Gagalnya Utopia di Dunia Baru dan Kepulangan “(Anti)Hero”

Judul: The Sisters Brothers (2018)

Sutradara: Jacques Audiard

Skenario: Jacques Audiard dan Thomas Bidegin (dari novel karya Patrick deWitt)

Aktor: John C. Reilly, Joaquin Phoenix, Riz Ahmed, Jake Gyllenhall, Rutger Hauer

Bagi saya, ruh genre film koboi serupa dengan genre film silat (baik itu dari khazanah Wu Xia maupun samurai). Benang merahnya, lazimnya, adalah pendefinisian kembali aturan hukum yang dipertentangkan dengan tafsir kehendak individu di zaman yang sedang berubah. Tak heran, karakter-karakter para tokoh utamanya justru abu-abu, bahkan gelap. Seringnya, sang “hero” justru berada di sisi yang berseberangan dengan penegak hukum, atau cuek dengan perkara hukum karena ia punya standar keadilan sendiri yang acap gagal ditegakkan oleh para hamba wet.

Kisah Batas Air (karya Shi Nai’an) adalah contoh sempurna tentang dilema ini. Merasa tidak cocok dengan rezim kekaisaran saat itu, para pemberontak bekas abdi kerajaan bergabung dengan para penjahat untuk angkat senjata. Moral persaudaraan dianggap lebih tinggi ketimbang moral hukum langit yang dipandang telah cemar. Atau moral kehormatan dalam kisah 47 Ronin juga disunggi lebih tinggi daripada norma hukum dan keadilan era shogun, sehingga pengorbanan nyawa melalui pembalasan dendam adalah sebuah cara niscaya untuk menyelesaikan konflik.

The Good, The Bad, and The Ugly (1966) dan Once Upon A Time in the West (1968) (keduanya adalah dua mahakarya sineas spaghettiwestern Sergio Leone) adalah penggambaran betapa encernya moralitas para tokohnya. Mereka saling kejar, adu cerdik, dan baku tembak, tanpa peduli dengan zaman yang sedang berubah; zaman ketika Amerika memulai peradaban baru, digambarkan dengan bangkitnya pembangunan rel kereta api (meskipun kemudian, kita tahu, zaman setelah itu juga melahirkan legenda Jesse James si perampok kereta api). Dalam Unforgiven (1992), Clint Eastwood malah harus melawan seorang sheriff yang harus menciptakan ketertiban di kotanya meski menggunakan tangan besi. Motif William Munny di film ini adalah mendapatkan uang hadiah untuk membunuh para koboi yang telah menganiaya seorang pelacur, karena meski sudah insaf berkat istrinya, hingga istrinya meninggal dan ia sendiri sudah uzur, ia tetap tak becus mengurus keluarga dengan cara “halal”.

Yang lebih lawas dari itu ada Shane (1953), salah satu ikon terbaik genre koboi. Shane dengan masa lalu yang misterius datang ke sebuah kota, ia sebisa mungkin menghindari masalah yang merundung komunitas warga kota itu, tapi karena ia makin merasakan ikatan dengan satu keluarga yang menampungnya pada akhirnya ia angkat senjata kembali berhadapan dengan seorang bos ternak dan para centengnya.

Motif yang mendasari tindakan Shane di babak terakhir kehidupannya itu adalah penebusan jiwa. Tema satu ini adalah tema abadi dalam kisah-kisah yang menokohkan karakter-karakter gelap. Ini juga yang kita rasakan dalam film besutan sutradara Prancis Jacques Audiard kali ini. Dua kakak beradik dalam The Sisters Brothers adalah antagonis dalam Shane. Keduanya adalah para centeng yang telengas dalam menjalankan tugas-tugasnya, tak segan menyiksa dan membunuh tanpa perlu mempertanyakan alasannya.

Charlie Sisters (diperankan oleh Joaquin Phoenix) adalah yang paling dingin di antara keduanya, kakaknya, Eli (diperankan oleh John C. Reilly), meski enteng saja melakukan kekerasan, adalah juga tipe pemikir dan melankolis. Namun, tentu saja kita bisa mengira-ngira dampak dari muramnya jalan hidup yang mereka tempuh dari perilaku mabuk-mabukan Charlie sampai sering terjungkal dari punggung kuda yang diwarisinya dari ayah mereka; yang juga dibunuh Charlie karena ringan tangan kepada ibu mereka dan kedua anaknya itu. Pada Eli adalah kerinduannya untuk pulang dan hidup menetap dan buka usaha dari uang berlumuran darah hasil kerja mereka.

Berat dong jalan ceritanya? Tidak juga. Penggambaran alur dan karakterisasi film yang diangkat dari novel berjudul sama karya penulis Kanada Patrick deWitt ini dibingkai dengan indah dan memikat, bahkan lucu, agak mirip dengan gaya Coen Brothers yang juga membuat film koboi di tahun ini, The Ballad of Buster Scruggs, meski tidak seabsurd film Netflix itu. Duet akting Phoenix dan Reilly ciamik banget, dengan Reilly sebagai juaranya. Keduanya kompak soal mengeksekusi kerjaan, tak ada keraguan ini “dosa atau tidak,” dan bahu-membahu melawan setiap lawannya serta saling menyayangi, tapi bersaing soal siapa yang lebih memimpin antara kakak-adik itu.

Eratnya ikatan darah yang diwarnai cekcok khas kakak adik itu pula yang memperkaya cerita perjalanan mereka memburu Hermann Warm (Riz Ahmed) atas perintah bos mereka, sang Komodor (Rutger Hauer). Hingga pertengahan cerita kita tidak terlalu paham apa sebenarnya yang menyebabkan Warm diburu, seperti juga motif baku tembak di tengah kegelapan malam pada awal cerita. Pokoknya itu tugas mereka, laksanakan! Tak ada sosok hukum dalam kisah ini, tapi semangat zaman keadaban waktu itu (1850-an) diwakili oleh diperkenalkannya toilet duduk, sikat gigi dan odol bubuk, dan ide sosialisme.

Konfliknya ternyata berkisar soal demam emas (Gold Rush) di California. Warm yang, sesuai pernyataan bosnya, diburu karena telah berbuat curang, ternyata menjadi buronan karena memiliki formula untuk lebih mudah dalam menemukan emas. Ia adalah seorang ahli kimia yang telah dibuntuti si “mata elang” John Morris (Jake Gylenhall) yang juga bekerja untuk Komodor, dan bertugas untuk menguntit Warm dan mengirimi kedua Sisters bersaudara kabar keberadaannya. Masalahnya, Morris justru bersimpati kepada Warm dan membuat Sisters bersaudara terlambat beberapa hari, yang lantas melacak sendiri tempat pendulangan emas kedua buronan itu.

Morris, yang digambarkan sebagai seorang detektif cum filsuf, terpikat bukan oleh emasnya, tapi oleh ide masyarakat komunis yang hendak dibentuk oleh si ahli kimia setelah mendapatkan banyak emas. Sisters bersaudara yang berhasil menemukan tempat mereka malahan kena bekuk ketika sedang lengah. Mereka tidak jadi dibunuh karena pemikiran cepat Eli dengan mengatakan, “Kami tidak lagi bekerja untuk Komodor,” dan bersiasat untuk membantu pekerjaan mencari emas yang memang butuh lebih banyak tenaga. Keempat orang itu kemudian bahu-membahu melawan para centeng lainnya yang dikirim untuk mengejar buronan yang kini bertambah jumlahnya. Keempatnya jadi makin akrab dan saling menghormati.

Sisters bersaudara sih bukan terpikat oleh ide sosialisme-nya Warm, yang bagi mereka asing dan konyol karena pada dasarnya mereka bukan tipe orang berpendidikan. Emas bagi Charlie adalah jalan untuk berfoya-foya sampai mampus, dan bagi Eli adalah alat untuk hidup tenang dan makmur. Namun, persis di situlah tragedinya. Cairan formula itu ternyata berhasil memperlihatkan bongkahan emas di sungai pada malam hari, tapi tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu lama dan sembarangan karena bisa menimbulkan luka bakar pada kulit. Harapan kita untuk kebahagiaan mereka menemukan emas dirusak Charlie yang timbul sifat kemaruknya dengan menumpahkan lebih banyak cairan ke air sungai. Badan Morris dan Warm yang sempat tenggelam jadi melepuh hingga keduanya tak terselamatkan lagi, bahkan Charlie-lah yang harus melakukan coup de grace untuk mengakhiri penderitaan Jake. Tangan Charlie yang sebelah kanan sendiri harus dikutungi demi menyelamatkan nyawanya.

Salah satu yang khas dari film-film besutan Audiard adalah tema upaya perjuangan dalam hidup tokoh-tokohnya yang tidak selalu berhasil dengan baik. Tonton saja film-film dia sebelumnya, di antaranya: The Beat That My Heart Skipped (2005), A Prophet (2009), Rust and Bone (2012), dan Dheepan (2015). Namun, “the lightness of being” tetap digambarkan berjalan sebagaimana biasa. Ide besar tentang utopia mati dengan sendirinya seiring kematian penggagasnya, sebagaimana upaya pembalasan dendam kedua Sisters kepada Komodor yang gagal bukan karena pertahanannya sulit ditembus, tapi karena Komodor mati alamiah.

“Kerja kekerasan” Sisters bersaudara berakhir karena tangan paten Charlie sudah buntung. Tanpa dukungan keahlian salah satunya, pekerjaan “bejat” keduanya tidak sempurna, karena pikiran Eli pun sudah tak lagi di sana. Hidup mereka menjadi paripurna dengan bergabung kembali bersama ibu mereka, “karena ibu adalah menunggu” (ini nukilan puisi W. S. Rendra, bukan dari film, hehehe). Penebusan jiwa kedua dua “(anti)hero” itu didapatkan karena rasa lelah, bukan oleh rasa bersalah, lewat kelahiran kembali di rumah.

Akhir kata, ini film yang ternyata cocok dengan suasana kebatinan di akhir tahun maupun awal tahun, ketika, mungkin, kita sedang berkumpul dengan keluarga (atau yang sedang tak bisa pulang) maupun yang akan kembali meninggalkan rumah, di mana pun itu berada.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!