Judul : Kacamata Onde Empat Potong Cerita
Penulis : Ririn Diah Utami, Dwi Supriyadi, Setyaningsih
Ilustrator : Na’imatur Rofiqoh, Ririn Diah Utami
Tahun terbit : 2018
Penerbit : Bilik Literasi Cilik!
Jumlah halaman : 52
Harga : 50.000
Ada yang runtuh dan tumbuh setelah cerita selesai dibaca. Yang runtuh adalah juga yang tumbuh: pemahaman. Namun cerita bukan mendobrak batas-batas paham kita, yang mungkin memang sengaja kita batasi dengan kukuh. Ia menyelinap. Dan kita tak sempat siaga untuk penolakan. Dan mungkin juga kita tak sempat tersadar, bahwa dari cerita yang diam-diam menyelinap di dalam tubuh kita itu, meminjam kalimat Vyasa, pengarang Mahabarata, kita tak pernah menjadi makhluk yang sama lagi.
Karena itu, cerita merupakan jalan termudah bagi manusia menuju sesuatu yang mereka rindu. Tapi, jika sesuatu yang dirindu (katakanlah Kebenaran, dengan “K” kapital) tak dibalut dengan cerita, reaksi paling mungkin dari seorang manusia adalah keberpalingan (de Mello, 1993).
Di sinilah kegamangan nasib cerita anak kita, lumrahnya—dan bukan-cerita-anak pada umumnya. Satu sisi, para pencerita merasa perlu mengkhotbahi pembaca (anak) dengan nilai-nilai yang mereka anggap penting, di sisi lain mereka tetap harus membikin cerita berjalan, yang mungkin disemogakan menarik.
Khotbah dalam suatu cerita, Anda tahu, kadang kala tak beda dengan sebuah melempem bagi sebuah krupuk—bikin tak renyah.
Untungnya pencerita-pencerita (penulis dan ilustrator) dalam buku Kacamata Onde Empat Potong Cerita paham ini. Maka, dengan pemahaman seperti itu, mereka tak berlagak mencoba mengkhotbahi pembaca (anak).
Dalam cerita “Kacamata Onde” yang ditulis Ririn dan digambar Na’imatur, misal. Kisah ini menceritakan seekor gajah periang bernama Onde. Sayangnya, riang Onde itu tak berterima untuk semut. Padahal, hewan-hewan lain mendapatkannya. Para semut malah kehilangan rumahnya tiap Onde hilir-mudik melewati rumah mereka dengan riang yang ia punya.
Karakter Onde saja ini pasti membikin frustrasi para redaktur media massa. Utamanya mereka yang meloloskan berita semisal: Gajah Mengamuk Hancurkan Kebun Warga. Gajah, dengan logika demikian, bukanlah makhluk yang riang sama sekali. Padahal alasan gajah mengamuk bukanlah karena mereka tak girang akan perkebunan warga atau karena memang hobi mengamuk. Melainkan karena penyempitan kawasan populasi gajah yang dilakukan manusia (Puspitasari, 2012). Sebagaimana kita pasti bakal mencak-mencak jika rumah kita digusur tiba-tiba.
Akhirnya, para semut membikin persekongkolan buat melakukan sesuatu pada gajah. Apa?
Para semut itu mendaki tubuh gajah untuk mencapai telinganya. Di sini lagi-lagi kita digugah. Kita tahu belaka bahwa suit memperlawankan gajah dengan semut. Perlawanan itu dimenangkan semut karena konon semut “menggelitiki” gendang telinga gajah sampai mampus. Tapi tidak bagi Ririn, juga Naim. Pendakian semut menuju telinga ialah untuk memberi tahu, bukan mengalahkan, membalas dendam.
Kita tumbuh dengan cerita-cerita. Dan cerita-cerita itu, Anda tahu, turut membentuk penilaian kita terhadap suatu hal atau suatu kelompok—baik secara sadar atau tidak. Celakanya, tak jarang penilaian itu kelewat buru-buru dan bukan tak mungkin (atau tak jarang?) sekadar manipulasi agar cerita yang dibikin makin dramatis dan memenuhi niat. Apesnya, penilaian yang kelewat buru-buru itu telanjur kita yakini, dan cerita-cerita tandingan untuk memperbandingkan pemahaman lama sering kali diberangus sebelum benar-benar kita alami karena ketakutan kita.
Tapi asoi saja, Sobat. Kita tak perlu membahas “cerita-cerita besar” macam itu. Kita ingat saja bagaimana nasib si kancil dalam pikiran kita. Mungkin sekali ia masih makhluk yang nakal tapi cerdik yang karena dua hal itu, pengin cepat-cepat kita basmi. Dan buaya, jangan-jangan masih kita olok-olok gara-gara rakus tapi bloon. Syukurlah Ririn dan Naim mengingatkan kita, untuk ramai-ramai bilang ke para redaktur media massa itu: Cuy, apa yang kamu lakukan ke gajah itu … jahat!
Sinergitas
Bagi Marti Bunanta (2008), yang harus dilakukan pembikin cerita anak bergambar ialah sinergitas antara penulis dan ilustrator. Kita bisa menjumpai itu dalam buku Kacamata Onde Empat Potong Cerita.
Sebagai penulis, Ririn, Dwi, dan Setya tahu, anak-anak akan gentar jika terlalu banyak kalimat yang mereka gunakan. Maka, kalimat-kalimat yang mereka pakai tak sampai lewah untuk menggambarkan adegan dan suasana dan deskripsi.
Marti Bunanta juga menanggap, bahwa buku cerita anak bergambar di Indonesia yang ditulis orang Indonesia cenderung di-anak tiri-kan. Selain promosi, juga ilustrasi. Sangat jauh, kata Bunanta, jika dibandingkan dengan nasib cerita-cerita anak bergambar yang dibikin penulis asing. Lantaran itu, kita mesti menjura pada Naim dan Ririn. Ilustrasi yang mereka buat tak hanya turut bercerita, namun juga penuh warna dan gurih dipandang.
Terakhir, yang mungkin tak penting, tapi jelas tak boleh terlewat dari upaya penggugahan buku Kacamata Onde Empat Potong Cerita ini: pengantar.
Kita akrab dengan seloroh bahwa anak-anak zaman dahulu mentok bercita-cita jadi dokter, polisi, tentara, pilot, atau guru. Tapi bagi anak-anak zaman now cita-cita itu mulai ditinggalkan. Generasi zaman now bercita-cita jadi youtuber atau selebriti Instagram. Bandung Mawardi, sebagai pegantar cerita, rasanya ingin membuka cakrawala cita-cita anak-anak dengan mencantumkan deskripsi diri sebagai “kritikus sastra”.
Kita sungguh jarang mendengar, atau bahkan tak pernah mendengar sama sekali, anak-anak dari rentang zaman yang panjang ini bercita-cita jadi kritikus sastra. Setelah membaca pengantar, barangkali anak-anak bakal menikmati empat potong cerita dengan “sungguh-sungguh,” seperti yang diharapkan Bandung. Dan misal pun belum berpikiran menjadi kritikus sastra, yang jelas, mereka bakal merasakan betapa membaca adalah suatu kenikmatan. Pada titik itu, kiranya Kacamata Onde Empat Potong Cerita mencapai apa yang dicita-citakan. []
- Gugah-Gugah Berlesatan - 11 August 2018