Halte

Laki-laki itu sudah ada di sana sejak saya diterima bekerja di tempat ini tiga bulan yang lalu. Semula saya mengira, dia sama saja dengan yang lain, lagi menunggu bus. Selain bulu-bulu di rahangnya yang tidak dicukur, sebenarnya penampilan laki-laki itu hampir sama dengan kebanyakan orang yang bekerja di jajaran gedung perkantoran di seberang halte. Dia memakai setelan abu-abu dan celana abu-abu. Sepatu yang dikenakannya berwarna hitam dan di sampingnya tersampir tas berwarna hitam juga. Dasi yang dipakainya bergaris-garis hitam dan merah.

Laki-laki itu selalu berada di sana mulai pukul sepuluh pagi dan pergi satu jam setelah jadwal pulang kantor. Selalu jam yang sama. Tidak pernah terlambat atau lebih awal meski hari itu hujan lebat. Dia turun dari bus arah timur lalu duduk diam di bangku besi bercat biru dengan pandangan lurus ke jalan. Sesekali dia menoleh ke kanan, seperti menunggu sesuatu, tetapi tidak menaiki satu pun bus yang berhenti di depannya.

“Dia sudah ada di situ, bahkan sejak saya bekerja di kantor ini dua tahun lalu,”kata Nina, rekan saya, saat memergoki saya tengah memandang ke luar jendela. Nina ikut memandang sebentar ke arah halte yang terlihat kecil dari lantai dua ini. Nina, teman satu divisi saya, berperawakan kecil, berpakaian serba kecil, dengan mata yang sering menyipit bila tertawa. Giginya juga kecil-kecil. Saya sering memperhatikan bentuk gigi-giginya itu. Nina suka sekali tertawa. Menertawakan apa saja, termasuk laki-laki yang tengah duduk di halte itu. Mungkin itu sebabnya Nina tidak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu saya, semisal, laki-laki itu tengah menunggu apa? Rumahnya di mana?

“Kemungkinan besar dia gila. Ditinggal pacar atau kehilangan orang tua, anak, atau anjing peliharaannya. Ya, trauma semacam itu,” ujar Evan dengan enteng ketika saya bertanya tentang laki-laki itu, suatu hari, pada jam makan siang di rumah makan cepat saji di sebelah kantor kami.

“Tidak usah terlalu dipikirkan,”imbuhnya lagi ketika melihat alis sebelah kanan saya lebih tinggi dari posisi alis sebelah kiri. Lalu Evan pura-pura sibuk menghabiskan ayam goreng di piringnya. Saya tidak mendengar obrolan Evan lagi, terus memandang ke luar jendela. Dia tidak terlihat dari tempat ini. Saya berpikir, apa dia tidak merasa lapar?

“Orang gila tidak pernah merasa lapar,”ucap Evan ketika kami berkerumun di depan ruang rapat sehabis weekly briefing, beberapa hari setelah acara makan siang itu. Seperti biasa, Nina tertawa. Mendengar tawa Nina, Evan lebih bersemangat menunjukkan kemampuannya melucu. Saya memilih kembali ke meja. Semenjak itu, saya selalu mencari-cari alasan bila Evan mengajak saya keluar makan siang.

Jam makan siang berikutnya, saya memesan dua bungkus burger dan dua cup minuman soda. Saya keluar dari rumah makan cepat saji itu sambil menenteng kantong plastik berisi pesanan saya. Saya menyeberang lalu berjalan ke arah laki-laki itu. Dari gedung kantor mungkin Evan bisa melihat saya duduk di sampingnya dan menawarkan satu burger dan satu cup minuman soda. Tapi tadi saya sempat mendengar Nina mengajak Evan makan di luar. Laki-laki itu menoleh lalu menerima pemberian saya. Dia tidak menggangguk atau mengucapkan terima kasih. Kebetulan saya juga tidak menginginkannya.

Dia membuka kertas pembungkus burger dan memakannya. Saya melakukan hal serupa, setelah menyeruput minuman saya. Saat itu kira-kira pukul satu siang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Langit sangat terang. Matahari sedang bersemangat memeras keringat seperti pemerah susu.

Suara kendaraan hilir mudik, sementara kami hanya diam. Sesekali saya mengintipnya dengan ekor mata saya. Dia makan dengan lambat, tidak seperti orang yang kelaparan. Ketika makanan habis, saya jadi salah tingkah. Diam tanpa melakukan apa-apa membuat saya gelisah. Sialnya, tak ada orang yang mendatangi tempat ini. Bus-bus yang berhenti beberapa kali pun kebingungan karena kami tidak ikut naik. Saya batuk sebentar lalu batuk lagi, kemudian menggoyang-goyangkan kaki meski saya tidak bersiul atau bernyanyi kecil. Dia tetap tidak menoleh.

Sebenarnya saya sudah ingin pergi. Namun akhirnya saya memilih menanyainya, toh selama ini saya punya banyak pertanyaan, seperti, siapa namanya, di mana dia tinggal, sedang apa di tempat ini. Dia masih bergeming. Saya bilang, bibi saya pasti marah bila melihat orang mengabaikan orang lain yang tengah berbicara. Sepertinya dia tidak peduli tanggapan bibi saya tentang sikapnya. Saya juga tidak.

Lalu saya memutuskan untuk bercerita. Mula-mula tentang pendapat rekan-rekan sekantor saya tentang dia. Bagaimana mereka menebak-nebak, kapan pertama kalinya dia ada di halte ini dan apa sebabnya. Tapi saya tidak bercerita tentang lelucon Evan yang dianggap Nina sangat lucu itu, karena saya tengah malas tertawa di siang terik begini.

Pukul satu dua puluh, saya bangkit, membuang bungkusan makanan saya ke tong sampah yang berada di sebelah kanan halte ini. Saya mengingatkan laki-laki itu untuk membuang bekas bungkusan makanannya juga sebelum pergi.

Usia laki-laki itu saya taksir belum mencapai empat puluh. Bila dia sudah berada di sana lebih lama dari masa kerja Nina, artinya dia mulai menunggu di kisaran usia tiga puluh empat atau tiga puluh lima. Bisa saja lebih lama dari itu.

“Tidak usah dipikirkan,” kata pacar saya, malamnya, ketika saya bercerita tentang kejadian siang itu. Dia memeluk saya dari belakang dan mengelus tengkuk saya. Napasnya terasa hangat di telinga. Saya hanya mengangguk dan membiarkan dia menggigit-gigit kecil telinga dan leher saya. Namun saya tidak berhenti memikirkan laki-laki itu. Desah napas pacar saya dan gerimis yang jatuh di atap saling adu. Terdengar berisik sekali. Saya menatap langit-langit kamar yang rendah dan membayangkannya jatuh menimpa kami. Kemudian pacar saya tertidur di samping, tanpa mencium kening saya. Kemungkinan dia marah karena saya mengabaikannya. Akan tetapi, dia telah lama melupakan kebiasaannya itu, bukan cuma malam ini saja.

Jam makan siang berikutnya, saya mendatangi laki-laki itu lagi. Evan sudah lama tidak mengajak saya keluar makan siang. Sepertinya dia merasa saya terlalu aneh untuk menemaninya makan dibanding Nina. Mungkin karena Nina suka tertawa, dan Evan senang ditertawakan. Sepertinya lagi, Evan tidak mengajak Nina makan siang di rumah makan cepat saji di samping kantor kami, karena saya tidak pernah melihat mereka berdua di salah satu meja pengunjung. Untung saja. Setidaknya saya tidak perlu mendengar ucapan Evan yang tidak lucu dan tawa Nina yang terlalu banyak itu. Sore hari, mobil Evan juga tidak menghadang jalan saya. Pesan singkat Nina tidak pernah muncul lagi di monitor komputer saya. Biasanya Nina mengajak saya pulang bersama, karena rumah kami searah. Kebetulan sekali, saya tengah bosan memperhatikan bentuk gigi-giginya ketika tertawa. Saya heran, apa dia tidak bosan tertawa, termasuk menertawakan sepatu saya, tas saya, atau kemeja yang saya pakai. Bahkan pengamen dalam bus yang suaranya bisa dikatakan bagus pun ditertawakannya.

Saya selalu membeli menu yang sama, dua buah burger dan dua cup minuman soda. Saya tidak keberatan mengulang menu makan siang yang sama setiap hari. Tentu saja dia juga tidak. Kami menghabiskan makan siang dalam diam. Setelah makan, dia tetap diam, saya yang bercerita. Bukan cuma tentang pendapat rekan-rekan saya mengenai dia, saya juga bercerita banyak hal, seperti kucing tetangga yang selalu mengintip ke dalam kamar saya, namun tidak pernah masuk meski saya membiarkan pintu terbuka lebar-lebar, atau tentang sedap malam yang baru saya tanam, atau tentang telur gosong yang saya goreng tadi pagi. Entah mengapa saya jadi suka bercerita padanya. Mungkin karena dia menanggapi dengan tidak berlebihan seperti Nina, atau menyepelekan seperti pacar saya. Saya tahu, pacar saya lebih sedikit menyimak cerita saya. Sama sedikitnya dengan intensitas kunjungannya belakangan ini.

Saya banyak bercerita tentang orang-orang di kantor saya, semisalnya Dona, sekretaris kepala divisi saya. Saya tidak ingat, apa yang membuat Dona mendatangi meja saya kemarin. Dia juga tidak menyerahkan dokumen yang dipegangnya. Saya tidak habis pikir, dia repot-repot menghampiri saya hanya untuk menyampaikan pertemuan tanpa rencananya dengan Nina dan Evan di salah satu hotel di sebelah utara kota ini. Kata Dona, dekat dengan rumahnya. Saya menanggapinya dengan dingin. Saya gerah dengan kecepatannya berbicara ketimbang kecepatan otak saya mencerna informasinya. Alhasil saya lebih memilih memperhatikan bibirnya ketimbang menyimak. Lipstick berwarna merah menyala yang dipakai Dona tampak tidak serasi dengan gerak bibirnya yang begitu bersemangat, seperti ubur-ubur tersangkut celana dalam, atau lubang dubur ayam yang akan bertelur. Saya tidak bisa menahan geli mengingat reaksi Dona ketika saya pamit ke toilet sebelum dia selesai berbicara. “Bibirnya mengerucut,” ucap saya sambil tertawa. Tapi dia tidak tertawa. Juga tidak memandang ke arah saya.

Tak lupa saya bercerita tentang pacar saya yang mulai jarang terlihat atau menghubungi saya. Selalu saja ada alasan. Yang membuat saya heran, pacar saya mengaku mendapat banyak surat perintah lembur, padahal seingat saya, dia belum mendapat kenaikan jabatan apa pun yang menuntutnya tinggal lebih lama di kantor. Kata pacar saya, manajer barunya menuntut loyalitas dari semua karyawan. Sebenarnya saya tidak terlalu rindu pada pacar saya. Saya selalu merasa, pacar saya itu orang asing yang seenaknya duduk di sofa kesayangan saya, memencet-mencet tombol remote televisi saya, atau membuka jendela kamar tidur saya. Saya merasa tidak nyaman saat menemukannya di samping saya tiap kali terbangun tengah malam. Saya memandang laki-laki itu dan bertanya, “Apa perasaan seperti itu biasa?” Seperti yang saya duga, dia tidak menyahut.

Tentu saja saya sering kehabisan bahan, tapi saya berusaha untuk terus bercerita. Saya tidak suka keheningan membatasi kami, mungkin karena di kantor atau di lingkungan kos, saya lebih banyak diam. Di halte ini, banyak yang datang dan pergi, tapi kesepian terasa begitu menggigit. Wajah-wajah datar, bus-bus kaleng tanpa ekspresi, seperti robot-robot yang dikendalikan dari jarak jauh. “Saya tidak mau menjadi robot juga,” ujar saya pada laki-laki itu. Tapi saya tidak bertanya apa dia juga memiliki ketidakinginan serupa. Saya bercerita sampai jam makan siang habis, lalu beranjak kembali ke kantor setelah mengingatkannya untuk membuang bungkus makanannya ke dalam tong sampah.

***

            Saya menyeberang, berjalan menuju halte. Tak ada siapa pun. Saya duduk di bangku besi panjang bercat biru itu, di posisi laki-laki itu biasa duduk. Saya memandang lurus ke depan, tapi bukan pada bus yang melintas satu-satu. Kemudian saya memandang ke arah gedung perkantoran di seberang. Jendela lantai dua—di mana dua bulan lalu saya berdiri di baliknya dan melihat ke halte ini—terlihat kecil dari sini. Saya tidak melihat siapa pun di sana. Langit di belakang gedung itu memerah. Hampir gelap.

Sudah hampir dua bulan saya tidak lagi bekerja gedung itu—tepatnya sehari setelah melihat sebuah bus berhenti di halte ini dan laki-laki itu lenyap—dan tak ada perasaan ingin kembali.

Saya tidak yakin, tapi laki-laki itu memang telah pergi. Saya masih mengingat kejadiannya. Hari itu, seperti biasa, pukul sepuluh dia datang dan duduk di halte ini. Saya melihatnya dari jendela kantor saya beberapa lama sambil menebak-nebak apa yang membuatnya terlihat berbeda hari itu. Tapi tidak mendapat jawaban. Pukul sebelas lebih, saya melihat lagi ke luar jendela. Laki-laki itu tampak berdiri sambil melihat ke sisi kanan. Dia sempat memandang ke arah saya dan tersenyum sebelum sebuah bus berhenti di depannya.

Saya kaget. Bus yang berhenti itu berbeda dengan bus yang biasa melintasi jalan ini. Saya segera berlari menuju lift, mengabaikan panggilan Dona. Saya memencet tombol lantai dasar beberapa kali meski tombol itu sudah menyala, dan tidak sempat tersenyum pada orang yang berdiri di sebelah kiri saya. Begitu lift berhenti, saya bergegas keluar dan berlari ke halte itu. Bus itu baru saja beranjak pergi. Dan saya tidak melihat laki-laki itu di sana. Juga tas hitamnya.

Lelaki itu tidak pernah kembali ke halte ini lagi. Saya pernah mencari tahu dengan mendatangi kantor operasional lama bus itu. Namun gedung itu telah berganti menjadi Kantor Badan Statistik. Saya bertanya ke orang-orang, dan mereka menjawab dengan sorot keheranan bahwa bus itu sudah lama tidak beroperasi. Sepuluh tahun yang lalu.

Saya sempat naik bus ke arah lelaki itu pergi. Tapi kota ini terlalu besar. Dia bisa ada di mana saja. Atau tak ada di mana pun.

Saya pulang setelahnya. Bukan karena kehabisan uang, atau karena pacar saya terus menghubungi ponsel saya dan berteriak-teriak. Tapi karena saya memang harus pulang. Setelah itu saya merasa terlalu muak mendengar tawa Nina, humor Evan yang tidak pernah terdengar lucu, atau Kepala Divisi saya yang selalu melihat ke arah dada saya ketika saya memaparkan laporan bulanan padanya, lalu memutuskan berhenti untuk berangkat ke kantor lagi.

Sampai saat ini saya belum mendapatkan pekerjaan baru. Tiap hari saya hanya berjalan, membawa map dan amplop tapi tidak menyerahkannya pada kantor mana pun yang saya datangi. Sore harinya, saya pulang, membiarkan pintu kos terbuka sedikit dan menyiram sedap malam. Kucing tetangga—yang dulu hanya mengintip dari balik pintu—beberapa kali bertamu ke kamar saya dan kami berbagi makan malam atau menonton televisi bersama. Pacar saya tidak pernah lagi datang sejak saya mendapatinya bersama perempuan lain di kamarnya.

Langit kian gelap. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Dari arah kanan, sebuah bus melaju dan berhenti di depan saya. Bus ini yang dulu dinaiki lelaki itu. Tidak ada satu pun penumpang. Tanpa bertanya, saya pun menaikinya.

Angin berembus. Angin musim kemarau. Angin yang kering.

***

Lamhot Susanti Hotmaida Saragih
Latest posts by Lamhot Susanti Hotmaida Saragih (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!