Gairah dan Prihatin

Para pengarang kondang di Indonesia akhir abad XX dan awal abad XXI mengaku memiliki masa lalu sebagai penikmat buku-buku Soekanto SA (1930–2020). Mereka membaca buku-buku Soekanto SA di perpustakaan (sekolah dan umum) atau memiliki koleksi di rumah. Pada masa lalu, Soekanto SA memang pengarang berpengaruh meski bukan paling besar di Indonesia. Ia teringat dengan majalah Si Koentjoeng dan buku-buku terbitan Pustaka Jaya.

Nama itu masih terucap dan terdengar sampai sekarang. Para peminat bacaan anak masih mencari buku-buku lama. Buku-buku garapan Soekanto SA tetap menjadi acuan untuk mengerti perkembangan sastra anak masa lalu. Kita belum berpikiran bakal ada penghargaan menggunakan nama pengarang itu berkaitan lomba penulisan sastra anak. Ia menjadi legenda. Kita mengagumi tapi sering kesulitan menemukan buku-buku lama atau mendapat ratusan halaman biografi. Pengarang moncer belum tentu mau menulis autobiografi atau bersedia dibuatkan buku biografi.

Jejak pengabdian di sastra anak oleh Soekanto SA masih terlacak dalam brosur berjudul Anak: Bacaan dan Mainan diterbitkan Gramedia dalam acara diselenggarakan Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) di Bentara Budaya, Jakarta, 1989. Acara penting terdokumentasi meski tak lengkap. Peristiwa wajib tercatat di situ: “Pameran Buku Anak-Anak Terbitan 1917–1970”. Kita menduga koleksi ratusan buku lama itu dikumpulkan oleh Murti Bunanta selaku pendiri dan penggerak KPBA. Murti Bunanta menulis skripsi dan disertasi mengenai sastra anak. Ia pun rajin menggubah sastra anak.

Di acara berdalih Tahun Anak Nasional 1989, panitia menghadirkan tulisan dari Soekanto SA di brosur. Kita mendapat penjelasan berlatar sejarah: “Tahun 1950, dapatlah dikatakan sebagai tahun kebangkitan bacaan anak-anak. Karena pada itu mulai hiruk pikuk masalah bacaan anak-anak. Dimulai dengan heboh membanjirnya ke Indonesia komik-komik yang merusak dan lektur pornografis yang dianggap berbahaya bagi anak-anak. Orang tua dan pendidik merasa pentingnya bacaan anak-anak yang dianggap bacaan mempunyai fungsi lain yang lebih luas.” Kebangkitan gara-gara bermunculan masalah, bukan bermula dari kemauan untuk memajukan bacaan anak dalam perhitungan situasi revolusi dan geliat-geliat kemodernan di Indonesia.

Kita mengingat Indonesia bergolak pada masa 1950-an. Politik tak keruan menjadi latar kemunculan pelbagai penerbit buku dan kecanduan publik membaca beragam majalah. Bacaan anak berupa buku diadakan sekian penerbit. Gairah itu dibarengi dengan penerbitan majalah anak atau ketersediaan rubrik sastra anak di majalah-majalah umum. Kita bermufakat bahwa masa 1950-an itu babak penting (produksi) bacaan anak di Indonesia. Lanjutan gairah dan meriah dalam pustaka anak terasakan (lagi) pada masa 1970-an.

Dulu, penerbit-penerbit rajin menerbitkan buku anak pada masa 1950-an: Balai Pustaka, Pembangunan, Pustaka Rakjat, dan lain-lain. Kemauan mendidik dan membahagiakan anak-anak dengan bacaan sempat surut pada masa 1960-an. Konflik politik dan nasib industri penerbitan buku mengakibatkan kelesuan. Malapetaka 1965 teranggap sebagai titik penentuan untuk melanjutkan gairah atau memperpanjang lesu dalam pemuliaan bacaan anak. Soekanto SA mengingatkan peristiwa penting diadakan oleh Balai Pustaka: “Seminar Bacaan Anak-Anak 1968”. Seminar dan usaha pemulihan dari pelbagai penerbit turut menjadi rangsang kemunculan penerbit-penerbit baru masa 1970-an berpihak untuk buku anak-anak. Kita mengingat penerbit serius dalam peningkatan mutu bacaan anak masa 1970-an: Pustaka Jaya.

Soekanto memberi paparan masa lalu. Ia pun berada dalam masa-masa berperan sebagai pengarang atau pengelola majalah. Soekanto SA terus berjalan di sastra. Pada situasi istimewa, ia justru memilih menekuni sastra anak. Ia sadar nasib industri penerbitan buku, gejolak majalah, dan perhatian pemerintah. Pengabdian sastra anak dilakoni dengan gairah dan tabah.

Masa menggembirakan penerbitan bacaan anak digubah para pengarang Indonesia perlahan tergantikan dengan pembesaran selera buku anak dunia atau buku-buku anak berasal dari pelbagai negara. “Pada kurun waktu 80-an, kita dikejutkan dengan munculnya banyak buku terjemahan yang hampir menenggelamkan pengarang kita sendiri,” hasil pengamatan Soekanto SA.

Pada saat tua, Soekanto (2010) berbagi biografi tapi singkat. Ia sudah terakui sebagai pengarang penting pada masa 1950-an dengan sekian cerpen dimuat di pelbagai majalah bergengsi. Sastra di Indonesia sedang subur. Ia sadar kekuatan dan kesulitan untuk menjadi pengarang sastra mendapat tempat dan terhormat.

Arah malah berubah. Soekanto mengenang: “Akan tetapi, pengalaman masa kecilku yang berbahagia karena cerita dan dongeng dari ibuku serta keinginan memberi bacaan anak-anak yang sehat kepada anak-anakku, membuatku beralih menulis cerita anak.” Keputusan penting dibuat berdekatan dengan peran ikut mengurusi penerbitan majalah Si Koentjoeng pada 1956. Tahun-tahun dialami dengan pengamatan bacaan anak dan penulisan cerita-cerita anak. Ia mampu menghasilkan puluhan buku.

Sejak masa 1950-an, ia menghimpun beragam data untuk mengikuti perkembangan bacaan anak di Indonesia. Ketekunan itu menjadi ia sebagai pengamat walau tak digenapi sebagai dokumentator ambisius seperti HB Jassin. Selama puluhan tahun, Soekanto SA menjadi “juru peta” atau “juru bicara” bacaan anak di Indonesia. Ia pun memberi penjelasan dan pengisahan di acara-acara penting di pelbagai negara.

Pada abad XXI, Soekanto SA sempat prihatin selain memberi anggukan atas perkembangan bacaan anak di Indonesia. Prihatin itu kewajaran setelah melakukan pengamatan. Soekanto SA mengungkapkan: “Akan tetapi, kini berbagai pertimbangan komersial, anak-anak disuguhi cerita yang sengaja dibuat-buat untuk mengiklankan berbagai produk dengan anak sebagai target pasar.” Ia mengerti sekian perusahaan makanan dan minuman menggunakan buku sebagai hadiah atau propaganda dalam menambah jumlah konsumen dan kesetiaan. Dana besar digelontorkan untuk menghasilkan buku-buku istimewa tapi gamblang berpamrih komersial.

Kini, prihatin mungkin bakal bertambah bila kita mau masuk ke toko buku atau mengamati dagangan buku anak di media sosial. Buku-buku digemari hari ini berupa buku-buku penuh atau ramai ilustrasi berwarna. Anggapan buku anak tak lagi memusat melulu dalam kata-kata untuk cerita tapi pikat ilustrasi. Buku-buku diterbitkan dengan tampilan apik atau elok memicu harga mahal. Obrolan bertema bacaan anak mulai dalam persaingan kata dan ilustrasi. Kekuatan cerita masih diminati anak-anak tapi keberlimpahan ilustrasi menjadikan babak menggairahkan dalam industri bacaan anak di Indonesia abad XXI. Begitu. 

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!