
“Orang munafik adalah mereka yang menjerit ketika ditindas dan menindas ketika berkuasa.”
Soe Hok Gie
Setiap menonton laga sepak bola yang melibatkan orang-orang Italia, saya sontak teringat istilah “furbizia”; sebuah seni tipu muslihat untuk mengelabui lawan melalui pendekatan teknis, taktis, dan psikologis. Ia mengesahkan aksi-aksi yang memualkan secara tontotan tetapi sahih secara pertandingan.
Sejarah sepak bola mencatat aksi furbizia terhebat sepanjang masa ialah apa yang dilakukan Marco Materazzi kepada Zinedine Zidane pada laga final Piala Dunia 2006 antara Italia dan Prancis di Jerman. Berkat provokasi Materazzi, Zidane diusir dari lapangan. Prancis pun tumbang, Zidane pun jadi pecundang, sementara Materazzi dan Italia diarak bak pahlawan. Pada sebagian orang, furbizia adalah tabiat pecundang, tetapi pada sebagian lainnya adalah dedikasi pahlawan. Kadang, betapa tipis memang jarak antara pecundang dan pahlawan.
Furbizia tentu bukan hanya monopoli sepak bola. Di sirkuit MotoGP, misal, aksi Marc Marquez di seri balap Philip Island, Australia (18 Oktober 2015), kemudian Sepang, Malaysia (25 Oktober 2015), dan terakhir Ricardo Tormo, Valencia (8 November 2015), dengan mengutip narasi sesal Valentino Rossi, “memperlihatkan hal-hal memalukan yang tak pernah terjadi sebelumnya.” Kendati bukan Italiano, Marquez sukses ber-furbizia membendung VR46 yang Italiano demi memuluskan laju Jorge Lorenzo meraih juara dunia 2015. Bagi kubu Lorenzo dan Matador, aksi Marquez adalah kepahlawanan, tetapi pecundang bagi kubu The Doctor dan penggila MotoGP sedunia.
Begitulah dunia ini selalu mementaskan irisan-irisan sumir antara hitam dan putih, baik dan buruk, angel dan demon. Kata WS. Rendra, “Tak semua niat baik bisa berlaga.”
***
Jagat netizen gempar dibom Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang “Ujaran Kebencian” (Hate Speech). Betul memang bahwa muatan SE Hate Speech sejatinya bukanlah hal baru, sebagaimana diklarifikasi langsung oleh Badrodin Haiti. Ia hanya bersifat “menyegarkan ingatan” khalayak akan adanya risiko pidana atas segala ucapan dan tulisan yang tidak bertanggung jawab (kebencian, provokasi, fitnah), termasuk di dunia maya, sebagaimana dikandung KUHP Pasal 310 tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Kepada internal kepolisian, kata Kapolri, SE Hate Speech merupakan petunjuk teknis penanganan kasus-kasus bernuansa Hate Speech.
Era gawai dan media sosial yang mewarnai seluruh lapisan hidup kita sungguh telah menghadirkan perubahan-perubahan besar dalam gaya hidup keseharian kita, terutama di bidang komunikasi. Kita bisa menjadi sangat intim dengan seseorang yang tak pernah berpapasan di dunia nyata; sekaligus bisa menjadi sangat jauh dengan seseorang di dunia nyata. Dunia viral adalah semesta komunikasi di mana kita menjalin hubungan dengannya dalam gairah perasaan yang penuh kerinduan kadang dan penuh kemuakan kadang. Ia benar-benar murah hati menyediakan panorama hidup “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”, karena di dalamnya selalu berbiak “keterjungkirbalikan”, “ketumpang-tindihan”, dan “anomali-anomali”.
Orang yang bukan siapa-siapa dalam bidang agama, misal, sangat mungkin seketika tampil bak nabi di media sosial. Sebedebah apa pun aslinya ia. Pakar tafsir Alqur’an sekaliber Prof. Dr. Quraish Shihab yang sangat dihormati kaum intelektual sedunia, yang telah menghasilkan 15 juz kitab Tafsir Al-Mishbah, tanpa ampun bisa tiba-tiba dinista sedemikian pecundangnya oleh orang-orang entah yang buta untuk sekadar memahami kaidah fa’ala yaf’ulu fa’lan. Bahkan kursi mulia Presiden Jokowi pun tak selamat dari gempa-gempa nyinyiran yang belakangan terbukti hanya sebuah rekayasa berita, provokasi kebencian, dan fitnah memilukan. Apalagi cuma saya, apalagi sekadar Anda.
Sampai di sini, langkah Kapolri mengeluarkan SE Hate Speech menjadi angin segar bagi kita semua untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kehormatan dan nama baik kita. Sampai di sini, semua kita niscaya tabik mendukungnya, sebab semua kita naturally tak sudi dihina, dilecehkan, apalagi difitnah, termasuk melalui media sosial.
Tetapi persis di sebelahnya, SE Hate Speech juga membiakkan gegar kemirisan pula keresahan. Di dalam genggaman tangan-tangan legam penuh durja, SE Hate Speech bisa menjelma jurus legal-formal yang lebih mandraguna daripada Pukulan Matahari Wiro Sableng.
Anda sangat berpeluang untuk tiba-tiba diadukan ke polisi oleh mereka yang memekik dirugikan kepentingan politis dan ekonomisnya, sekalipun Anda telah menyajikan data-data empiris tak terbantahkan. Para politisi busuk, geng koruptor ar-rajim, dan laskar taipan-oportunis yang mewarisi genetika Qarun yang notabene memiliki kekuatan kapital dan jaringan benar-benar dimanjakan untuk memelintir narasi kebenaran sesahih apa pun. Tanpa perlu menunggu lama, kasus-kasus gugatan hukum atas tudingan Pencemaran Nama Baik di Banyuwangi dan Semarang, misal, telah disajikan dengan hati riang di meja makan kita. Dan, tentu, jangan pura-pura pikun akan anjuran Fadli Zon kepada sahabat karibnya, Setya Novanto, untuk melaporkan perekam “happy-happy golf dan jet pribadi” ke Bareskrim atas tudingan setamsil. Plus, rencana pelaporan Najwa Shihab oleh MKD kepada polisi atas penguakan nama yang disebut-sebut sebagai pencatut Presiden dan Wapres.
Pada derajat inilah SE Hate Speech menampilkan muka yang absurd lagi ambigu; bagai pedang bermata dua yang satu sisinya berharga betul untuk melindungi kebaikan tetapi satu sisinya lagi menyedihkan betul untuk memenggal kebenaran. Orang-orang berhati hitam tertolong benar untuk memeragakan jurus furbizia berjubah legalitas SE Hate Speech demi memagari panggung politis-ekonomis busuknya; yang oleh Andrea Tallarita, seperti dicatat Pandit Football, disebut tactical fouls, diving, dan segala bentuk serangan psikologis lainnya.
Tak sanggup dibayangkan akan setragis apa nasib kebenaran di negeri ini bila pada suatu hari Minggu yang segar merebak berita dilaporkannya seorang akademisi lantaran menulis sebuah status kritik wacana atas sebuah fatwa yang penuh ikhtilaf. Mulut kita hanya akan kuasa ternganga tanpa suara bila ada dewa pengabar dan penyebar fakta-fakta kejahatan diwajibkan melapor setiap Senin dan Kamis bagai puasa sunnah akibat laporan Hate Speech seseorang yang dikuak durja nan bejatnya.
Wajib betul bagi aparat kepolisian untuk membela kejelian dan kejujuran dalam menyikapi laporan-laporan Hate Speech ini. Mutlak betul bagi aparat kepolisian untuk tangkas membedakan semerbak wangi kehormatan dan bacin kebusukan yang terbuka dihembuskan oleh siapa pun di sini. Ada cahaya kebenaran dan sekaligus legam kedustaan yang campur-aduk bagai gado-gado di dalamnya.
Sama sekali tak ada batas antarkeduanya, selain hati nurani. Kata Jostein Gaarder, pengarang Sophie’s World, “memiliki hati nurani tidaklah sama dengan menggunakannya.”
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Muara Ibrahim Husein
Sepakat sama Anda. Menguntungkan sekaligus merugikan. Karena banyak sekali ‘penipu ulung’ di luar sana yang bisa bernanung di bawahnya. walaupun, ‘kebaikan’ bisa dilindungi, ‘keremang-remangan’ jadi punya tempat buat berteduh sambil ilir-ilir.