Full-Time Mother (VS Part-Time Mother, Freelance Mother, Ibu Tenaga Kontrak), Besok Apa Lagi?

Sumber gambar
Sumber gambarĀ mom.me

Tampang perdebatan di dunia maya kini sudah lebih abstrak daripada debat abadi tentang yang mana yang lebih penting bagi peradaban dunia antara cabe dan terong yang bersekutu menjadi cabe-diterongin atau terong-dicabein atau cabe-diterong-terongin atau terong-dicabe-cabein. Perkara pilihan menjadi ibu yang berkarier saja, misal, digugat dan diumbar sebegitu ngehek-bebas seperti tak kenal etika. Yang paling menggelikan lagi, sampai muncul istilah full-time mother. Saya geli semi khawatir nanti akan muncul istilah-istilah yang kian nggak relevan terkait kodrat seorang perempuan sebagai ibu. Misalnya istilah part-time mother, freelance mother, atau mungkin yang lebih nonjok adalah ibu tenaga kontrak.

Saya mendapati ada pihak yang gencar sekali mengumandangkan pemikiran bahwa sebaik-baik ibu adalah full-time mother alias ibu rumah tangga yang tidak berkarier di luar. Bahkan pihak tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyiarkan keyakinan bahwa ibu-ibu yang berkarier adalah biang dari generasi penerus yang amburadul karena kurang perhatian, kasih sayang, dan pendidikan di rumah.

To the point saja, kalau ibu saya tidak bekerja, 99,99% kelima anaknya tidak akan mengenyam bangku pendidikan. Kalau ibu saya tidak bekerja; saya, empat kakak saya, bahkan ibu saya sendiri pasti tidak makan. Kalau ibu saya tidak bekerja, mungkin saya tidak bisa mencicipi manisnya susu Frisian Flag hingga tetes terakhir. Kalau ibu saya tidak bekerja, tidak ada keraguan lagi ibu saya tidak akan mendapatkan pengobatan dan perawatan yang layak untuk penyakit kankernya, termasuk mengongkosi lima kali operasi dan serenteng kemoterapinya.

Pertanyaannya, apakah ibu saya seorang single parent yang karenanya harus bekerja? Tidak. Suaminya alias ayah saya bahkan tinggal satu atap bersama kami. Apakah ayah saya karena sesuatu hal, kesehatan misalnya, tidak memungkinkannya untuk menafkahi keluarga sehingga ibu saya yang harus turun tangan? Oh, beliau bahkan satu kantor dengan ibu saya. Garis besarnya, beliau melepaskan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. Rumit, kan?

Jadi, ketika semua perkawinan berjalan baik-baik saja, setiap kepala keluarga berfungsi maksimal mal mal mal, saya masih bisa menoleransi mereka yang saban hari gembar-gembor paham semulia-mulianya ibu adalah yang sepenuhnya di rumah, tidak berkarier di luar rumah, sampai terkesan ibu yang berkarier di luar rumah menjadi berkurang kemuliaannya.

Pun bila ibu-ibu yang berkarier di luar sana jalan hidupnya tak seberliku ibu saya, bukan berarti sah-sah saja untuk menghakimi pilihan berkarier mereka. Bila bukan semata tersebab oleh keterpaksaan harus bekerja demi dapat menafkahi keluarga, para ibu yang bekerja tentulah punya pertimbangan tersendiri mengapa mereka memilih tetap bekerja padahal di rumah pun masih harus menyervis anak dan suami. Itu kan capeknya dobel, kok mau?

Mungkin mereka melakukan upaya antisipasi karena soal umur siapa yang tahu. Bisa saja suami mereka sekarang sehat, prima, berpenghasilan bagus, dan penuh tanggung jawab pada keluarga. Tapi bisa saja to orang pagi berangkat sehat walafiat pulang-pulang tinggal nama dan diawali gelar almarhum? Intinya, mereka memikirkan kelanjutan hidupnya sendiri dan masa depan anak-anak kalau terjadi sesuatu pada pencari nafkah utama dan sesuatu itu bisa apa saja dan terjadinya pun kapan saja.

Mungkin juga bidang keilmuan yang para ibu berkarier itu tekuni selama di bangku kuliah teramat dibutuhkan oleh masyarakat sehingga tentu akan sayang sekali kalau ia tak menggunakannya untuk darma bakti, sedangkan masalah materi yang mengikuti itu tentu wajar adanya dan anggaplah ongkos ganti keringat. Tenaga medis dan pendidikan yang masih amat dan selalu dibutuhkan di pelosok dan di mana pun misalnya. Ada pula para ibu yang memiliki pengetahuan yang luas di bidang pemasaran dan keterampilan, kemudian ia membuka lapangan kerja bagi tetangga kanan kiri agar mereka yang kurang mampu bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk keluarga. Apakah ibu-ibu yang demikian lantas boleh seenak wudel dianggap kurang mulia?

Saya yakin seyakin-yakinnya, dari zaman batu akik sampai besok sedetik sebelum dunia ini kukutan, ibu ya ibu saja. Mau di rumah, di kantor, di darat, di laut bahkan di udara, seorang ibu tidak akan pernah bisa menanggalkan peran keibuannya. Perkara seorang ibu menjalankan peran keibuannya berbeda dengan cara dan gaya ibu yang lain, itu sama lumrahnya dengan setiap kepala berbeda jumlah helai rambutnya. Tak usah membikin-bikin istilah yang tak ada dan malah mencederai hakikat kemuliaan seorang ibu. Ya seperti istilah full-time mother yang annoying itu.

Daripada nguprak-nguprek ibu melulu sampai ke urusan berkarier atau tidak berkariernya, mbok ya mending ilmu, waktu, tenaga, dan pikirannya digunakan untuk menyebarkan pemahaman bahwa setiap anak itu idealnya butuh kehadiran kedua orang tuanya di dalam hidupnya. Bukan cuma ibu thok trus bapaknya embuh neng ngendi atau bapak thok, ibunya embuh eneng embuh ora. Pendidikan dan pengasuhan anak itu tidak bisa dititikberatkan hanya pada pundak ibu yang tirus. Daripada terus-terusan memojokkan apa jadinya generasi masa depan kita di tangan ibu-ibu yang berkarier, lebih baik kita menghantui diri dengan pertanyaan apa jadinya generasi masa depan kita tanpa peran maksimal dan seimbang dari kedua orang tua mereka.

Anak tidak hanya mendamba sentuhan lembut tangan seorang ibu, tapi juga tangan ayah. Perkara tangan ayah bau oli dan tangan ibu bau bawang geprek ya terserah. Yang penting keduanya hadir dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak. Seorang ibu nggak boleh nggak mau tahu telapak kaki suami sampai mlethak-mlethak cari uang di luar sana sedangkan dia kerjaannya cuma ngabisin uang itu buat dandan. Tapi seorang ayah juga nggak boleh nggak mau tahu bahu istrinya hampir semplak ngurus rumah seharian sedangkan anak balitanya pengen main bebek-bebekan kuning sama ayahnya sambil mandi sore, pengen diajarin ngeja tulisan oleh suara berat ayahnya, pengen disuapin nasi goreng telur ceplok oleh tangan kekar ayahnya, pengen dibacain dongeng sebelum bobo sambil wajah sangar ayahnya bermain ekspresi.

Urusan beda opini itu sah-sah saja. Tapi, tolonglah, opini atau keyakinan apa pun yang kita anut tidak menyikut perasaan orang lain yang sebetulnya nggak ada salah sama kita. Begitu ya begitu tapi mbok ya jangan gitu-gitu amatlah.

2015 sudah setengah lewat, jangan malah balik ke zaman yang nggak nggenah. Tangkap sebaran paham dari depan, belakang, samping kiri, samping kanan pakai saringan rangkap tiga. Berpikirlah kritis mumpung masih bisa berpikir kritis tanpa harus kritis beneran alias napas cengep-cengep. Jangan apa-apa asal ditelan sampai tidak ngeh yang masuk perut itu terong beneran, terong-terongan atau terong dicabein atau cabe diterongin atau terong diterongin-cabein atau cabe dicabein-terongin.

Silaturahmi ditingkatkan bukan malah dibubarkan secara kasar dan nasibnya jadi mengenaskan berkat cekokan pemikiran yang berat sebelah, nggak dievaluasi, dan malah langsung disulap jadi mata tombak buat debat yang nggak jelas jluntrungannya. Toleransi ditinggikan. Jangan ngacak-ngacak opini dan nilai-nilai orang lain. Dadi menungso urip sepisan ojo rusuh lan ngrusuhi. Ngaten mawon nggih? Nggih nopo nggih?

Marliana Kuswanti

Comments

  1. Lib Flow Reply

    Bagus, tapi piye solusinya buat ningkatin berpikir kritis di negara yang mayoritas para pendidiknya ga paham cara berpikir kritis itu gimana.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!