Fragmen Kesedihan di Malam Lebaran

A Teacher’s Sadness is a painting by J Vincent Scarpace

 

Perempuan adalah wujud lain dari kesedihan di desa ini. Jika kamu ingin melihat kesedihan, kamu tidak perlu meneliti lebih jauh dan lebih dalam tentang desa di bawah bukit ini, desa terjauh ujung barat yang bisa kamu kunjungi di kota ini. Kamu cukup melihat perempuan di hari terkutuk ini. Hari sebelum Lebaran tiba. Hari yang hanya memberikan kebahagiaan kepada laki-laki. Sedangkan kesedihan adalah jatah perempuan yang tidak bisa dihindari.

Betapa tidak, mereka harus menerima setiap tamu laki-laki yang datang, dari petang hingga pagi menjelang. Adat macam apa yang memberikan kebebasan berkunjung seperti itu? Mungkin kamu tidak pernah membayangkan. Bahkan mendengarnya pun tidak pernah. Tetapi inilah kehidupan. Bagian kecil dari kehidupan di desa ini.

Aku adalah saksi atas segala hal mengenai adat ini. Saksi dari segala duka yang disimpan perempuan tuan rumah dan kebahagiaan setiap tamu laki-laki yang singgah. Dari laki-laki yang hanya datang untuk mencicipi makanan, hingga laki-laki yang punya niat untuk menggoda perempuan. Laki-laki yang baru balig hingga laki-laki duda yang ingin mencari istri lagi. Laki-laki yang mencicipi bangku sekolah, laki-laki yang mencicipi bangku madrasah, hingga laki-laki yang sehari-hari akrab dengan bangku di pos ronda.

Di atas tubuh kayuku ini sudah terhidang aneka macam makanan, dari makanan berat hinga jajanan pasar dan aneka kue kering di stoples yang dijejer. Hidangan terbaik yang disiapkan untuk siapa pun tamu yang datang. Semakin baik dan lengkap hidangan di atas tubuhku, semakin baik pula penghuni rumah ini dalam pandangan masyarakat desa ini. Menggelikan, bukan?

Tubuhku ditutup oleh sebuah kain batik. Di bawah kain inilah, kelak para tamu akan meninggalkan amplop berisikan uang sebagai rasa penghormatan. Nominalnya, tentu tergantung siapa yang datang. Tetapi di balik itu semua, mereka, para tamu laki-laki itu dengan sadar atau tidak, telah menanggalkan luka di hati perempuan desa yang mereka kunjungi.

Tamu-tamu itu bagaikan lebah. Mereka datang bergerombol dan berdengungan. Lebih sering, mereka datang tanpa etika yang dijaga. Tanpa ucapan yang disusun dengan nada yang enak didengar telinga. Mereka datang seenaknya dan memaksa perempuan si empunya rumah untuk menerimanya dengan dandanan terbaik, menemani ngobrol hal-hal tidak penting, dan jika tamu-tamu itu tidak memiliki perasaan, mereka bertahan sampai subuh tiba.

Tamu-tamu itu akan bergantian, dari rumah ke rumah. Mereka bebas memilih berkunjung ke rumah yang mana dulu, sesuai selera dan kesepakatan rombongannya. Aku bahkan bisa menengarai tamu mana yang baru datang, dan tamu mana yang sudah berkunjung ke rumah lainnya. Bagi mereka yang menjadikan rumah ini kedatangan pertama, tentu makanan di atas tubuhku akan dilahap dengan penuh nafsu. Sebaliknya, jika mereka datang ke rumah lain lebih dulu, biasanya hanya mencicipi makanan yang terhidang di atas tubuhku. Bertahun-tahun begitu.

Mereka datang bergantian dengan rombongan yang lain. Kedatangan mereka seperti pergantian shift. Penandanya adalah petasan. Jika tamu di dalam sudah cukup lama, tamu yang bersiap masuk di luar menyalakan petasan. Jika tamu di dalam belum juga keluar, tamu di luar menyalakan petasan sekali lagi. Jika tak juga keluar, maka perselisihan, yang berujung percekcokan dan perkelahian antartamu tidak bisa terelakkan. Bertahun-tahun begitu.

/2/

“Untuk apa mempertahankan adat, jika pada akhirnya harga diriku diinjak-injak! Untuk apa, Pak?” Perempuan itu menangis tersedu. Berkali-kali. Kali ini tangisnya lebih deras dari tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun-tahun sebelumnya ia selalu berusaha menahan air mata, itu tidak lebih sebagai upaya menghargai orang tuanya. Ia tidak ingin orang tuanya kecewa. Tetapi tidak dengan hari ini. Ia, seolah, mengeluarkan semua tangis yang selama ini ia pendam dalam diam.

Mungkin, usianya saat ini sudah bisa dibilang dewasa. Ia sudah cukup punya alasan untuk menolak dan berontak. Apalagi, bacaan-bacaannya mengenai gender, dominasi maskulin, dan isu-isu feminisme sudah cukup banyak. Aku tahu betul, ia sering meninggalkan buku-buku itu di atas tubuhku setiap pulang kampung saat libur kuliah tiba.

Bertahun-tahun sebelumnya, ia dipaksa oleh waktu untuk diam dan menerima kenyataan yang memilukan. Sementara di batinnya, ada kecamuk dan murka yang begitu menggelora. Namun, ia tidak tahu, kepada siapa amarah itu ia arahkan. Aku sangat mengerti. Jika bisa, aku ingin menyeka air matanya dengan kain batik di tubuhku ini.

Ia merasa dilahirkan di sebuah desa yang terkutuk, begitu setiap ia menceritakan asal usulnya. Ia memutuskan untuk meneruskan kuliah di luar kota. Dan ia tidak ingin kembali ke desa. Ia tidak ingin menua di desa ini. Ia ingin menikmati hidup tanpa beban yang berkepanjangan. Beban batin yang selalu menyakiti hati setiap perempuan di malam Lebaran. Bertahun-tahun begitu.

“Aku akan pergi, jika rumah ini kembali meneruskan adat Buka Meja!” Kali ini amarahnya benar-benar memuncak. Selama ini, ia tidak pernah berbicara dengan nada keras di hadapan bapaknya. Jangankan marah, menolak panggilan saja tidak pernah. Aku berani bersaksi. Tetapi tidak untuk urusan satu ini. Tidak bisa ditoleransi, pikirnya. Adat yang bias gender ini baginya perlu diruntuhkan. Demi mengangkat martabat perempuan.

Ia adalah satu di antara puluhan perempuan desa. Ia adalah satu di antara puluhan perempuan desa yang menderita. Ia adalah satu di antara puluhan perempuan desa yang menderita dan ingin mengutuk takdir. Ia adalah satu di antara puluhan perempuan desa yang menderita dan ingin mengutuk takdir dan tidak ingin harga dirinya diinjak-injak.

/3/

“Tapi Nak, ini sudah menjadi adat di desa ini. Kita sudah menyiapkan makanan-makanan enak agar para lelaki di desa ini mau berkunjung ke rumah kita.” Dengan sangat hati-hati, bapaknya mencoba menekankan lagi persoalan kepercayaan yang memaksa mereka meneruskan adat Buka Meja.

Dari bahasa tubuhnya, ia mencoba memasuki lorong mata anaknya yang mulai berkaca-kaca. Ada perasaan tidak tega yang sebenarnya ia rasakan. Tetapi ia merasa ada tembok besar yang menghalanginya untuk mengutarakan itu semua. Sebagai orang tua, ia merasa tidak bisa berbuat banyak untuk mengabulkan permintaan anak perempuan satu-satunya itu.

Kamu satu-satunya perempuan di rumah ini. Siapa lagi yang akan menerima tamu selain kamu?” Di situlah, ia merasa terjebak dalam posisi yang tidak mengenakkan. Ia tidak mungkin meninggalkan adat itu begitu saja. Ia adalah tokoh masyarakat. Tentu menjadi tidak elok, jika orang yang dijadikan contoh oleh masyarakat justru tidak melaksanakan adat yang sudah turun-temurun dilakukan lintas generasi.

Jauh di dasar hatinya, ia ingin memeluk anak perempuan yang ia besarkan dengan segenap doa dan kasih sayang. Ia ingin sekali menyudahi adat ini. Tetapi ia bisa apa? Aku bisa menangkap kesedihan yang mendalam dari ceruk matanya.

“Kamu tidak kasihan sama ibumu yang sudah masak dan menyiapkan hidangan-hidangan ini, hah?” Ia melempar pandangan ke istrinya yang sedari tadi memilih diam, bersama bangku-bangku yang dingin dan bungkam. Pun dengan si anak perempuan, ia menoleh ke arah ibunya yang duduk lemas dengan wajah memelas.

Di luar, gema takbir sudah mulai bersaut dari surau satu ke surau lainnya. Anak-anak berhamburan memenuhi pelataran rumah masing-masing. Petasan dan kembang api mulai dibunyikan bergantian. Sementara itu, di setiap rumah, para perempuan bersiap dengan dandanan terbaiknya. Bersiap menjamu tamu laki-laki yang siap berkunjung rumahnya.

/4/

Malam menjelang. Suara takbir semakin semarak. Riang anak-anak begitu tampak. Mereka berlarian. Orang-orang larut dalam malam kemenangan. Puasa satu bulan telah berakhir. Besok hari raya akan dirayakan. Angin bukit mulai kurasakan, sedari pintu rumah dibuka. Tubuhku sudah terlihat sangat rapi. Jarum jam tidak berhenti memandangiku. Juga almari dan gorden yang sengaja tidak ditutup. Tetapi aku merasa ruang tamu begitu sempit.

Di satu sisi, aku senang, bisa menemani keluarga ini sampai malam Lebaran. Tetapi di sisi lain, aku ingin kepedihan ini perlu dihentikan. Aku tidak kuasa melihat suasana yang tidak mengenakkan begini. Aku tidak mau rumah ini kehilangan kehangatan lantaran adat ini. Tetapi aku bisa apa?

“Untuk apa mempertahankan adat, jika pada akhirnya harga diriku diinjak-injak! Untuk apa?”

Praaang…. Sebuah batu menindih tubuhku. Piring, gelas, asbak, stoples, dan semua makanan di atas tubuhku berceceran. Kain batik penutup tubuhku pun koyak. Sebuah tendangan mengenai tubuhku. Tubuhku terluka. Lecet di beberapa bagian. Tidak pernah ada perlakuan dari tuan rumah sekasar ini kepadaku selama ini. Bertahun-tahun begitu. Tetapi aku merasakan kebahagiaan yang lain. Malam ini tidak akan ada hidangan di atas tubuhku, tidak ada tamu laki-laki yang berkunjung seenaknya, tidak akan ada lagi hati perempuan yang terluka.

 

 

 

Rumah Kertas, 2020

Dimas Indiana Senja
Latest posts by Dimas Indiana Senja (see all)

Comments

  1. rizky akmalsyah Reply

    Ajib mas,two thumbs up…. 👍👍

  2. denny setiyawati Reply

    Kerennn sy smpai terpukau 😦

    • G. Rain Reply

      Maaf sebelumnya, cerpennya sangat bagus. Namun, ada sedikit yang di sayangkan. Ada beberapa kalimat dan kata yang terlalu banyak di ulang.🙏🙏🙏

      • Rahma Reply

        Aku ga paham🙂

  3. Nita Herawati Reply

    Kerennn ide tulisannya Pak. Ktika baca pun ngalir ceritanya 🥺

  4. Alfiah Ariswati Reply

    Keten banget, Dim!

  5. Diah Purwanti Reply

    Luar biasa pak Dosen muda.

  6. Hari Kurniati Reply

    Sangat menarik

  7. Alivia Sasa Reply

    Dear bapak penulis, saya sedang mencari suara “Air Mata Hujan”. Barangkali jenengan masih ada mp3nya. Terima kasih.

  8. rozi Reply

    ide tulisannya sangat bagus mengangkat tema tentang adat yang menggambarkan permasalahan gender di Indonesia, rasa-rasanya adat istiadat ini masih ada utamanya di pulau Jawa di mana permasalahan gender yang bias antara laki-laki dengan perempuan menyebabkan pembedaan posisi/kedudukan laki-laki dan perempuan dalam tatanan sosial
    sangat bagus idenya, sangat menginspirasi, sukses!

  9. Andhikap Reply

    Sangat terinspirasi ingin membuat cerpen

  10. Fauziah Reply

    Ide ceritanya bagus, tapi ada beberapa kalimat yang diulang membuat kesan ceritanya bertele-tele.

  11. Andre Reply

    Holy shit…. this is so fucking awesome

  12. Felita Sukanti Reply

    Pertama kali baca agak bingung dengan tokoh “Aku”. Kedua kalinya membaca saya baru paham kalau tokoh “Aku” adalah meja di ruang tamu. Wah, sebelumnya saya kira pria yang sedang menjamu. Bagus sekali ceritanya!

  13. Intan Nur Hidayah Reply

    Senang bisa tahu ada website sastra seperti ini. Cerita yang bagus. Sudah sejak awal saya menduga sosok tubuh kayu adalah si meja.

  14. qosim Reply

    Wah melu seneng ana cah banyumas pinter gawe cerpen banggalah ddi wwrga republik ngapak. biar sdh tdk muda lagi ….tapi saya nunggu klompok ngapak maju nang dunia sastra. maju trus teteolah ngapak ora ngapak ora kepenak mbokan .

  15. Elchilyash Reply

    Baguuuus, saya suka-saya suka. Maknanya dalam, sampe terbawa arus kesedihan si perempuan bacanya. Saya setuju2 aja sih ada tulisan yg diulang, selama itu bisa membangun emosi dengan tepat. Dobrak aturan sesuai yg dibutuhkan, asal kreatifitas tidak terkekang. Merdekakan perempuan Indonesia😍😍😍💪💪

Leave a Reply to Andhikap Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!