Nyaris seminggu saya menuntaskan novel terbaru Mahfud Ikhwan ini, Dawuk. Itu waktu yang lama buat saya untuk melahap novel setipis itu. Bukan karena sibuk atau memaksa diri bertahan, saya sengaja melahapnya pelan demi pelan—persis kebiasaan anak saya, de Diva, yang mencuwil sangat-sedikit demi sangat-sedikit jika ketemu ayam bakar. Saya tak ingin kehilangan satu nuansa pun, satu detail pun, satu kalimat pun, dan satu paragraf pun.
Itu terjadi sejak bab pertama, “Pagi di Warung Kopi”.
Ia masuk warung dengan kepala berkerudung sarung. Digebukkan kedua telapak tangannya ke meja, bak penabuh gendang hebat dari sebuah orkes melayu ternama: angkuh dan sangat menuntut perhatian. Dua cangkir kosong di depannya sampai melompat kecil dari lepeknya.
Bagaimana kita bisa tega melewatkan narasi sarkastis yang meskipun sependek itu telah berhasil mencitrakan suatu karakter tokoh yang benderang di kepala kita?
Beberapa bagian saya baca hingga dua kali. Celakanya, dengan senikmat itu melahapnya, sampai sekarang saya masih saja tak menemukan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Mahfud di ending novel ini: (jadi) Siapa yang mati? Siapa yang hilang? Siapa membunuh siapa?
Sejak 13 Oktober 2017, melalui akun Facebook, saya dengan lantang menyatakan bahwa Dawuk adalah kandidat kuat juara Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kategori prosa. Saya pun menandaskan—termasuk kepada beberapa kawan dekat yang acap bergunjing di meja kopi—bahwa jika Anda bertanya “Apa itu sastra serius?”, bacalah novel Dawuk. Lupakan dulu Murakami, Borges, Dominguez, dan Han Kang. Tak berhenti di situ, saya membeli 5 eksemplar Dawuk dan saya hadiahkan kepada sejumlah kawan, termasuk K. Faizi, yang saya tahu gemar membaca novel sastra serius.
Ada hal-hal istimewa yang menjadikan Dawuk layak benar untuk mendapatkan apresiasi tinggi dalam kancah sastra kontemporer kita.
Pertama, impresi. Cerita tanpa jejak kesan jelas tak perlu dilanjutkan. Kesan yang kuat menancap itulah yang saya maksud impresi—bahkan terus melekat di dalam imaji-imaji kita selepas menutupnya.
Impresi Dawuk sama sekali tak ditampilkan lewat kesulitan teknis cerita bagi pembacanya—selain “teka-teki” ending-nya: Siapa yang mati? Siapa yang hilang? Siapa membunuh siapa?
Sejak halaman pertama, impresi karakter memuakkan Warto Kemplung—Anda takkan mau sekadar berkhayal memiliki teman sepertinya—yang kemudian dijadikan narator oleh Mahfud ditampilkan dengan sedemikian detail kebrengsekannya. Impresi ini terus terkawal dengan konsisten, stabil, maka menancapkan “kesan-kesan mendalam di kepala kita usai membacanya”—dalam istilah Agus Noor.
Tidak hanya pada karakter Warto Kemplung, pada semua tokoh cerita, dari Mat Dawuk, Inayatun, Pak Imam, Mandor Har, impresinya terkawal dengan sangat konsisten. Ini jelas bukan pekerjaan mudah bagi seorang penulis novel—bukan cerpen—karena tuntutan napas panjang untuk bisa istiqamah itu menentukan hasil akhir impresinya.
…. semua orang di Rumbuk Randu tahu tentangnya, setidaknya untuk satu hal: ia adalah si bocah liar buruk rupa yang sejak kecil berkeliaran di kebun-kebun, kuburan, dan tegalan mereka.
Agak sulit menjelaskan betapa buruknya Mat Dwuk di masa bocahnya, sebagaimana sulit menjelaskan betapa mengerikan wajahnya saat dewasa. Untuk lebih gampangnya begini saja: bayangkan seorang bocah yang jika dia adalah anak atau keponakan kalian, maka kalian akan merasa malu untuk mengakuinya. Nama aslinya bagus, bahkan agung: Muhammad Dawud. Tapi, karena sejak kecil ia begitu kumuh, kumal, tak terawat, orang mengejeknya sebagai “dawuk”, sebutan yang biasanya dipakai orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu. Sejak itu orang memanggilnya Mat Dawuk.
Lebih buruk dari wajahnya adalah nasibnya.
Kedua, sarkasme. Kebetulan, di tahun 1997-2000, saya gemar sekali menulis cerpen-cerpen sarkastis. Era itu, berkat virus Seno Gumira Ajidarma melalui buku Saksi Mata, saya gemar memunculkan pisuhan, makian, dan diksi-diksi keji yang warganet zaman now akan mudah saja menudingnya “najis, amoral, tidak sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah Nabi”. Maka ketika saya menemukan di tahun ini sebuah novel dengan nuansa sarkastis yang kukuh—saya perlu menyebutkan novel Telembuk pula di sini—saya merasa menemukan memorabilia era itu.
Meski sarkasme Mahfud tidaklah sadis-sadis amat secara banjaran diksi—mungkin karena dia kurang intim bergaul dengan Gunawan Tri Atmodjo, sang pakar pisuhan dari Solo—tetap terasa kuat benar nuansa kebobrokan sarkastis yang dialami tokoh-tokohnya. Terutama, tentu saja, Mat Dawuk. Juga Inayatun, istrinya yang semlohai dan maniak bersenggama.
Ketiga, eksplorasi jagat ndeso. Ini adalah era sastra Murakami yang serba urban. Pengaruh besar Murakami ke dalam teks-teks sastra kita juga pengaruh Amerika Latin ala-ala Marquez dan Borges—begitu dahsyat melimpas. Penulis cerpen/novel hari ini terlihat kurang percaya diri jika tidak me-Murakami dengan mengangkat tema psikologis-urban yang penuh syndrome dan gaya berceritanya yang berlapis-lapis dengan kalimat-kalimat panjang yang memungkinkan lahirnya novel-novel tebal.
Mahfud mengambil arah sebaliknya: menakik persoalan-persoalan wong cilik, ndeso, TKI di Malaysia, Perhutani, kepincangan sosial, plus kemelut-kemelut cinta, dalam kosmos yang ala kadarnya, langsung menukik, fokus, tidak meluas ke mana-mana, dengan penuh ledakan sarkastis. Saya kira tema ini sejatinya adalah modal pokok sastra kita yang menunggu digali lebih dalam—toh mayoritas penulis sastra kita adalah wong cilik dan ndeso, bukan? Sungguh ganjil bila jagat ndeso, cilik, kok mengangkat persoalan relasi sosial di apartemen yang bukan atmosfernya, tak terjangkau, tak teralami, hanya demi me-Murakami. Saya mengerti, untuk konteks ini, perlu digunjingkan dengan lebih mendalam dan luas.
Saya sangat seturut bahagia dengan raihan Dawuk. Saya memeluk Mahfud di Plaza Senayan dan mengucapkan selamat untuk Anugerah Kusala 2017 kategori prosa. Ini bukan semata kemenangan Mahfud, tapi kemenangan “sastra endemik kita” yang bertema ndeso, wong cilik, tradisional, dengan pelbagai kemungkinan teknik bercerita yang dekat (teralami, meruhani).
Menjadi kelas menengah kan tidak harus dengan mengekori Murakami, ya.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Lutfi Arifin
jadi kesimpulan utama novel dawuk disebut istimewa karena tidak mengekori Murakami, ya? hmm … kirain yang lebih penting narasinya yang menciptakan impresi dan penuh sarkasme yang menarik. Maksud saya begini, suatu karya akan tetap bagus kalau dia memang bagus, tidak masalah dari mana asalnya dan tidak peduli di mana latar lokasi dan bagaimana konfliknya…. Salam dari anak muda yang belum pernah baca Dawuk (dan ingin sekali membacanya) dan baru membaca satu cerpen Murakami (yang judulnya Zombie).