Judul : Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme
Penulis : A. Setyo Wibowo
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2019
Tebal : xv + 208 halaman
ISBN : 978-979-215-769-7
Sebermula, filsafat adalah semuanya: pengetahuan, doktrin, laku hidup, dan lain-lain. Filsafat dianggap ibu segala ilmu karena pada masa Yunani Kuno dahulu, filsafat berbicara tentang hampir semua hal. Pada zaman modern, semua hal itu dibagi-bagi ke bidang ilmu yang spesifik: matematika, fisika, biologi, sosiologi, dan sebagainya. Selain lebih spesifik, bidang-bidang ilmu selesai sebagai pengetahuan belaka, tidak selalu bisa dipraktikkan sebagai laku hidup (way of life). Bidang ilmu apa pun memang membantu kita memahami gejala dan peristiwa dalam hidup, tetapi ia tidak seperti—katakanlah—agama atau tradisi yang dapat dipegang sebagai tuntunan. Berbeda dari bidang-bidang ilmu modern, filsafat Yunani Kuno menjanjikan dirinya sebagai pengetahuan sekaligus sebagai laku hidup.
Salah satu aliran filsafat Yunani Kuno yang dapat diandalkan sebagai laku hidup adalah stoikisme. Aliran filsafat itu belum begitu terkenal di Indonesia. Bahkan, dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan W.J.S. Poerwadarminta sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima (2016)—termasuk versi daringnya, kata “stoikisme” absen. Padahal, aliran filsafat Yunani Kuno lain, misalnya platonisme dan sofisme, sudah ada dalam kamus. Jika pengertiannya saja belum diterangkan dalam kamus, kita boleh berasumsi orang Indonesia banyak yang belum mengerti stoikisme, apalagi mempraktikkannya sebagai laku hidup. Maka, buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme (2019) karya A. Setyo Wibowo (atau yang akrab disapa Romo Setyo) terbit pada saat lebih tepat.
Barangkali sejak Pilpres 2014, dan meruncing di Pilkada 2017, orang Indonesia terpecah dalam dua kelompok besar yang melulu berseteru. Orang-orang yang memilih tidak bergabung dengan satu di antara dua kelompok besar itu pun bukan berarti bebas dari dampak perseteruan. Semua orang sangat mungkin terpapar emosi negatif akibat perseteruan yang mendasarkan diri pada politik identitas. Romo Setyo pun menjelaskan mengapa stoikisme relevan pada masa sekarang. “Stoikisme sangat bermanfaat untuk kesehatan jiwa. Stoikisme secara rasional mengajari kita untuk membedakan fakta dan opini. Ajaran ini dengan gamblang menunjukkan bahwa yang menyebabkan kita galau, kacau, marah, sedih, iri, dan segala emosi negatif lainnya adalah akibat opini (dan sama sekali bukan akibat fakta tertentu),” tulis Romo Setyo.
“Stoikisme adalah ajaran filsafat yang menawarkan ‘terapi jiwa’. Membaca uraian stoikisme, kita diberi perangkat rasional untuk membedakan mana fakta mana opini, dan bersikap agak cerdas demi kewarasan kita sendiri,” lanjut Romo Setyo. Salah satu poin penting dalam stoikisme adalah pembedaan antara mana yang bergantung pada kita dan mana yang tidak bergantung pada kita. Misalkan, kita sedang terjebak macet, kita bisa saja marah-marah, mengumpat, membunyikan klakson berkali-kali, tetapi apakah itu akan mengurai kemacetan? Tentu saja tidak. Kita punya pilihan untuk tetap bersikap tenang, menerima fakta bahwa kita tidak memiliki kontrol untuk mengenyahkan macet. Macet atau tidaknya jalanan bukan bergantung pada kita, yang bergantung pada kita adalah respons terhadap macet itu: memilih bersikap tenang alih-alih mengganggu para pengguna jalan dengan umpatan dan bunyi klakson.
“Pemilah-milahan itu penting,” kata Romo Setyo terkait pembedaan antara mana yang tergantung pada kita dan yang bukan. “Stoikisme mengajar kita cara menggapai kebaikan, sesuatu yang sifatnya bukan ‘di luar sana’ melainkan sepenuhnya ada dalam wilayah jangkauan kita. Dan dengan menggapainya, kita mencapai bahagia.” Lalu, apa pengertian bahagia ala stoikisme? Tujuan tertinggi stoikisme adalah apatheia (absence of troubles), yakni situasi di mana seseorang telah kebal terhadap emosi-emosi negatif. Epiktetos, salah satu filsuf stoik, mengajarkan pada muridnya bahwa situasi apatheia bukan dicapai dengan mematung (not like statue), tetapi tetap berinteraksi dan berelasi sebagaimana selayaknya.
Stoikisme memang tak cukup dipelajari dengan membaca buku, jurnal, dan artikel tentangnya. Sebagai salah satu aliran filsafat Yunani Kuno itu, cara terbaik mempelajari stoikisme tentu saja dengan mempraktikkannya dalam keseharian melalui askesis atau latihan. Setelah memahami pembedaan antara mana yang tergantung pada kita dan yang bukan, kita sebenarnya sudah punya pegangan untuk askesis. Objek askesis hanyalah mana yang tergantung pada kita, atau apa-apa yang bersangkutan dengan jiwa (hasrat, impuls, dan penilaian). Dengan askesis, kita tidak lagi bersikap spontan dan subjektif, melainkan mendisiplinkan opini kita terhadap realitas, atau dalam bahasa sederhana: menjadi lebih jernih. Pada akhirnya, askesis kitalah pengantar menuju ataraxia, menuju peace of mind, menuju damai. []
- Yang Meronta dalam Sangkar - 22 February 2020
- Filsafat sebagai Laku Hidup - 7 December 2019
- Obrolan Tanpa Kepakaran - 31 August 2019