Gawatnya Sebutan Kafir dalam NKRI

riaurealita.com

Tahukah Anda bahwa di dalam al-Qur’an terdapat 89 seruan/sebutan yang menggunakan narasi “Wahai orang-orang yang beriman…. (ya ayyuhal ladzina amanu…)” dan diikuti dengan perintah melakukan kebaikan-kebaikan (dalam banyak bentuk, seperti berkata-kata baik, memenuhi janji, hingga menggauli istri dengan baik). Jika label “beriman” kita anggap sebagai identifikasi esoteris suatu umat (kaum muslimin), seyogianya ia tak bisa diberaikan dari karakter-karakter praksis luhung berikutnya yang berakumulasi pada “berbuat baik” (‘amilus shalihat).

Maka, konsekuensinya, seorang mukmin (muslim) bukanlah semata mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya (sebagai jagat batinnya), tetapi sekaligus (mengejawantahkan) berbuat kebaikan-kebaikan (sebagai jagat sosialnya). Yang pertama adalah sayap esoteris, yang kedua adalah sayap eksoteris. Esoterisme tanpa eksoterisme bagai burung bersayap satu yang dipaksa mengepak dan melanglangi cakrawala mahaluas. Eksoterisme tanpa esoterisnya bagai burung besi yang bisa terbang tapi tak punya tujuan sehingga mengalami kehampaan. Keduanya haruslah bersatu-padu secara kaffah.

Bila pengertian mukmin kaffah tersebut ditarik ke dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bagaimanakah seyogianya seorang mukmin (muslim) menempatkan diri di dalamnya?

****

Sejak awal terbentuknya negara ini, kita mafhum bahwa negara kita bukanlah negara agama (teokrasi), melainkan “negara sekuler-religius” yang tercermin dari sila-sila Pancasila sebagai dasar negara kita.

Sejarah panjang perdebatan kaum muslim yang diwakili M. Natsir dengan kaum nasionalis yang dinakhodai Soekarno tentang asas negara ini berakhir pada penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Itulah yang dikenal sebagai “gentlemen agreement” para pendiri bangsa ini, yang menurut M. Hatta dimaksudkan untuk merangkul kaum nonmuslim dari Indonesia Timur agar tetap menjadi bagian dari NKRI.

Melalui gentlemen agreement tersebut, apa yang sebelumnya disebut kelompok muslim melebur dengan sendirinya menjadi sama nasionalisnya dengan mereka yang awalnya teridentifikasi sebagai kelompok nasionalis. Tidak ada lagi sekat muslim versus nonmuslim. Natsir tidaklah berkurang nasionalisnya di hadapan Soekarno, misal. Semuanya sama-sama nasionalis, semuanya menjadi satu dalam nasionalisme NKRI.

Memang, hasrat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam tidaklah benar-benar padam dari bumi Nusantara ini. Dalam perjalanannya, geliat ideologi tersebut sesekali meruah ke permukaan. Ideologi, kita tahu, tidak akan pernah bisa dimatikan. HTI sebagai lembaga bisa saja dibubarkan oleh kekuatan regulasi pemerintah, tetapi bagaimana cara membubarkan pikiran dan cita-cita purba manusia?

Salah satu serpihan ekspresi dari hasrat purba tersebut tercermin dari merunyaknya stempel “kafir” kepada kaum nonmuslim. Stempel tersebut pada skala tertentu dapat dipostulasikan sebagai “bentuk baru dari geliat ideologi lama” itu. Tentu saja, bagi bangunan NKRI, sebutan sensitif tersebut sangat problematik.

Menyebut nonmuslim sebagai kafir mengandaikan adanya pemaksaan kacamata teologis kita (Islam) kepada mereka yang tidak menganut agama Islam. Sebagai negara yang secara sah mengakui banyak agama, sebutan-sebutan tersebut jelas dilematis untuk diperdengarkan di ruang publik yang majemuk.

Kita mesti ingat benar bahwa label kafir, sebagaimana yang kita maksudkan kepada nonmuslim, pada detik yang sama secara teologis juga dikenal dalam agama-agama lain. Umat Kristiani mengenal istilah “domba yang tersesat” untuk padanan kata kafir yang ditujukan kepada orang yang tidak menganut agamanya. Dan begitu pun agama-agama lainnya.

Bila sebutan-sebutan sensitif interteologis semacam itu dikibarkan ke panggung publik secara terbuka dan vulgar, dapat dibayangkan dampak psikologisnya kepada bangunan sosial kita yang majemuk ini. Saya yang muslim menuding Anda yang kristiani sebagai kafir, lalu Anda yang kristiani menuding saya domba yang tersesat, secara psikologis kedua pihak sama-sama menempatkan yang lainnya sebagai “hina, tersesat, dan celaka”. Kafir menurut agama saya bukanlah kafir menurut agama Anda, dan begitu sebaliknya. Ini sesederhana umpama saya menghina Anda “ndeso” dan di waktu yang sama Anda menghina saya “makan tuh kota” hanya karena kita memiliki jagat personal yang berbeda.

Mengapa mesti saling menghina dan merendahkan?

NKRI yang diwariskan founding fathers dilindungi penuh oleh Pancasila dengan cara mengakui dan menjamin hak bebas beragama setiap warga negara Indonesia sesuai dengan agama-agama yang diakui negara. Inilah konstitusi kita, inilah kebakuan legal-formal yang kita punya.

Pada sudut ini, otomatis dapat dipahami dengan mudah bahwa segala bentuk ekspresi menghina keyakinan orang lain, termasuk penyebutan kafir, merupakan pelanggaran hukum formal yang nyata. Tentu ada konsekuensi hukumnya. UUD 945, UU No. 1 PNPS 1965, dan Pasal 156 KUHP mengatur jelas perihal perlindungan agama, termasuk dari segala bentuk penodaan dan pelecehan.

Saya kira sudah terlampau telat bagi kita semua untuk terus membiarkan diri dibekap hasrat purba sentimental sejenis itu. Saya kira sudah tidak ada signifikansinya bagi produktivitas NKRI untuk terus mengumbar pernyataan-pernyataan genting macam “Penjajahan itu dulu terjadi bukan karena banyaknya penjajah, tapi banyaknya pengkhianat. Dan kali ini, tantangannya adalah para pengkhianat agama, muslim tapi lebih dekat dengan kafir, memerangi kaumnya….” (Felix Siauw, 2017).

Jauh akan lebih produktif dan kohesif buat NKRI kita bila keyakinan-keyakinan normatif seputar teks-teks mukmin dan kafir diarahkan kepada pilar “’amilus shalihat” (berbuat kebaikan-kebaikan)–ekspresi eksoteris yang melengkapi kualitas iman di ruang esoteris kita.

Pada dimensi inilah semua umat agama sangat bisa bekerja sama untuk kohesivitas NKRI. Semua agama, kita tahu, mengajarkan akhlak kemanusiaan yang saling bertemu pada tataran praksisnya. Dan inilah letak kalimatus sawa’-nya (common sense) yang bisa saling kita luaskan dan integrasikan. Menghormati orang lain, welas asih, empati, tolong-menolong, berbagi, dan segala bentuk kebaikan humanistic—tanpa perlu membenturkan landasan normatifnya yang niscaya esoteris-eksklusif—menjadi ladang terbuka bagi peneguh NKRI.

Patut direfleksikan selalu betapa sikap-sikap empati-humanistik demikian merupakan cerminan langsung dari kesuburan hati kita, yang tentunya juga beraras pada nilai-nilai keimanan di dalamnya. Di saat al-Qur’an sampai 89 kali menyeru “wahai orang-orang yang beriman” lengkap dengan ekspresi-ekspresi kebaikan humanistik yang diperintahkan, mengapa kita memilih berhenti hanya pada label “beriman” sembari mereduksi seruan-seruan berbuat baiknya? Mengapa kita cenderung memilih sayap yang satu sembari mencampakkan sayap satunya lagi yang sungguh sama pentingnya? Bukankah sikap reduktif tersebut tidaklah mencerminkan postur komprehensif keimanan itu sendiri?

Saya sungguh meyakini dengan berbekal penafsiran produktif terhadap 89 ayat yang memerintahkan kita untuk beriman dan sekaligus berbuat kebaikan-kebaikan itu bahwa membela dan merawat NKRI merupakan bagian dari amaliah mukmin (muslim) di Indonesia. Ia adalah bagian dari perintah-Nya untuk ‘amilus shalihat. Mencederai NKRI dalam segala bentuknya—jelas termasuk korupsi—setimpal belaka dengan memicu letusan konflik dan perpecahan yang jelas bernilai fasad (merusak) dan jauh dari karakter ‘amilus shalihat.

Jika iman memang sudah berdenyut di hati, sungguh disayangkan ia layu dan mati kemudian hanya karena kekurangjelian dalam memaknai paket komplet beriman dan berbuat kebaikan itu.

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!