Lama setelah Kiai Haji Robani mangkat, Pesantren Hajar Aswad di kampung kami tak lagi memiliki pimpinan pesantren bergelar haji. Namun bukan itu yang mendesak keinginan Kiai Romli sebagai penerus untuk berangkat ke tanah suci, bahkan bisik-bisik sumbang yang menyebut beliau sebagai “kiai yang bukan haji” tak membuat kecil hati. Beredar pula dugaan bahwa pesantren salaf yang dipimpinnya makin miskin santri akibat tak lagi memiliki pengajar bertitel kiai haji. Kiai Romli yang bersahaja bukan orang yang haus gelar, jikalau beliau menabung puluhan tahun, semata ingin menunaikan rukun Islam kelima. Namun dini hari ini aku dapat merasakan dadanya tengah dilanda bimbang ketika mendapati satu-satunya pondok yang biasa kami pakai belajar roboh tertimpa pohon akibat terpaan badai semalam.
Pesantren kami hanya terdiri dari dua bangunan. Terbuat dari setengah tembok dan separuh anyaman bilik. Satu bangunan untuk belajar, lainnya asrama tempat santri mondok. Satu pondok sudah cukup menaungi para santri, karena telah lama pesantren kami tak memiliki santri putri. Di dalam kompleks pesantren, berdiri tajug kecil dan rumah Kiai Romli yang ditinggali bersama anak semata wayangnya. Rupanya bangunan yang telah serenta usia Kiai Romli itu tak dapat menahan bobot pohon besar yang ditumbangkan badai. Bangunan yang tersisa pun kini tak lagi tegap berdiri, tapi telah doyong ke arah barat.
Seusai salat subuh, Kiai memanggil Ustaz Zul—putranya—untuk berdiskusi di balai-balai rumah. Aku turut mendengarkan karena sedang piket menyapu seluruh halaman. Sementara santri-santri lainnya membereskan puing-puing pondok yang roboh itu.
“Abah tak akan jadi berangkat haji. Lebih baik uang tabungan Abah kita pakai membangun pondok,” putus Kiai. Wajah Ustaz Zul langsung pias, aku pun turut terenyak hingga sesaat sapu lidi yang kupegang mengambang di udara.
“Jangan, Abah. Kita bisa cari jalan keluar lain. Untuk sementara, para santri bisa belajar di tajug dulu,” cegah Ustaz Zul.
“Keputusan Abah sudah bulat, Zul. Apa artinya ke Mekah bila Abah menelantarkan pesantren,” kata Kiai dengan tatapan nanar yang terarah ke reruntuhan pondok. Kerut-kerut di wajahnya terlihat jelas karena beban pikiran.
Ustaz Zul tak berkomentar, hanya desau napas berat yang keluar dari mulutnya.
“Abah takut bangunan lain juga segera runtuh, memang sudah waktunya semua pondok dipugar.”
Dalam diamnya, aku tahu Ustaz Zul mengamini.
“Jang!” panggil Kiai yang membuatku malu ketahuan mencuri dengar.
Aku mendekati Kiai dengan langkah segan. “Iya, Kiai,” jawabku sambil menunduk-nunduk.
“Tolong panggilkan Cep Adang ke sini,” pinta Kiai. Aku mengangguk sebagai jawaban.
Siapa tak kenal Cep Adang di kampung ini? Sebagai satu-satunya agen pemberangkatan jamaah haji, namanya tersohor ke seluruh kampung. Apalagi dia pemilik rumah paling mentereng di sini. Cep Adang sudah menggantikan fungsi bank untuk warga, sesiapa yang ingin berhaji akan menyetorkan tabungan padanya tiap bulan. Begitu pula Kiai Romli. Aku tahu betul, karena bertugas mengantarkan uang tabungan itu.
Cep Adang yang masih memakai sarung sedang memandikan burung anis merahnya ketika aku datang. Dia terlihat kaget karena setoran tabungan haji Kiai telah lunas beberapa bulan lalu. “Ada apa, Jang?” tanyanya tanpa basa-basi. Sepertinya dia tahu ada sesuatu yang tak beres hanya dengan membaca air mukaku.
Tak lama setelah kusampaikan amanah Kiai, aku dan Cep Adang langsung berangkat ke pesantren. Atas desakan Cep Adang, di perjalanan, terpaksa kuceritakan soal musibah yang menimpa pesantren.
“Begini, Kiai. Katanya semua doa di Mekah sana bakal diijabah Allah. Ah, Kiai lebih tahulah soal itu,” ucap Cep Adang tenang setelah mendengar penuturan Kiai Romli. Sesudah menyesap kopi yang kusajikan, dia melanjutkan perkataannya, “Kiai berdoa saja di depan Kakbah, minta supaya pesantren ini lebih berkah. Mendapat banyak donatur. Lagi pula, kalau Kiai sudah haji, saya yakin, banyak warga akan mempercayakan anak-anak mereka mondok di sini,” rayunya.
“Berdoa itu di mana saja sama. Insya Allah didengarkan jika kita bersungguh-sungguh meminta,” balas Kiai. Kebijakan dari ilmu inilah yang membuatku tak sangsi mondok di sini. “Benar, tidak, Jang?” tanya Kiai yang sambil menatapku lekat.
Aku mengangguk sembari tersipu karena lagi-lagi ketahuan sedang memanjangkan telinga. Sengaja aku berlama-lama menghidangkan kopi supaya bisa mendengarkan obrolan mereka. Dan karena Kiai tak mengusirku, aku diam saja di ujung balai-balai.
Ekspresi Cep Adang mulai meradang. “Begini, Kiai. Kiai tidak bisa membatalkan kontraknya begitu saja, saya kan sudah bayar panjer. Itu bagaimana tanggung jawab saya?”
Kiai merenung sejenak. “Cep, kalaupun Abah berangkat, Abah kan masih harus menunggu beberapa tahun lagi,” ucap Kiai dengan suara berat. “Tak apalah panjer itu dihanguskan, Abah ikhlas.”
Aku pernah dengar, katanya berangkat haji sekarang harus menunggu lama sekali karena pembatasan kuota jamaah Indonesia. Bisa sampai dua puluh tahunan.
Roman muka Cep Adang berubah panik. “Ya tidak bisa begitu, Kiai. Uangnya mana bisa diambil lagi. Kalau tidak jadi ya hangus semua,” ketusnya.
Hening seketika.
Tangan Cep Adang mengetuk-ngetuk tiang balai, seperti sedang mencari akal. “Itu… sebentar, Kiai.” Dia kemudian mengeluarkan telepon genggam canggih dari saku celana, mengotak-atiknya, sibuk menghubungi seseorang. Ketika telepon masuk, Cep Adang beringsut menjauhi balai. Tak lama, dia kembali dengan muka semringah. “Kiai ini memang bagus peruntungannya. Kawan saya bilang, ada satu jemaah yang minta mengundur ke tahun depan karena ada keluarganya yang sakit. Saya akan minta Kiai menggantikannya. Bagaimana, Kiai?” desaknya. Matanya mengilat licin.
“Memangnya prosedurnya bisa semudah itu, Cep? Bukannya musim haji tinggal dua bulan?” tanya Kiai waspada.
“Oh jelas gampang, Kiai. Kalau saya yang mengusahakan, semuanya… bakalan mulus. Pokoknya Kiai tenang saja,” ujar Cep Adang sambil menepuk dada.
“Berangkatlah, Abah. Susah mendapat kesempatan seperti ini. Jangan khawatirkan persoalan pondok dan santri. Saya akan bicara dengan para santri mencari jalan keluar,” kata Ustaz Zul menguatkan.
Kiai Romli tak menjawab. Matanya menerawang memandang langit siang. Sorban di kepala beliau membayangi wajah tirusnya serupa gelayut mendung.
Berita tentang robohnya pondok tersiar ke telinga warga. Kami mendapat sedekah untuk membeli sebagian material pembangunan pondok. Hasil sisihan rezeki warga yang padahal tengah paceklik. Saat menerimanya, tak alpa kutangkap ekspresi haru di muka Kiai. Doa tak henti dilangitkan beliau sebagai syukur. Namun uang yang terkumpul masihlah jauh mencukupi.
Seusai salat Isya, aku mengumpulkan seluruh santri yang jumlahnya tak lebih dari jari-jari di kedua tanganku. Sebagai santri paling tua, aku merasa punya tanggung jawab membesarkan pesantren ini. Kusampaikan dengan hati-hati ide tentang membantu pembangunan pesantren pada kawan-kawan.
“A Ujang, jangankan membantu, selama tinggal di sini saja keluarga saya tidak pernah memberi infak,” kata salah satu santri getir.
Memang, pesantren kami tak pernah meminta infak pada para santrinya. Jikalau pesantren mendapatkannya, itu keridaan sendiri dengan besaran sebatas kemampuan masing-masing. Para penghuni pondok hidup dari panen hasil menanam sendiri dengan memanfaatkan tanah dalam kompleks pesantren yang seadanya. Ketika musim panen padi tiba, kami akan turun ke ladang-ladang, membantu para petani. Dari sanalah kami memenuhi persediaan beras. Terkadang bila ada sedekah cukup besar, Kiai akan membelikan kitab-kitab kuning baru untuk pesantren.
“A, saya punya ide. Tapi…,” ucapan Udin tergantung oleh keraguan.
“Apa, Din? Sampaikan saja.”
“Begini, A, bagaimana kalau kita minta sumbangan saja?”
Aku menghela napas. Sesungguhnya, ide itu sudah tebersit sejak pertama kali melihat pondok kami luluh lantak. Namun aku tahu benar perangai Kiai, beliau tak akan merestui jalan tersebut. Malam itu, kami tak menemui jalan keluar. Dalam angan aku sungguh berharap bahwa kata-kata Cep Adang akan menjadi nyata. Jika Kiai telah menjadi haji, pesantren kami tak akan lagi anyep santri.
Hari berganti secepat kedipan mata. Sedikit demi sedikit kami mulai membangun pondok dengan keringat sendiri. Para santri secara sukarela menambah satu kegiatan baru, begitu pula dengan Kiai, beliau tak pernah sehari pun absen meletakkan satu per satu bata untuk kelas baru kami. Hanya sesekali jika harus manasik beliau tak urun bersama kami. Namun, bahkan beberapa hari sebelum keberangkatan Kiai ke Jakarta, bangunan baru itu masih berupa fondasi.
“Ini passport-nya, Kiai,” ucap Cep Adang sembari menyerahkan bundelan dokumen.
Aku menangkap wajah bingung Kiai ketika meneliti dokumen-dokumen itu. “Ini…?”
“Sudah, tenang saja, Kiai. Semuanya aman. Kang Tarsa yang berangkat tahun kemarin saja tidak bermasalah apa-apa. Percayalah, Kiai, saya bukan anak kemarin sore mengurus beginian,” potong Cep Adang.
Meskipun dipenuhi penasaran, aku tak bisa mendengar kelanjutan pembicaraan mereka, sebab telah datang waktu untuk mengumandangkan azan di tajug.
Keberangkatan Kiai diantar dengan doa-doa khusyuk kami. Tak ada syukuran dengan hidangan mewah, tak seperti ketika Mang Tarsa berangkat tahun lalu yang menggelar selamatan besar-besaran. Namun tak ayal banyak warga bergabung dalam pengajian kami malam itu.
Ada getar ganjil di hatiku ketika mencium tangan Kiai sebelum keberangkatannya. Rasanya aku ingin menahan kepergian beliau. Kutepis jauh-jauh kila-kila tersebut. Namun saat memandang wajah Kiai, kulihat bibirnya terkatup rapat. Seakan tengah memenjarakan kata-kata, yang mungkin begitu pelik hingga tak mampu beliau ungkapkan. Hanya mata beliau saja yang sanggup memantulkan ganjalan tersebut: bangunan pesantren yang dari hari ke hari kian doyong ke barat.
Di malam keberangkatan Kiai, kusampaikan lagi ajakan membantu pembangunan pesantren pada kawan-kawan santri. Kali ini aku menyetujui usulan Udin meminta sumbangan, bedanya, kami tak hanya meminta cuma-cuma, tetapi ditukar dengan jasa apa saja yang bisa kami kerjakan. Setelah bersepakat, kami katakan putusan tersebut pada Ustaz Zul.
“Saya bersyukur sekali dengan inisiatif kalian. Tapi kalian dipondokkan di sini untuk belajar,” ungkap Ustaz Zul keberatan. “Sabarlah, Ustaz sudah mengupayakan bantuan dari pemerintah.”
“Tapi, Ustaz, sudah dua bulan ini belum ada tanggapan apa-apa dari pemerintah. Bagaimana kalau permohonan kita tidak dikabulkan?” tanyaku.
Ustaz Zul bergeming, tampak tak tahu harus menjawab apa.
“Insya Allah, Ustaz, apa yang kami lakukan merupakan pelajaran kehidupan,” tambahku penuh keyakinan.
Dengan berat hati Ustaz Zul merestui juga keinginan kami. Maka berangkatlah aku dan Udin terpisah-pisah, berbekal surat pengantar bercap dari pesantren. Begitulah ihwal kedatanganku sampai ke kota besar ini.
Tak kusangka, meminta ternyata teramat berat. Akarnya bersebab, pesantren tak pernah mengajarkan santrinya menengadahkan tangan. Beberapa kali saat berhasil mengumpulkan tekad, yang kudapat hanya pengusiran, bahkan sebelum mulut ini berkata-kata. Mata-mata mereka seolah tengah menghakimi atas tuduhan yang di luar nalarku.
Pernah satu waktu aku mendatangi seorang bapak paruh baya yang tengah duduk di serambi rumahnya. Belum lagi aku selesai mengucap salam, bapak itu menembakku tanpa basa-basi, “Mau minta sumbangan ya, Dek?” Mungkin bapak tersebut dapat menebak maksud kedatanganku dari map merah yang kupegang. Bapak tersebut kemudian berdiri berkacak pinggang dengan wajah garang, dari mulutnya kudengar tuduhan yang menyakitkan. “Dari tadi sudah beberapa santri datang minta sumbangan. Buat pembangunan masjidlah, pesantrenlah! Ngaku-ngakunya dari tempat jauh-jauh. Dikira saya tidak tahu kalau kalian itu penipu.”
Tuduhannya mengusik nuraniku. Tak mungkin rasanya ada santri yang menipu, apalagi dengan dalih semulia itu.
Siang ini saat sedang mencari masjid untuk mengistirahatkan kepala yang hendak meledak akibat terpanggang matahari, dalam pandanganku yang berkunang, kulihat seorang ibu terpincang-pincang membawa banyak bungkusan. Keringat menghiasi wajah pucatnya. Kuseret langkah menujunya untuk menawarkan bantuan. Dengan tatapan waspada, ibu itu akhirnya menerima bantuanku.
“Nak…, Nak…, punya badan sehat begitu kok ya kerjanya begini,” ucap si ibu ketika aku menyodorkan map merah berisi surat pengantar bercap dari pesantren. Sesungguhnya aku tidak paham dengan maksudnya. Pekerjaan apa? Si ibu kemudian menyerahkan uang sepuluh ribu dengan ekspresi kecut penuh keprihatinan yang membuatku sungkan menerima sumbangan pertama dalam pengelanaan ini. Kepala si ibu masih terus menggeleng ketika aku berpamitan.
Baru beberapa langkah keluar pekarangan ibu tadi, kakiku dijegal seseorang. Pelakunya seorang pemuda sebaya denganku. Penampilan kami pun mirip, sama-sama memakai baju koko lusuh dan menenteng map merah.
“Anak mana kamu? Setor ke siapa? Bukan anak buah Mas Jarmin, kan? Enak saja main serobot wilayahku. Kalau mau mangkal di sini, ya harus lapor dulu ke si bos,” sungut pemuda itu.
Aku menggeleng tak paham. “Maksudnya bagaimana?”
“Alah, pura-pura bego! Siniin duit tadi! Atau mau babak belur?” pemuda itu mengepalkan tangan mengancam.
Tubuhku menegang. Bagaimana bisa seorang santri memalak? Padahal pesantren mengajarkan kami hidup guyub dan saling menolong.
“Aku tidak bisa memberikan uang ini. Ini haknya pesantren,” jawabku penuh keyakinan meskipun badanku sedikit gemetar.
Pemuda itu menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Jangan bilang kamu benar-benar santri?”
Melihat raut bingungku, sikap si pemuda berubah sama sekali. Ekspresinya kini tenang. Sambil diselingi tawa kering, pemuda itu membuka jati dirinya. Bahwa dia datang dari kampung jauh, tengah mengadu peruntungan di kota. Malang baginya terjebak sindikat hingga terpaksa bekerja sebagai penipu dengan modus meminta sumbangan untuk pembangunan masjid. Kepalaku berkunang-kunang mendengar penjelasannya.
Sepeninggalnya, aku berjalan dengan kesadaran timbul tenggelam. Kerongkonganku kerontang. Baru kusadari seharian belum sesuatu pun masuk ke perutku. Aku butuh segelas air supaya tak jatuh pingsan. Kuseret kaki menuju warteg di seberang jalan. Bau masakan menusuk-nusuk hidung, menjelma liur.
“Mau makan apa, Dek?” tanya penjaga warteg.
Hampir saja aku memesan makanan, tapi nuraniku yang berseberangan dengan rasa lapar berhasil menahan. Aku memang sudah kehabisan perbekalan, bahkan tak bersisa untuk sekadar ongkos pulang.
“Air putih saja,” putusku.
Penjaga warteg memberiku segelas air sambil menggerutu. Kemudian perhatiannya beralih ke layar TV yang menayangkan berita jamaah haji. Sembari membasahi tenggorokan, aku pun ikut menyimak. Rupanya acara itu memberitakan tentang para calon jamaah haji Indonesia yang ditahan karena memakai dokumen palsu supaya bisa berhaji menggunakan kuota haji Filipina. Tiba-tiba mataku menangkap wajah Kiai Romli di layar TV. Tidak mungkin. Kukucek mata keras-keras. Wajah di layar tak berubah.
Kata-kata pembawa berita menjelma gelap. Rupanya Kiai tak pernah sampai ke Mekah, tidak pula mencium hajar aswad. Mendadak keganjilan kedatangan Cep Adang ketika menyerahkan dokumen pada Kiai terasa masuk akal. Tidak-tidak, itu pasti bukan Kiai Romli. Kiai pasti sudah sampai di tanah suci. Sibuk mendoakan para santrinya.
Namun keyakinan itu tak dapat mengusir senyap di dadaku, nyenyat oleh bayangan hajar aswad yang makin doyong ke barat.
- Hajar Aswad Doyong ke Barat - 24 March 2017