sebagai politik yang disusupi bentuk agitprop (agitasi dan propaganda) yang sering kali digunakan dalam perang kebudayaan di dunia. Raul Capote, seorang sastrawan Kuba, misalnya, sebagai contoh, mengaku pernah diminta menyusupkan bahan propaganda dalam novelnya dengan bayaran sepuluh ribu dolar Amerika di tahun 1984.

Fiksi moral, terutama bergerak sebagai tulang punggung sastra di masa Romantisme dan terutama masa Victoria di abad ke-19. Tetapi, kemudian digeser oleh kebutuhan quasi-artistik, sebagai capaian seni dan sastra di masa modernisme yang berkembang di akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an. Kita akhirnya kekurangan akses pada model novel seperti Madame Bovary karya Gustave Flaubert dan Anna Karenina karya Leo Tolstoy atau Guy de Maupassant yang secara narasi membawa kita pada artikulasi moral yang jelas. Sastra modernisme, selain digerakkan oleh tema-tema kehancuran, refleksi diri, antiagama, individualisme, dan lainnya, secara prinsip digerakkan oleh semangat frasa Make IT New! Sebuah frasa yang diambil dari judul kumpulan esai Ezra Pound (1934). Frasa itu menjadi prinsip bahwa kebaruan bentuk estetika (artistik) adalah yang utama dalam modernisme, seperti makna modern itu sendiri sebagai ‘saat ini’. Maka, sejauh masa modernisme berkembang kita mendapati pelbagai aliran lahir seperti absurdisme, surealisme, dadaisme, dan sebagainya. Maka, fiksi moral menjadi tidak terlalu penting.

Ukuran Moral

Tetapi tentu, saja apa yang menjadi ukuran moral setiap ruang dan waktu akan berbeda. Setiap tempat memiliki ciri dan akarnya sendiri. Tetapi kebaikan selalu universal. Dalam ukuran Timur, moralitas, seperti tergambarkan dalam Sistem moral ‘Timur’ memerlukan etika komunitas atau etika ketuhanan, yang menekankan pentingnya memenuhi tugas seseorang atau mencapai tujuan kelompok. Sebaliknya, moralitas ‘Barat’ menyoroti hak individu untuk memilih dengan pertimbangan utilitarian, daripada tuntutan sosial yang dipaksakan dari perhatian deontologis (Kwang-Kuo Hwang, 2015). Profesor Primadi Tabrani, misalnya, dalam “Bahasa Rupa” (1991) mengafirmasi dua perbedaan Timur dan Barat itu sebagai bahasa rupa dalam seni rupa dengan membedakan ciri Timur adalah Waktu-Ruang-Datar (RWD) yang berciri naratif sebagai ciri sosial dan deformatif yang simbolis. Sedangkan bahasa rupa Barat adalah Naturalis-Perspektif-Momenopname (NPM)—yang di dalamnya membawa unsur individual. Tujuan moral dengan demikian juga mampu membawa ciri identitas dalam seni seperti dua perbedaan ukuran moral di atas.

Jalan Tengah

Hanya saja, tujuan fiksi moral seperti tesis Gardner di atas sebagai emansipasi perubahan sosial selalu bersifat debatable. Pertarungan kaum Lekra dan Manikebu, contohnya, di tahun 1960-an pada dasarnya bagian dari perdebatan ini. Bahwa posisi seni diperebutkan untuk tujuan masing-masing. Dalam posisi ini, Arif Budiman (Soe Hok Djin), salah seorang dari Manikebu, mengoreksi posisinya dengan meletakkan tujuan seni sebagai alat perubahan dalam masyarakat seperti halnya kaum Lekra di masa lalu. Arif Budiman setidaknya menyarankan bahwa sastra Indonesia sebaiknya mempertimbangkan subject matter (sastra kontekstual, 1984) yang berpijak pada kondisi masyarakat demi memperoleh tujuan moralnya. Tujuan ini jelas berbeda dengan keyakinan Manikebu yang moralnya adalah artistik dan individual.

Hanya saja, pengabaian terhadap bentuk artistik (estetika) dan menekankan pada moral itu sendiri adalah ketimpangan. Seni, mungkin saja, memberikan pengajaran, tetapi toh juga seperti kata Gardner, bahwa seni adalah lawan dari kekacauan—dalam arti lain bahwa seni butuh keindahan (artistik) seperti pula dunia yang beradab. Dengan demikian, sastrawan memiliki tanggung jawab paradoks, dua kali lipat, dan dua arah: terhadap masyarakat atau komunitasnya, tetapi juga terhadap keahliannya, seni menulis sastra. Artinya, seni membutuhkan semua itu sekaligus. Dan dari semua itu, kita sendiri bisa menentukan seni kita sebagai pilihan dalam konteks identitas kebangsaan bila masih dianggap perlu. Untuk itu, jalan tengahnya adalah memilih seni dengan tanggung jawab kebajikan etika sekaligus kebajikan estetika. Mungkin demikian.[]

Ranang Aji SP
Latest posts by Ranang Aji SP (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!