Gerbang Kota

(Instagram: @celeste.iii)

 

Sore itu, aku dilanda kebosanan yang luar biasa. Jenuh setengah mati. Dan begitulah hari mingguku, satu-satunya hari libur yang kumiliki dalam hitungan minggu. Tidak seperti orang-orang lain itu. Seandainya Tuhan hanya mengizinkan manusia untuk memiliki satu rasa iri, tentu saja aku sangat iri pada mereka yang punya 2 hari libur dalam kalender mingguannya.

Sebagai satu-satunya hari libur yang kumiliki, aku biasanya lebih senang menghabiskan hari mingguku untuk mengistirahatkan diri di sepetak kamar yang kusewa sejak 6 tahun lalu. Turut andil menjadi “kaum rebahan”, istilah yang dipopulerkan oleh anak-anak milenial yang hidupnya telah berpindah ekosistem dari dunia nyata ke dunia maya. Belakangan malah mereka membuat istilah baru lagi, “horizontal body battery-saving mode“. Biar kedengaran lebih keren katanya.

Miris, sih. Tapi ya bagaimana lagi. Toh memang nikmat sekali rasanya menjadi kaum rebahan seharian setelah 6 hari melakukan rutinitas untuk menyambung hidup. Toh segala yang kita butuhkan juga sudah tersedia di dalam gadget. Sekarang informasi apa yang tidak bisa kita akses lewat gadget? Semuanya bisa. Tanpa bertanya kabar pun kita bisa tahu apa yang dilakukan orang lain melalui postingan-postingan yang mereka unggah di akun media sosial. Kita tahu siapa yang disukai dan yang tidak disukai si A, si B. Tinggal lihat saja komentar-komentar mereka di media sosial, apakah berupa pujian atau nyinyiran.

Capek menelisik hidup orang lain, laper? Tinggal buka aplikasi pesan antar makanan di gadget, pilih makanan, pesan, lalu tunggu beberapa menit, makanan akan datang sendiri di depan kamar. Tak perlu repot-repot lagi pergi jauh keluar kamar. Situs hiburan semacam games, tv channel pun juga kian merebak melalui aplikasi-aplikasi baru yang diciptakan.

Tapi memang manusia ini dasarnya mudah sekali bosan. Seluas apa pun akses dunia maya bisa dia genggam, tetap saja lama-lama dia bosan juga. Itu pulalah yang sering kali terjadi padaku ketika hari minggu hanya tinggal tersisa sepertiganya lagi. Pilihan apa lagi yang bisa dilakukan selain memaksa diri untuk keluar. Aku beranjak dari kasur, mengambil tas dan menyambar kunci motor di atas rak buku yang telah berdebu. Mau pergi ke mana? Aku juga tidak tahu.

Seperti yang sudah-sudah, ketika aku tidak punya tujuan pasti, aku hanya mengarahkan motorku menyusuri jalanan kota. Bukan kota sih, lebih tepatnya jalanan provinsi. Aku tinggal di salah satu provinsi kecil di negara yang disebut orang sebagai negara berflower, di provinsi yang “berbeda” dengan provinsi-provinsi lain. Orang-orang menyebutnya sebagai daerah istimewa. Hanya ada 5 kota di provinsi ini, satu kota besar sebagai pusat atau ibu kota, dan 4 kota kecil lain.

Aku terus melajukan motorku melewati pinggiran kota hingga lurus terus ke arah barat, melewati jalan lingkar yang ramai dilalui truk-truk besar. Aku tidak tahu lagi sudah berapa lama aku di atas motor. Angin sore memang selalu menyenangkan sekali. Sampai akhirnya aku tiba di suatu gerbang kota. Gerbang kota yang sudah tidak jelas lagi tulisannya karena rusak. Gerbang kota yang belum pernah kulihat sebelumnya. Apakah ini adalah salah satu kota bagian dari daerah istimewa ini? Bisa jadi iya, tapi aku sendiri tidak yakin. Bagaimana mungkin gerbang kota yang sudah sedemikian rusak hingga tak terbaca tulisannya ini tidak diperbaiki? Apakah pemerintah kota ini yang terlalu sibuk atau memang mereka pura-pura tak melihatnya? Ah, lagi pula itu juga bukan urusanku.

Senja belum sepenuhnya bertengger di puncak cakrawala, aku masih punya cukup waktu untuk mengelilingi kota ini. Karena aku penasaran, aku memasuki kota. Sawah-sawah yang kering bekas tanaman menyambut sepanjang jalan. Mungkin warga kota ini baru saja selesai panen. Setelah beberapa lama, barulah terlihat rumah-rumah penduduk. Sebenarnya ada yang sedikit aneh dengan kota ini. Mengapa kota ini sepi sekali? Aku sudah menjumpai rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan, tapi mengapa aku tak melihat seorang pun melintas di sini atau sekadar duduk-duduk santai di depan rumah mereka? Tidakkah mereka menyadari sejuknya angin sore kota ini?

Aku terus melajukan motorku sambil menikmati udara segar sore hari di kota yang baru kulintasi ini. Aku melintas cukup jauh, hingga akhirnya aku sampai di persimpangan jalan. Tepat di ujung persimpangan jalan itu, ramai sekali orang-orang berkumpul di sana. Oh, rupa-rupanya ini sebabnya kota ini tampak sepi sekali sejak aku memasukinya. Ternyata mereka sedang berkumpul di sini, di semacam alun-alun kota. Sebenarnya tempat ini terlalu kecil dan sederhana jika disebut sebagai alun-alun kota, tapi terlalu besar dan megah juga jika disebut sebagai lapangan kampung.

Terserahlah apa sebutannya, yang jelas aku melihat para warga berdiri melingkar mengelilingi lapangan. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan atau saksikan di sana saking banyaknya penduduk yang berkerumun. Mungkin sedang ada pertunjukan tertentu atau upacara perayaan tertentu. Lagi-lagi, karena aku penasaran, aku memarkirkan motor di bawah pohon rindang di samping lapangan dan mendekat.

Ada bapak-bapak paruh baya yang berdiri agak jauh dari kerumunan, masih di dekat pohon rindang. Aku mendekat padanya, bertanya ada acara apa sebenarnya di lapangan ini. Bukannya menjawab, Si Bapak justru pergi begitu saja, meninggalkan aku sendirian & berjalan menerobos kerumunan. Aku mengikutinya, menyibak kerumunan dan pelan-pelan merangsek ke depan. Penasaran dengan apa yang sebenarnya mereka saksikan.

Begitu sampai di barisan depan di antara kerumunan, betapa terkejutnya aku menyaksikan apa yang terjadi di depan sana, sampai-sampai perutku mual dan ingin muntah. Ada sekelompok orang yang sedang melakukan entah atraksi atau apa namanya aku tidak tahu lagi. Mereka terdiri dari 10-11 orang (aku tidak tahu pasti) dengan satu orang terbaring di antara mereka. Darah bercerceran di mana-mana. Apa yang dilakukan orang-orang ini? Mereka tengah memakan tubuh seseorang yang terbaring di antara mereka dengan lahapnya. Ini acara apa, pikirku. Semacam “persembahan”-kah? Atau apa? Mengapa begitu sadis dan menjijikkqan?

Sementara itu, dengan sekian banyak penduduk yang menyaksikan, mengapa tak ada satu pun yang terlihat jijik menyaksikan itu semua? Mengapa tak ada pula yang menghentikan sekelompok orang itu? Beberapa orang saling berbisik, menggunjingkan sekelompok orang yang sedang melahap daging dari sesama jenis mereka sendiri. Beberapa lainnya justru asyik merekam kejadian itu dengan kamera ponselnya sambil tertawa-tawa lalu sekilas kulihat mereka mengunggahnya di media sosial. Tak urung apa yang mereka unggah akan menjadi bahan gunjingan pula di dunia maya.

Adatkah? Rasa-rasanya bukan. Di sana aku tak melihat semacam tetua kampung atau tetua adat yang memandu mereka. Tak ada pula pakaian khusus yang mereka kenakan seperti pada umumnya ritual-ritual adat. Mereka semua, baik sekelompok orang di depan maupun orang yang berkerumun semuanya berpakaian normal sama seperti yang kukenakan.

Semakin lama aku semakin mual, lihat saja, darah bercecer di mana-mana, beberapa organ tubuh bagian dalam orang yang dilahap itu telah menyembul ke luar dan sekelompok orang yang mengelilinginya memakannya dengan semakin lahap pula. Mulut dan pakaian mereka telah berlumuran darah. Aku sudah tidak sanggup lagi menyaksikannya. Aku benar-benar ingin muntah. Aku berbalik, menyibak kerumunan orang dan kembali ke tempatku memarkirkan motor. Tanpa berpikir panjang, kunyalakan mesin motor dan kulajukan motorku menuju gerbang kota. Kota macam apa ini? Mengapa ada “pertunjukan” yang sedemikian menjijikkan sekaligus mengerikan di tengah modernitas dunia yang kian gamblang ini?

Entah, aku tidak mengerti. Aku hanya ingin segera pulang dan meninggalkan kota ini secepatnya. Bayang-bayang kengerian kejadian tadi masih terus mengganggu pikiran. Dan hari sudah mulai gelap. Aku panik, kupercepat laju kendaraan, berharap segera menemui gerbang kota dan meninggalkan kota aneh ini. Rasanya sudah cukup lama aku berlalu dari tanah lapang tadi, tapi mengapa tak kunjung kutemui gerbang kota yang tadi menyambutku? Kupercepat lagi laju kendaraan.

Di tengah kepanikan, aku kalap. Aku hampir menabrak anak kecil yang sedang berlari-larian hingga ke jalan raya. Tak punya cukup waktu untuk mengerem sepeda motorku, aku banting stir ke kanan. Entah bagaimana di jalanan yang begitu sepi sejak aku memasuki kota ini tiba tiba ada truk besar muncul dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi dan sudah begitu dekat denganku. Aku memejamkan mata erat-erat. Aku sudah tidak punya kendali atas apa pun lagi. Dan… braaaakkkk.… Hantaman keras itu tak terhindarkan.

Aku tersentak. Peluh membasahi tubuhku. Napasku menderu. Jantungku berdetak sedemikian kencangnya, dan aku lemas. Kulihat tubuhku masih utuh seutuh-utuhnya. Aku tergolek di atas ranjang yang sama sekali tidak asing. Aku masih di tempat yang sama di mana aku menghabiskan hariku sedari pagi, di kamar kosku sendiri. Sembari menarik napas panjang, aku mengumpat dalam hati, “Sialan. Mengapa pula aku tertidur sore-sore begini. Bikin gila saja”. Rupa-rupanya hari sudah mulai gelap. Kuraih ponselku di samping ranjang. Kubuka salah satu aplikasi pesan antar makanan. Aku lapar.

Rahayu Oktaviani
Latest posts by Rahayu Oktaviani (see all)

Comments

  1. Galsan Reply

    Keren, mengulas semuanya diluar kotak! Bebas dari bahasa yang kaku namun padat isinya…

    • Anonymous Reply

      Gerbang kota dan isinya menggambatkan pergumulan di dunia maya. Saling serang, saling menggosip membicarakan keburukan orng lain dan sisanya menyorakinya. Bagai memakan bangkai saudara sendiri. 👍

  2. Anonymous Reply

    Just a dream

  3. Pro-Lancelot Reply

    Beh, klise dan membosankan

    • Yoii Reply

      Apa susahnya menghargai sebuah karya? Jajahan 3 setengah abadnya masih saja membekas di diri Anda. Astaghfirullah.

  4. Anonymous Reply

    Buruk

  5. Anonymous Reply

    Hmm ketebak banget, bahasanya juga bertele tele, kok bisa lolos screening (?)

  6. Anonymous Reply

    terlepas dari ceritanya yang memang biasa-biasa saja, menurutku tata bahasa cerpen ini sangat kacau.
    banyak kata kerja dan keterangan tempat yang diulang-ulang sehingga menimbulkan efek bosan dan kaku.
    semoga penilaian ini bisa menjadi evaluasi positif untuk penulis.
    tetap semangat.

    • Yoiii Reply

      Menurut saya, kritik Anda terkesan sedikit frontal dan di luar batas wajar dalam mengkritik sebuah karya yang NYATAnya lulus seleksi tim kurator Basabasi yang lebih ahli dalam mengulik dan menilai sebuah cerpen. Hmmm penyebab Indonesia tidak kunjung melepas identitasnya sebagai negara ber-flower.

      • w Reply

        kalau menghina karya orang lain tanpa alasan yg jelas itu baru di luar batas wajar. Justru kritik di atas itu membangun karena dia menjelaskan apa yang salah dan perlu diperbaiki. Bahkan di akhir kata dia beri semangat yg positif.
        Kritik dan hinaan itu berbeda

      • Anonymous Reply

        kalau dikritik ya sudah, tinggal terima kasih aja, jangan pake sebut-sebut ini penyebab Indonesia itu “negara ber-flower” segala, memang anda bukan salah satunya?

  7. Anonymous Reply

    KEREN

  8. Mac Reply

    Cara basabasi manusia ‘suwung’ mengungkapkan apa yang ingin dia ungkapkan.. gkgkgkgkgk

  9. yul Reply

    Di bawah standar pemuatan biasanya. Tak seperti cerpen-cerpen basabasi lainnya.

  10. Meira Reply

    Cukup menarik untuk dibaca

  11. Kal Reply

    Cerpen Basabasi kadang bagus, kadang begini..

    • Admin Reply

      oke

  12. Yuni Bint Saniro Reply

    Jujur saja, sebagai penikmat untaian kata, aku tidak bisa menikmati membaca cerpen ini. Yah, ku akui tidak semua orang bisa mengungkapkan untaian kata manis yang menarik minat untuk terus membaca hingga akhir. Bisa jadi aku pun tidak sanggup melakukannya. Tapi, semoga penulisnya tetap semangat merangkai kata menjadi cerita yang lebih menarik lainnya.

    Fighting….

  13. Nandar IR Reply

    Untuk saya pribadi, cerpen ini menyenangkan untuk dibaca. Terlepas dari beberapa kekurangannya.

  14. Nn Reply

    maksud yg mau disampaikan cerita ini apa ya? Apa hubungannya mimpi aneh, kaum rebahan dan kecanggihan teknologi? Jangan masukkan plot cerita yg tidak perlu. Gunakan juga kalimat yg efektif, tidak usah sepotong-sepotong kalau intinya sama. Buat kalimat yg jelas dan hidup. Harus banyak membaca lagi karya-karya penulis lain

    • Anonymous Reply

      Pesannya tersirat dan aku sudah paham.

    • A Reply

      Ghibah atau menggunjing seperti memakan daging saudaranya yang masih hidup. Kecanggihan teknologi memunculkan istilah kaum rebahan. Orang-orang banyak seenaknya mengucap kata yang menyakitkan di dunia maya, nyinyir di mana-mana.

  15. Fadil Reply

    -Tinggal lihat saja komentar-komentar mereka di media sosial, apakah berupa pujian atau nyinyiran-

  16. Anonymous Reply

    yang nyiyir belum tentu bisa bikin netizen +62:v
    tetep lanjutkan karya nya kak :*

  17. Imran Ali Reply

    Saya lihat disini banyak yang cemburu dengan cerpen “Gerbang Kota” nya Rahayu Oktaviani , Saya masih tetap penasaran apakah author selanjutnya akan menulis ” Hujatan Netizen yang Membuatku Bangkit” ? Kita lihat saja

  18. Anonymous Reply

    bagus sekali

  19. Anonymous Reply

    AKU SUKAAAAAAAAAAA

  20. Roni Reply

    Menyinggung sikap kaum rebahan yg suka main gadget, yg suka komen nyinyirin bahkan cenderung adu ghibah atas suatu hal yg lagi viral di media sosial. Tentang sekumpulan orang2 yg jadi kanibal memakan daging manusia itu ada arti yg tersirat, yaitu bahwa negeri kita orang2 lagi pada suka mengghibah sana-sini lewat gadgetnya, padahal di agama Islam dikatakan bila suka mengghibah itu ibarat kata kita sedang memakan bangkai saudara kita sendiri

  21. Naga Reply

    Keren, sederhana tapi ada makna tersirat. Membaca komentar komentar di atas seperti masuk ke dalam Gerbang Kota dalam cerpen. Ada yang nyinyir dan ada pujian.
    Semangat.

  22. Anonymous Reply

    Unik dan cerita yang tak terduga

  23. Anonymous Reply

    Sewaktu si aku melihat adegan memakan daging sesama itu, sudah kuduga ini menggambarkan dunia maya tempat kita semua, secara sadar maupun tidak menggunjing dan membicarakan keburukan sesama kita.

    Aku suka cerpen ini. Di luar teknik kepenulisan atau apapun itu yang dikatakan commenters jelek, saya suka pesan yang ingin disampaikan.

  24. bunga Reply

    keren… aku deg-degan , kirain bahas gibah.

  25. Mizpa Ambarita Reply

    Enak banget bacanyaa beneran kaya bener bener masuk ke ceritanya.Ceritanya juga relate banget uwu

  26. Noza Reply

    Bagus. Terus berkarya kak, saya suka ide cerita kakak. Tapi saya menemukan ada salah tik sepertinya kak, paragraf ke-12 “menjijikkqan”. Rasanya bahasanya jadi sedikit alay, tapi saya juga memikirkan mungkin kakak ingin menegaskan rasa jijik luar biasa yang dirasakan tokoh “aku”. Maaf sebelumnya kak kalau setahu saya di narasi tetap menggunakan bahasa baku, tapi kalau di dialog ini boleh dilakukan.

    Semangat terus kak.

  27. Anonim Reply

    Pantas generasi muda Indonesia ga maju”, orang klo ada yg berbuat karya malah dijatuhkan dan dihujat, kritik itu boleh tp tolong buat kritik yg membangun.
    Satu kata negatif yg keluar dr ketikan jari netizen bisa berdampak buruk dan berkepanjangan bagi mental si penulis. Tolong hargai karyanya tidak semua orang jg bisa membuat cerpen seperti ini terlepas dari kekurangannya
    Semangat ya kak, jgn karena hate coment jd berhenti menulis!

  28. Mufidatin Farikhah Reply

    Menarik. Ternyata cuma mimpi😁

  29. Satyadalamusaha Reply

    Hargai sebuah seni yang udah diciptakan, buat cerpen ga semudah waktu suruh buat cerita di sd…ide ga melulu keluar waktu kentut, semangat terus buat karya untuk semua

Leave a Reply to Imran Ali Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!