Di Hyderabad, India, nyaris tak ada beda antara Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Meskipun umat Islam di sana terbilang cukup banyak, namun suasana puasa di kota berusia 400 tahun ini sangat jauh berbeda dengan negara kita. Tak terlihat orang-orang yang menyebar ke sudut-sudut kota, jalan raya, atau lampu merah, untuk berbagi takjil kepada musafir atau orang yang membutuhkan. Tak ada pasar sore yang khusus menjual takjil seperti yang banyak kita jumpai di Indonesia. Dan, tentu saja, warung, restoran, kedai es krim, tetap buka sebagaimana hari-hari biasa.
Bagi saya yang menjalani bulan Ramadhan tahun lalu di sana, satu hal yang jelas menandai datangnya bulan puasa yakni kuliner khasnya, haleem. Banyak penjual haleem di sepanjang jalan di kota. Haleem atau sering disebut Hyderabadi haleem atau haleem Hyderabad, yakni bubur atau sup pasta berbahan dasar daging kambing, gandum, lentil, dan ghee (lemak semacam mentega). Bumbunya yang kaya rempah, seperti jahe, bawang putih, kunyit, jintan, kayu manis, kapulaga, cengkih, lada hitam dan lainnya, memberikan cita rasa gurih dan khas. Disajikan dengan taburan bawang goreng, potongan podina (daun mint), serta irisan lemon. Proses pengolahannya masih mempertahankan cara tradisional, dimasak di dalam kuali di atas tungku menggunakan kayu bakar dengan api kecil selama 12 jam.
Haleem bukan sekadar sajian khas yang harus dicoba oleh penggemar wisata kuliner, tetapi juga merupakan makanan “bersejarah” yang termasuk salah satu bukti pengaruh Arab terhadap India dalam perkembangan gastronomi, khususnya di Hyderabad. Pada masa pemerintahan Qutub Shahi—penguasa Kesultanan Golkonda sekaligus pendiri kota Hyderabad, orang-orang Arab datang dengan budaya serta ragam kuliner mereka. Awalnya, makanan ini disajikan bagi keluarga kerajaan. Seiring berjalannya waktu, haleem menjadi menu khas berbuka puasa di bulan Ramadhan, bahkan disukai juga oleh penganut agama lainnya di sana.
Haleem mengalami banyak inovasi. Mulai dari chicken haleem hingga vegetarian haleem yang dikenalkan oleh restoran tertentu—seperti Pista House—agar para vegetarian tetap bisa menikmati lezatnya sajian yang satu ini. Setiap menjelang berbuka hingga tengah malam, warung-warung tenda yang menjual haleem banyak bertebaran di sepanjang jalan, tak terkecuali sejumlah restoran di hotel berbintang.
Suatu kali seusai shalat Maghrib, saya sempatkan membeli haleem di Jalan Sitaphalmandi, tidak jauh dari tempat tinggal saya. Beberapa orang tengah berkerumun di sekitar penjual haleem depan Nafees Restaurant. Seorang pria berpakaian serbaputih dengan kopiah putih tengah menyendok pasta berwarna kecokelatan tersebut dari dalam kuali, lalu menuangnya ke dalam mangkuk plastik. Seorang pria lain membantunya menaburkan bawang goreng, daun, mint, dan potongan jeruk nipis.
Saya memesan seporsi single haleem seharga 70 rupe atau sekitar 14 ribu rupiah. Tapi jangan salah, porsi single di India terbilang cukup banyak untuk seorang single—bahkan nasi goreng porsi single setara dengan dua porsi nasi goreng di Indonesia pada umumnya. Aroma rempah bercampur daun mint seketika menguar begitu tutup mangkuk saya buka. Semangkuk haleem hangat bertekstur lembut telah siap dinikmati!
Bagi saya pribadi, haleem bukan sekadar kuliner khas yang setiap tempat pasti memilikinya. Haleem menjadi penanda dan pembeda bahwa saat ini umat Islam sedang menjalankan kewajiban puasa Ramadhan. Sebab, alih-alih merasakan suasana Ramadhan dengan berjamaah shalat Tarawih di masjid, di Hyderabad, kaum perempuan dilarang masuk masjid. Orang-orang di sekitar saya tetap menikmati hangatnya biryani, samosa, shawarma, puri yang dicocol saus kari, dan segarnya lime juice, es krim almond, atau es tebu yang banyak dijual di pinggir jalan. Kadang saya merasa tidak sedang dalam bulan Ramadhan, jika saja perut tidak lapar atau tenggorokan tidak kering kerontang karena kehausan.
Melihat para penjual haleem di sore hari, selalu membangunkan kenangan saya tentang Ramadhan di kampung halaman yang jauh di Indonesia. Tenda-tenda tempat menjajakan haleem mengingatkan saya akan pasar sore di bulan Ramadhan, tempat saya berburu takjil beraneka macam. Bedanya, di tenda-tenda itu hanya tersedia haleem yang dijajakan oleh om-om berewok berpakaian serbaputih. Tak ada es dawet, es campur, es cincau, apalagi bubur sumsum, dan jenis takjil lainnya yang populer di Indonesia.
Tahun ini, giliran saya mengenang Ramadhan tahun lalu di negeri orang. Aroma haleem masih lekat di indra penciuman saya. Rempah-rempah yang kuat dalam setiap sajian khas India, masih melekat di indra pencecap saya. Pun, dialog-dialog bahasa Inggris beraksen India masih sangat familiar di telinga saya sebagaimana obrolan berbahasa Telugu—yang tidak saya pahami—di kalangan para pedagang di pasar, masih terngiang. Seolah, baru kemarin saya meninggalkan kota di India selatan tersebut.
Time flies so fast. Ramadhan segera datang. Tak ada lagi “perpanjangan waktu” puasa seperti di India dulu. Maghrib di India sekitar pukul 7 p.m. Di bulan Ramadhan tahun ini, saya akan kembali dapat melaksanakan shalat Tarawih di masjid. Saya akan kembali merasakan suasana Ramadhan yang tahun lalu begitu saya rindukan.
Akan tetapi, saya sadar, puasa bukan soal suasana di sekitar kita, bukan? Puasa merupakan ibadah jiwa yang diwujudkan oleh fisik dengan tidak makan dan minum serta melakukan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Suasana tidak menjamin niat dan kesungguhan dalam berpuasa. Baik di India maupun di Indonesia, baik berbuka dengan haleem atau bubur sumsum, puasa tetaplah puasa yang nilainya ditentukan oleh Tuhan berdasarkan kualitas puasa kita, bukan dari tempat, suasana, atau menu berbuka.
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Link video (Sumber: netcj.co.id)
- Indiestination dan Nostalgia Patah Hati bersama Lord Didi - 17 July 2019
- Naik Sleeper Train, Deg-degannya Kayak di Film Lion - 26 September 2018
- Haleem; Kuliner Khas Bulan Ramadhan di Hyderabad - 24 May 2017