Hamidah Hamiduh

Baru saja bulat matahari meninggalkan permukaan garis ufuk timur, sebuah rumah megah di Trans Subur, sebuah kawasan transmigrasi yang cukup elit, menggelar hajatan. Di bawah dua puluh lima unit tenda berampel merah muda, kemeriahan tertangkap pandang. Hamidah sudah mewanti-wanti agar penanggungjawab hidangan ala prancisan pada bemasak alias H-1 gelaran syukuran mengecek hidangan tiap setengah jam agar para tamu tidak kelaparan, kurang selera makan, atau kehausan karena persediaan makanan atau minuman yang tidak diperbarui.

Begitu jarum pendek jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi, satu per satu tamu berdatangan. Di dapur, Mak Yun yang ditunjuk sebagai panggung (begitu orang-orang di Musi Rawas menyebut penanggung jawab urusan konsumsi sepertinya) sedang mencacah 200 kilogram daging sapi yang akan dimasak rendang, bistik, kalio, dan sop daging. Di kabupaten, panggung memang bertugas nonstop. Selain harus memastikan anak buahnya sigap di hari bemasak, ia juga turun langsung di dapur untuk persiapan Hari H. “Kalau Bu Hajjah melotot ke kalian artinya ada menu yang harus kalian tambah,” perempuan 60 tahun itu memberi arahan kepada gadis-gadis yang menjadi panitia konsumsi di pagi-pagi buta. “Jangan repotkan aku yang masih harus ngurus hidangan buat besok,” tutupnya sambil mencuci potongan iga sapi yang akan dipindang dengan campuran nanas muda.

Hamidah adalah tauke sawit paling kaya di desa transmigran di utara kabupaten itu. Meskipun terkenal ramah dan dermawan, orang-orang sudah hafal dengan perangai suka pamernya. Tiap bulan, di halaman rumahnya yang luas ia berbagi sembako kepada penduduk Trans Subur. Siapa pun pasti dapat, syaratnya cuma satu: ketika ia menjelma peri paling dermawan, mereka mau mengaktifkan fitur siaran langsung di akun media sosial masing-masing. Bagi sebagian besar penduduk yang bekerja sebagai buruh sawit atau menyadap karet di kebun yang luasnya tak seberapa, permintaan perempuan 40 tahun itu tidaklah merepotkan apalagi memberatkan.

 Keberangkatannya esok sebenarnya mengandung duka. Urusan yang sudah mereka selesaikan tiga tahun yang lalu itu akhirnya memberikan tempat kepada putrinya, bukan sang suami yang mendapat serangan jantung ketika hendak buang air besar di suatu malam pertengahan tahun yang lalu. Setelah berbulan-bulan berkubang air mata, Hamidah pun memutuskan menggelar syukuran besar-besaran. Bukan hanya untuk menyamarkan kesedihan yang sesekali masih menggelayutinya, tapi juga untuk memberi tahu kepada para para perempuan—yang Hamidah sebut—sok kaya di dusun lain. Hamidah tahu, mereka kerap mencemoohnya sebagai orang kaya baru karena ketiban dua puluh hektar lahan sawit produktif sebagai warisan suami. Semuanya ia ketahui dari unggahan-unggahan mereka di media sosial. Sejak itu pula, Hamidah kerap menggunakan media sosial ntuk menyindir balik mereka.

Di hajatan kali ini. Hamidah tak mau main-main. Penduduk di dua kecamatan menjadi sasaran undangannya. Sejak kemarin ia sudah tak sabar melihat reaksi audiens melalui siaran langsung-nya, baik terhadap tenda yang megah, hidangan yang yang beragam, hingga penampilannya dengan jubah bertabur payet dan kristal swaroski yang ia pesan di Jakarta dua pekan yang lalu. Ya, tidak akan ada yang bisa menghentikannya, kecuali …

 … Ais, putri semata wayangnya.

Sejak malam tadi, gadis 18 tahun itu memasang muka masam ketika Hamidah sibuk memilih perhiasan—dari kotak perhiasan—yang akan ia kenakan hari ini. “Sudahlah, Ma,” kata Ais dengan nada protes. “Kenapa harus dipakai semua? Itu riya, Mah!”

“Tahu apa kamu tentang Riya, Is?” kata Hamidah tanpa menoleh. “Baru dua bulan tinggal di pesantren, kamu sudah bisa ceramahin Mamah,” kali ini ia mencoba anting barunya yang menjuntai bak lampu hias di ruang tamu mereka. Sejak kemarin ia berpikir keras, bagaimana caranya agar perhiasan itu tetap kelihatan ketika ia mengenakan jilbab besulam gambar mawar yang ia beli dari rekannya di Lubuklinggau yang baru pulang dari Singapura. “Kamu ambil hape Mamah tu,” Hamidah memonyongkan bibirnya ke permukaan lemari rendah, dua meter dari meja riasnya.

“Mamah mau siaran langsung lagi?” kata gadis itu sambil menyerahkan ponsel pintar sang ibu dengan wajah pasrah.

Satu menit kemudian, Ais yang mau mengingatkan sang ibu agar tak lupa mengenakan kerudungnya, merasa terlambat ketika Hamidah sudah berjalan ke luar rumah, mengaktifkan kamera depan, menuju tenda biru-merah muda yang meriah.

“Hai, gaes, apa kabarnya?” suara cemprengnya memancing orang-orang di tenda yang sedari tadi menunggu kehadirannya menoleh. Mereka sudah hafal apa yang akan Hamidah lakukan berikutnya. “Coba liat gelang baruku?” Hamidah menunjukkan gelang yang menyerupai rantai kecil ke muka kamera.

Penonton siaran langsungnya mulai bermunculan.

Satu, tiga, dua puluh, tujuh puluh ….

Hamidah senang kepalang. Apalagi banyak yang memuji kemegahan tempat hajatan dan penampilannya.

“Yang mau ceramah, ke laut aja!” katanya ketus ketika membaca beberapa komentar yang mengingatkan agar sebagai perempuan yang ia tidak riya.

Lebih seratus audiens menontonnya.

 “Iya, Sayang, kita pake Orkes Melayu Ampera,” katanya ketika ada audiens yang menanyakan tentang suara musik yang jadi latarnya. “Tahu ‘kan itu orkes paling mahal di Sumatra ini!”

Sebuah nama melayang di layar siaran langsungnya: Rita Marcacam.

Hamidah hafal sekali, istri kepala desa sebelah itu juga kerap menyindirnya lewat status-status Facebook-nya. “Hai, Bu Rita, bagaimana kabar di sana?” sapanya dengan air muka semringah. Sejak beberapa hari yang lalu ia sudah melatih wajahnya agar tetap memasang air muka ramah meski hatinya sedang gondok. “Eh, ada Mbak Susan!” kali ini istri tauke sawit di kabupaten sebelah yang jadi sasaran aktingnya. “Wah, Bu Romlah juga gabung!” Istri tauke karet paling tajir di kecamatan pun jadi sasarannya. “Bagaimana kabar kalian? Kabarnya di sana musim kemarau, pasanglah AC biar sejuk hati dan pikiran!” Hamidah tertawa, terbahak-bahak.

 Audiens, yang memahami konteks sapaan satiris Hamidah, melempar komentar-komentar provokatif. Meski tak ia tanggapi, Hamidah merasa di atas angin karena banyak follower yang mendukungnya. Saking sibuknya dengan siaran langsung-nya, para tamu yang berasal dari Trans Subur hanya ia salami sekadar dan sekenanya.

“Kalian tahu, ‘kan, kalau tauke sebelah ngundang Ustaz TV Ikan Sarden itu di syukuran anaknya bulan lalu,” Hamidah tampak sudah mempersiapkan punchline mematikan. “Besok jangan sampai nggak hadir karena Ustaz Youtube yang paling mahal itu kudatangkan langsung dari Jakarta!”

Orang-orang di tenda bertepuk tangan.

Mengundang Ustaz Youtube itu sebenarnya sudah ditentang Ais jauh-jauh hari. “Untuk apa, Mah? Bayarnya mahal? Mending ngundang ustaz dari pesantren Ais. Murah, tapi ilmunya paten!”

Waktu itu, Hamidah yang tahu kalau hasil perdebatan dengan sang anak akan menghasilkan kekalahan telak untuknya itu, bergeming. Tapi ia tak habis akal. Ia mengundang sang ustaz ketika anaknya balik ke pondok. Ia tahu sekali. Meski tak setuju, putrinya takkan mengacaukan hajatan yang sedang berlangsung.

Menjelang Zuhur, bertepatan dengan kedatangan kades Trans Rimbun dan istri, Hamidah mengakhiri siaran langsungnya. Tapi ternyata kehebohan yang lain kadung meletus di atas panggung beberapa saat setelah azan Zuhur berkumandang dari satu-satunya masjid di dusun transmigrasi itu. Seperti harimau lepas dari kandang, ibu-ibu naik ke panggung dengan goyangan yang menggoda. Awalnya orkes memainkan lagu dangdut, tapi di lagu yang keempat dan seterusnya panggung berubah menjadi diskotek terbuka karena Ampera meremiks semua jenis lagu yang mengiringi para perempuan yang tak muda lagi itu untuk bergoyang.

“Keluarkan hape kalian!” Hamidah mengambil mikrofon. “Hidupkan siaran langsungnya!” teriaknya seraya mengibarkan puluhan uang kertas pecahan lima puluh ribu di tangan kirinya.

Ibu-ibu heboh. Biduan orkes, yang tak mau melewatkan kesempatan itu, ikut bergabung ke barisan ibu-ibu yang sedang bersorak karena rezeki nomplok sebentar lagi ada di genggaman.

Ais yang melihat semuanya dari jendela kamar menangis karena tak tahu harus berbuat apa. Ia malu sebab sebagai anak pesantren ia hanya membiarkan saja kejahiliahan terjadi di depan matanya. Gadis itu juga tak habis pikir bagaimana sang ibu mengabaikan saja penduduk setempat yang namu. Apalagi begitu ia membaca bahasa tubuh ibunya yang baru akan turun panggung atau meninggalkan sejenak siaran langsungnya kalau ada pejabat atau tamu dari kalangan berada.

Menjelang Asar, goodie bag sembako sudah berjajar di dekat Hamidah yang duduk di atas kursi kebesarannya, tak jauh dari pintu masuk tenda. Seperti tahu apa yang harus mereka lakukan, para penduduk berbaris seraya melakukan siaran langsung, menyalami Hamidah (beberapa malah sengaja mencium punggung tangan perempuan itu), sebelum menerima bingkisan dari si pemilik hajatan. Beberapa penduduk yang memuji kedermawanan, kemewahan acaranya, atau mendoakan agar perjalanannya mendapat rahmat Allah, ia tambahkan lagi goodie bag-nya.  

***

“Mamah nggak perlu norak.” Di pagi menyingsing, Ais yang baru keluar dari kamar mandi memprotes hasil dandanan perias bayarannya yang sudah beraksi sejak Subuh. Gadis yang beberapa bulan terakhir ini selalu mengenakan jilbab yang menutupi dada syok dengan pipi merah merona, gincu warna senada, bulu mata palsu, dan alis tebal sang ibu yang menyerupai celurit. “Saya hanya mengikuti permintaan klien, Kak,” kata perias bayaran itu dengan kepala tertunduk. Ais mengangguk, Ia tahu, perias itu hanya melaksanakan tugasnya.

“Tiga hari lagi Mamah akan pergi dalam waktu yang cukup lama,” Hamidah menghela napas. “Sepulang ke Indonesia nanti nggak mungkin Mamah makeup-an lagi, Is.”

Ais bergeming.

Sepuluh menit kemudian, ketika Hamidah memasuki tenda yang sudah dipenuhi para undangan, Ais tak kuasa menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia yakin, pasti banyak tamu yang membicarakan penampilan sang ibu yang mengenakan jubah mengilap dan riasan wajah yang menor. Ais malu pada siapa pun yang hadir. Termasuk ustaz yang diundang dan …. almarhum papanya … di langit sana.

“Ais,” ibunya menoleh dengan mata melotot.

Ais tahu, ibunya berang karena ia tak melakukan siaran langsung sebagaimana pesan perempuan itu ketika mereka akan berjalan menuju bangku paling depan tadi. Meskipun begitu ia tak bisa menolak ketika sang ibu melakukan siaran langsung ketika ia didapuk mengaji di pembukaan acara. Beberapa saat sebelum membaca bismillah, jelas sekali ia mendengar kalimat sang ibu, “Meski baru mondok, suara Ais merdu nggak ketulungan. Yuk, gaes, mari dengarkan.”

Sepanjang ceramah sang ustaz, Hamidah sibuk dengan ponselnya, Kalau tidak siaran langsung, ia mengunggah foto atau video pendek suasana syukurannya di akun Facebook-nya.

Selepas perseteruan ibu-anak itu gagal menemukan titik temu sebagaimana biasa, Hamidah ketiduran di sofa begitu azan Isya berkumandang. Sementara itu, Ais mengecek ulang obat-obatan, paspor, KTP, charger ponsel mereka berdua di tas sandangnya. Sekali-dua ia mendengar keajaiban yang menimpa jemaah yang sedang berhaji: ada yang menjadi pribadi yang lebih baik, ada juga yang linglung atau bahkan hilang ingatan. Tentu saja Ais tak ingin hal yang kedua menimpa mereka. Tapi, Ibu? Ia lalu beristighfar, memohon perlindungan agar dijauhkan dari godaan setan yang terkutuk, dengan mata yang basah.(*)

Musirawas, 7 Juli 2022

Desy Arisandi
Latest posts by Desy Arisandi (see all)

Comments

  1. Tuko Reply

    Ini penulis mana ya?
    Jarang denger.
    Tapi cerpennya bagus bangets!
    Khas OKB ya, Bu, si Hamidah ini 😅😅

  2. Pak D Susanto Reply

    Terbayang keseruan dalam cerita sederhana yang dibalut dengan diksi menawan. Latar tempat yang dekat dengan suasan tempat tinggal saya, seolah kejadian itu nyata dan terlihat jelas di pelupuk mata. Bu Desi, terima kasih.

  3. Dian Reply

    Cerpen2 Desi, sepembacaan saya, mengangkat lokalitas perempuan lokal. Ini menarik, karena, salah satunya adalah, kespesifikannya. Sebelum ini, saya membaca 7 Babak Cerita Jelang Malam Pertama, lokalitas perempuan lokal itu bagus banget!!!

    • Miya Reply

      Relate sih ini

  4. Ling ling Reply

    Judulnya eye-catching bangets!
    Redaktur basabasi siapa ya?
    Pilihan2nya asik.
    Cerpen Desi ini salahsatunya.

    Meskipun, beberapa cerpenis ternama yang wara-wiri di basabasi, kayak Benny Arnas dan Kiki Sulistyo, selalu nerbitin cerpen terbaiknya. Bahkan, menurut saya, cerpen-cerpen terbaik Benny bukan di Kompas, tapi di basabasi.

  5. Nyala Reply

    B aja!
    Penulis ini gak konsisten.
    Cerpen2 sebelumnya bagus.
    Yang ini B aja.

    • Patri Reply

      Ciee, si Paling Konsisten komen!
      Karya lu mana, Taek?’
      Sok-sok an kritikus!!!!

  6. Mauli purnamasari Reply

    👍💝😍

  7. Lena Reply

    Cerpen basabasi yang terasa beud kehebohannya. Lokalitas yang keren!

  8. Andri AP Reply

    “Tiga hari lagi Mamah akan pergi dalam waktu yang cukup lama,” Hamidah menghela napas. “Sepulang ke Indonesia nanti nggak mungkin Mamah makeup-an lagi, Is.”

    Baris di atas adalah salah satu dialog yang berkaitan langsung dengan kondisi masyarakat Indonesia. Berhaji kadung dianggap sebagai batas akhir foya-foya dan berlebihan dalam urusan duniawi. Ayuk Desy cerdas banget menangkap ini dan menjadikannya sebagai salah satu baris yang memikat. Ditunggu cerita-cerita selanjutnya, Yuk.

  9. Lily Reply

    Sepanjang membaca cerpen ini saya tertawa lantaran ceritanya sangat relate dengan ibu-ibu lokal di daerah saya. Good job author!

  10. Fahrur Reply

    penggambarannya detail serasa nyata,nice.ditunggu cerpen2 yang lain

  11. Rml Reply

    Lumayan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!