Ini minggu ke delapan Handoko tidak mengunjunginya. Mutia mengerti bahwa anak satu-satunya itu harus membereskan pekerjaan penting di luar kota, sedangkan menantu dan cucu-cucunya juga punya kesibukan masing-masing. Setidaknya demikian ucapan Handoko lewat fitur telepon yang terletak di balik daun telinga Lola. Lola hanya perlu menekan satu panel di balik daun telinga kanannya lalu suara Handoko akan terdengar lewat lubang-lubang kecil mirip yang ada pada gagang pesawat telepon. Dan itu memang suara Handoko, bukan sekadar rekaman apalagi tipuan. Suara itu terdengar sangat dekat seolah Handoko berbicara dari balik leher Lola.
Setelah sambungan telepon berakhir, Mutia tahu ia tak punya alasan untuk merasa sedih. Meskipun ia merindukan anak, menantu, serta cucu-cucunya, kehadiran Lola juga cukup menghibur. Lola menyeret kursi di sisi tempat tidur dan mulai membacakan sebuah buku ‘penyegaran rohani’ yang ditinggalkan Handoko di dalam laci nakas. Lola membaca dengan nada suara datar, tapi stabil. Mutia menyimak dengan kedua mata terpejam. Cahaya matahari menimpa ubun-ubun dan satu sisi wajahnya; uban-ubannya tampak berkilau dan kerumunan keriput di sudut matanya terlihat seperti benang-benang halus yang menempel di sana karena tak disengaja. Tiba-tiba Mutia membuka mata dan menyuruh Lola berhenti. Ia menegakkan punggung dan bersandar di kepala tempat tidur.
“Handoko biasa membacakan buku itu untukku,” katanya mengakui. “Tapi aku enggak enak menyuruhnya berhenti. Kalau dia berhenti, dia mau ngapain? Aku tidak mau dia cepat-cepat pulang karena merasa enggak ada lagi yang harus dilakukan di sini. Jadi aku biarkan dia tetap membaca meskipun telingaku tersiksa.” Mutia tertawa kecil, berharap Lola memakluminya. Dan terutama, tidak mengadukan pengakuannya itu kepada sang anak.
“Ibu Mutia mau mengganti buku?” Lola menawarkan. Punggungnya tegak sejajar punggung kursi yang ditempatinya, tapi Mutia ragu apakah punggung itu menyentuh sandaran kayu di belakangnya. Betapa mengagumkan postur tubuh dan kulit Lola yang tanpa pori-pori dan tanpa tilas atau gurat luka sekecil apa pun. Betapa sempurna. Tentu saja Lola tak akan jadi uzur dan pikun seperti dirinya.
“Maunya sih begitu,” kata Mutia dengan bosan. “Tapi perpustakan jauh dari bangunan ini. Saya enggak mau merepotkan kamu.”
Lola tersenyum dengan cara yang membuat Mutia merasa ditemani manusia betulan. “Saya bisa bacakan audio book jika Ibu berkenan. Seperti fitur telepon di belakang telinga ini, saya juga telah diprogram dengan seribu lima ratus judul buku dalam perangkat lunak saya. Lengkap dengan seluruh bahasa dari seluruh dunia. Saya bisa membacakannya untuk Ibu dalam bahasa Rusia, Jepang, Belanda, dan sebagainya.”
Mutia menatap Lola dengan rasa bersalah. “Saya tidak mau merepotkan kamu. Ini seharusnya tugas Handoko.”
“Tapi Pak Handoko tidak bisa membacakan buku yang Anda sukai,” kata Lola dengan nada bijaksana. Meskipun ekspresi wajahnya nyaris tak berubah, Mutia mengagumi nada bicara Lola yang seolah mengandung emosi.
“Benar juga.” Mutia mulai menyandarkan kepala di kepala tempat tidur kembali. “Kalau begitu, tolong bacakan untukku Kisah Kancil dan Kura-kura dalam bahasa Manado.”
Bola mata Lola bergerak naik turun secara otomatis, diikuti binar kehijauan berkedip di tengah iris kedua mata. Satu kali kerjapan dan binar hijau itu pun berhenti lalu Lola mulai menceritakan kisah Kancil dan Kura-kura. Suaranya menyenangkan, sangat berbeda daripada ketika tadi ia membacakan buku dari Handoko. Ia terdengar seperti seorang guru taman kanak-kanak sedang membacakan cerita di depan ruang kelas. Kali ini Mutia sanggup menyimak hingga selesai.
Minggu berikutnya menantu dan cucu-cucunya akhirnya berkunjung. Handoko masih ada pekerjaan di luar kota dan menitipkan salam untuknya. Setelah disuapi jeruk dan bermain tebak-tebakan dengan cucu-cucunya, ia sudah harus ditinggal lagi sebab sang menantu hendak pergi latihan pilates sedangkan cucu-cucunya mesti menghadiri les piano. Lola ditinggal berdua dengannya lagi, “Biar Mama punya teman bicara dan baca buku,” kata si menantu.
Sekali waktu setelah bosan menyimak audio book dari Lola, Mutia menatap Teman Artifisial[1]nya itu lekat-lekat seolah baru menyadari sesuatu. “Kenapa ya aku merasa familiar dengan wajahmu,” katanya tanpa mengerjapkan mata. “Seperti aku pernah melihatmu di suatu tempat.”
“Benarkah?” kata Lola diikuti senyuman mekanisnya. “Saya tidak tahu apakah itu pujian atau sebaliknya.”
“Bukan pujian atau apa pun,” kata Mutia. “Hanya perasaan familiar akan wajahmu.”
“Oh ya, mungkin Ibu belum tahu soal ini.”
“Apanya?” Mutia mencondongkan tubuh dari sandaran kursi roda ke arah Lola yang menempati sofa satu dudukan.
“Pak Handoko dan istrinya belum memberitahu Anda?”
Si wanita tua menggeleng. “Mereka belum bilang apa-apa.”
“Mungkin karena tidak terlalu penting. Saya harap Ibu tidak keberatan dengan informasi yang akan saya ungkapkan.” Lola agak membungkuk dan menurunkan pandangan matanya. “Mereka memakaikan wajah manusia lain ke wajah saya.”
Mulut Mutia menganga membentuk O kecil yang tak ia sadari. “Mereka itu Handoko dan menantuku?” katanya setelah sekian detik.
“Mereka adalah pabrik yang menciptakan saya,” sahut Lola dengan tenang. “Tapi tentu saja wajah ini atas permintaan konsumen, atau dalam hal ini, Pak Handoko sendiri.”
“Lepas dari itu, aku pasti pernah melihatmu sebelumnya.” Lalu Mutia buru-buru mengoreksi ucapannya, “Maksudku, orang yang wajahnya dipakaikan ke kamu.”
“Barangkali. Tapi mungkin Ibu juga belum tahu.” Kedua mata Lola masih tertuju ke arah pangkuannya seolah menyimpan rasa bersalah. “Orang-orang yang wajahnya dipakaikan ke kami kebanyakan sudah meninggal atau yang sedang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan.”
“Oh, begitu, ya,” Mutia mengangguk puas. “Apakah kamu punya informasi untukku siapa pemilik wajah yang sekarang dipakaikan ke kepalamu itu?”
Lola menggeleng. “Maaf, saya tidak punya informasi semacam itu untuk Ibu.”
Mutia menguap lalu memalingkan wajah ke jendela yang menghadap taman. Meskipun kedua daun jendela terpentang lebar-lebar, tak ada angin yang berembus dari sana sejak tadi. Udara gerah di penghujung siang terperangkap di bawah atmosfer kamar. Lola menawarkan untuk membawanya ke taman sebab hari lumayan cerah dan burung-burung masih ada yang berkicau, tapi Mutia merasa sedikit letih dan ingin tidur sebentar sambil dibacakan cerita.
“Si Bungkuk dari Notre-Dame, Bahasa Indonesia,” katanya ke arah Lola yang serta merta mengakses kisah tersebut lewat fitur audio book yang dimilikinya. Mutia menyimak sambil menghabiskan jeruk yang dibawakan oleh menantunya.
Berhari-hari Mutia berusaha mengingat seseorang yang wajahnya kini berada di wajah Lola. Namun, semakin ia berusaha mengingat, ingatan itu justru semakin terasa jauh. Jangan-jangan ingatan itu tak pernah ada; Mutia mulai meragukan cara kepalanya bekerja. Barangkali seperti déjà vu, wajah Lola sekadar memberinya perasaan familier akan wajah seseorang yang ia kira pernah ia kenal dari suatu masa. Atau barangkali ia sudah benar-benar pikun. Ia harus bertanya kepada Handoko atau pun si menantu. Akhirnya Mutia memberanikan diri menanyakan hal itu saat Lola berkunjung pada minggu berikutnya.
“Yang seperti itu enggak ada, Mama,” kata Handoko lewat fitur telepon di belakang telinga Lola. “Tidak ada perusahaan di dunia ini yang mau menciptakan Teman Artifisial dengan mengadopsi wajah orang yang sudah mati.”
“Oh, begitu ya,” Mutia mengangguk-angguk setuju. Atau lega. “Benar juga. Setelah Mama pikir-pikir lagi, itu tak masuk akal.” Lalu ia buru-buru mengoreksi kalimatnya, “Maksud Mama, omonganmu masuk akal. Yang tidak masuk akal, kalau mereka menciptakan Teman Artifisial dengan wajah orang yang sudah mati.”
Dari mesin penerima, terdengar suara Handoko yang menghela napas. “Maaf, aku ada meeting dengan direktur sebentar lagi. Nanti aku telepon lagi sebelum makan malam.”
Terdengar suara bip singkat setelah ibu anak itu saling mengucapkan salam perpisahan. Mutia menatap Lola yang berdiri satu meter di depannya. “Jadi siapa yang harus kupercaya?” katanya. “Kemarin katamu kalian dipakaikan wajah manusia yang sudah meninggal atau yang menderita penyakit berbahaya.”
Lola membungkuk sambil menurunkan kedua matanya. “Maaf, kemarin saya melantur. Yang benar dan pantas dipercaya adalah omongan Pak Handoko.”
Mutia menatap ke luar jendela. Hari itu tak secerah kemarin, tapi kepalanya terasa sesak jika ia tetap berada di dalam kamar. Akhirnya ia setuju saat Lola menawarinya untuk dibawa jalan-jalan menggunakan kursi roda. Ia tak menunjukkan ekspresi saat berpapasan dengan beberapa perawat dan para penghuni yang lain di koridor. Sebagaimana ia, mereka—para penghuni itu—juga sepertinya terserap dalam isi kepala masing-masing. Di antara mereka ada yang ditemani anggota keluarga yang kebetulan datang berkunjung, salah seorang perawat, dan sebagaimana dirinya, ada juga yang ditemani Teman Artifisial. Selebihnya hanya mondar-mandir sendirian menggunakan tongkat atau kruk.
Inilah kenapa ia tak begitu tertarik dengan gagasan jalan-jalan. Baik saat sendirian maupun saat kedatangan pengunjung. Ia lebih suka melewatkan waktu di kamar saja. Hal-hal tertentu berpotensi memicu ingatan dari masa lalu. Dan kepalanya tidak mau pilih-pilih. Sayangnya, ingatan baik atau pun ingatan buruk tidak bisa disaring dulu sebelum mencuat ke alam sadarnya; semua berkelindan begitu saja. Koridor luas dan panjang yang mereka lewati itu, misalnya. Tak terhitung sudah berapa kali ia melalui koridor yang sama, namun baru kali ini benaknya mengasosiasikan ruang panjang itu dengan sebuah ‘ingatan buruk’. Koridor itu mengingatkannya pada koridor rumah sakit di mana ia pertama kali ‘menemukan’ Handoko tiga puluh tiga tahun yang lalu. Namun tentu saja bukan pertemuan itu yang menjadikan kenangan ini sebagai ingatan buruk, melainkan ingatan akan sosok yang lain.
“Lola, kamu tidak pernah menanyakan apa pun kepadaku,” kata Mutia ketika mereka sudah tiba di taman. Lola duduk di bangku taman dari besi yang dicat putih sedangkan Mutia tetap di kursi rodanya. “Jangan-jangan kamu dirancang untuk hanya merespon omongan manusia?”
“Apa yang Ibu harapkan untuk saya tanyakan?”
Mutih berpikir-pikir lalu menggeleng. “Bukan itu maksudku.” Ia membuang muka ke arah bangku-bangku taman yang lain. Kedua matanya memicing. Di masing-masing bangku terdapat penghuni yang disuapi kue atau buah, dibacakan buku cerita, diperdengarkan musik lewat headset, selebihnya sekadar duduk-duduk menikmati suasana hari yang teduh. “Hanya saja,” katanya kemudian, “rasanya aneh kita sudah berkali-kali bertemu, tapi kamu enggak pernah menanyakan apakah aku mungkin tetap mau di sini atau mau pindah negara saja.” Ia melirik Lola lalu tertawa jenaka. Lola yang segera dapat merespon ucapan tadi sebagai candaan akhirnya turut tertawa.
“Maaf, seharusnya saya bertanya apakah Ibu sehat?”
Mutia kembali menggeleng. “Tidak. Bukan pertanyaan semacam itu,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. “Oh ya, jangan salah paham. Jangan katakan nanti pada Handoko kalau saya tidak lagi betah di sini. Tidak seperti itu. Dia sudah bekerja keras supaya saya bisa menempati salah satu kamar paling nyaman di sini. Saya harus bersyukur. Kalau anak saya bukan manager sebuah perusahaan paling sukses di negeri ini, mana bisa saya tinggal di tempat seperti ini.”
Lola mengangguk. “Anda benar.”
“Nah, kamu pasti berpikir kamu tahu segalanya,” Mutia melirik Lola dengan pandangan menggoda, “tapi kamu tidak tahu fakta penting satu ini.”
“Maaf, saya tidak berpikir saya mengetahui segalanya,” Lola membungkuk sambil menurunkan pandangan matanya seperti biasa. Meskipun punggungnya dicondongkan ke depan, ia tidak benar-benar terlihat membungkuk dalam makna yang sebenarnya.
“Tidak perlu merasa sungkan begitu,” kata Mutia, menikmati rasa bersalah yang amat sering ditunjukan oleh Lola. “Kamu tidak salah kalau kamu tidak tahu. Tapi entah kenapa hari ini aku tiba-tiba teringat dengan rumah sakit tempat aku pertama kali bertemu Handoko sewaktu dia baru saja dilahirkan oleh ibunya.”
Lola tidak mengatakan apa-apa, tetap menyimak. “Maaf, ada yang tidak saya mengerti,” katanya setelah beberapa saat.
“Tidak. Kamu tidak salah dengar,” kata Mutia.
Lola mengangguk.
Mutia menghela napas sebelum mulai bertutur, “Aku mengadopsi Handoko dari sebuah rumah sakit. Bertahun-tahun menikah, aku dan Sofian tidak kunjung dikaruniai anak. Semua cara sudah kami coba, tapi nihil. Rencana mengadopsi anak sudah terpikirkan bertahun-tahun, tapi baru saat melihat Handoko hati kami tergerak. Waktu itu kebetulan kami sedang menjenguk adik iparku yang baru saja melahirkan. Tapi di koridor, ada orang-orang berkumpul dan berbisik-bisik. Aku coba nimbrung. Mereka bergunjing tentang seorang perempuan yang menolak membawa pulang bayinya setelah dilahirkan.” Ia memandang Lola, tapi tak dapat membaca ekspresi wajah si Teman Artifisial saat menyimak penuturannya. Tapi ia yakin Lola memahami omongannya seperti biasa. “Alasan perempuan itu sangat egois. Katanya dia hamil di luar nikah dan belum siap menjadi seorang Ibu. Secara psikis dan finansial dia belum siap. Waktu disarankan supaya bayinya diserahkan saja ke pihak ayah, perempuan itu nyeletuk: lupa. Maksudnya dia lupa siapa ayah dari bayinya. Parahnya lagi waktu disarankan supaya si bayi diurus saja oleh kakek dan nenek alias kedua orangtuanya sendiri, perempuan itu membalas: orang tuaku mana punya waktu dan uang untuk mengurus bayi lagi. Lalu katanya, sudah syukur dia tidak kuaborsi waktu masih janin. Sudah syukur aku mau melahirkan dia.” Mutia berhenti lalu menggeleng. Kedua matanya terpejam dengan ekspresi yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. “Memakai seluruh logika robotikmu, menurutmu perempuan macam itu pantas jadi seorang ibu?”
“Tentu saja tidak.”
“Tapi nyatanya rahimnyalah yang bisa berfungsi, sedangkan rahimku tidak. Nah, itulah misteri kehidupan paling absurd bagiku sampai hari ini. Karena penasaran dan juga kasihan, akhirnya aku minta perawat mengantarku untuk melihat si bayi. Seorang bayi laki-laki yang sangat mengagumkan. Aku memanggil Sofian. Dia sama terharunya denganku ketika melihat bayi itu. Akhirnya kami bicara dengan ibu kandung dan keluarganya. Mereka langsung setuju dan kelihatannya sangat lega.” Mata Mutia menerawang jauh seolah peristiwa itu tengah berlangsung kembali di suatu tempat di hadapannya. “Ibu kandungnya tidak pantas mendapatkan Handoko,” ia bergumam lalu menghela napas. “Kami bertigalah yang ditakdirkan untuk bersama. Handoko pantas mendapatkan orang tua seperti aku dan Sofian.”
“Ibu benar,” kata Lola nyaris secara otomatis. “Pak Handoko sukses karena Anda ibunya.”
“Menurutmu dia bersyukur diadopsi oleh kami?”
Lola balas menatap wanita tua itu. “Pak Handoko tahu dia diadopsi?”
“Saat usianya dua puluh satu, kami memutuskan memberitahu dia. Lebih baik dia mendengarnya langsung dari kami daripada dari orang lain, kan? Wajar kalau dia merasa penasaran dan ingin melakukan semacam pencarian. Sayangnya kami tidak tahu apa-apa lagi tentang ibu kandungnya. Ketika Sofian masih hidup kami meyakinkannya berkali-kali bahwa latar belakangnya tidaklah penting. Yang terpenting kami bisa memberinya masa depan yang cerah.”
“Benar.”
“Demi menjaga kesehatan mentalnya kami tidak pernah memberitahu dia kalau ibu kandungnya tidak menginginkan dia.” Mutia tampak ragu-ragu sejenak. “Tapi lalu kupikir mungkin ada baiknya kalau dulu aku sempat memberitahu dia.” Dengan ekspresi berbeda, ia menoleh kepada Lola, “Istrinya baik sama kamu?”
“Ya,” jawab Lola hampir secara spontan. “Tapi Pak Handokolah yang paling baik. Beliau akan memarahi anak-anaknya kalau mereka menarik rambutku atau iseng menusukkan pulpen ke lenganku.”
“Namamu Lola sejak pertama?”
“Nama bawaanku Era0037. Lalu Pak Handoko menamaiku Lola Hermina.”
Entah sejak kapan wanita tua itu tertegun. Ia tidak lagi menyimak Lola. Pandangan matanya tertuju ke arah bangku taman di seberang mereka. Dua orang yang menempati bangku itu adalah seorang lelaki tua dengan sebuah headset bersama seorang Teman Artifisial. Si Teman Artifisial berupa sosok lelaki muda bertubuh tinggi dan tegap. Sepintas tak ada yang istimewa dari Teman Artifisial tersebut. Namun, hanya Mutia yang tahu apa arti dari tatapan matanya dan alasan ia kemudian bangkit dari kursi roda dan berjalan tersaruk-saruk menemui lelaki tua dan Teman Artifisialnya di bangku seberang itu.
Sepasang jendela di kamar Mutia terkatup rapat. Wanita tua itu baru saja dibaringkan di tempat tidurnya yang empuk dan dingin. Kursi rodanya teronggok di sisi tempat tidur. Lola menyalakan lampu, tapi seketika Mutia menyuruhnya mematikan lampu itu kembali. Dalam remang kamar, Lola tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bahkan ia tak yakin apakah dirinya masih dibutuhkan di sana. Ingin rasanya ia menekan tombol panggilan supaya Pak Handoko menyuruh sopir keluarga datang menjemputnya, tapi khawatir tindakan itu malah akan menyinggung perasaan sang Ibu. Seorang perawat mengetuk pintu lalu masuk, menanyakan keadaan Mutia. Mewakili si wanita tua, Lola menjawab bahwa ibu dari majikannya itu baik-baik saja. Setelah memastikan Mutia memang baik-baik saja, perawat pun meninggalkan kamar.
Namun Lola tahu Mutia sangat terguncang.
Di taman tadi wanita tua itu melihat Teman Artifisial yang sangat mirip dengan suaminya di masa muda. Sofian.
“Bagaimana bisa wajahnya sangat mirip dengan suamiku?” tanya Mutia saat mendekati lelaki tua ber-headset dan si Teman Artifisial di bangku taman. Lola menyusul ke seberang tanpa memahami situasi. Mutia mulai bicara dengan nada tinggi dan menutut. “Siapa yang mengizinkan kamu memakai wajah Sofian untuk Teman Artifisialmu?”
Akhirnya si lelaki tua melepas headset, memanggil perawat terdekat, dan meminta si perawat menghubungi keluarganya. Sebab lelaki tua itu sendiri tak dapat menjelaskan mengapa Teman Artifisial yang diutus mendampingi dirinya memiliki wajah mirip suami Mutia. Lelaki tua itu sendiri tidak mengenal Mutia atau pun mendiang suaminya. Barangkali pihak keluarga memilih wajah itu secara acak. Tapi perawat yang melerai mereka menjelaskan bahwa prosedurnya tidaklah seperti itu. Keluarga si lelaki tua pasti telah memperoleh izin dari keluarga Mutia untuk menggunakan wajah suaminya. Bahwa Mutia tak tahu menahu soal ini, membuktikan bahwa izin itu diperoleh dari anak atau siapa pun yang memegang hak izin duplikasi wajah sang ayah. Beberapa kasus yang pernah terjadi sebelumnya membuktikan teori ini; dua keluarga yang tidak memiliki hubungan darah bahkan tidak saling mengenal sekalipun dapat terhubung lewat hak izin duplikasi wajah, yakni menggunakan sampel wajah anggota keluarga yang telah tiada untuk Teman Artifisial, dengan melibatkan bayaran yang amat mahal.
Mutia menyadari ia terlalu tua untuk terlibat dalam percecokan. Suasana hatinya benar-benar kacau. Ia berjalan tertatih kembali ke kamarnya sementara Lola kesulitan menyusulnya sambil mendorong kursi roda yang kosong.
Kini di tengah remang kamar, ia menangis tersedu-sedu sampai tertidur. Saat terjaga, lampu dan pendingin ruangan telah dinyalakan dan ia memelototi Lola dengan garang. “Kenapa kamu masih di sini?”
Lola dirancang untuk tidak bereaksi terhadap emosi negatif yang ditujukan kepadanya. Dengan tenang ia berkata, “Saya minta maaf.”
Lola menawarkan untuk menghubungi Handoko, tapi Mutia menolak. Wanita tua itu memunggungi si Teman Artifisial, wajahnya menghadap jendela yang masih terkatup rapat. Cahaya pudar di balik kaca patri menunjukkan malam hampir menjelang. Satu jam lagi makan malam. Lola tak pernah tinggal untuk bermalam dengannya. Handoko selalu menyuruh sopir untuk menjemput Lola sebelum hari gelap dan baru akan datang lagi minggu berikutnya.
Mutia menghela napas. “Aku tidak mengerti. Dia menggunakan wajah Sofian tanpa persetujuanku pada Teman Artifisial punya orang, tapi memakaikan wajah ibu kandungnya kepadamu,” katanya nyaris dalam gumam. “Aku sudah hampir melupakan wajah perempuan itu kalau saja tadi kita tidak melewati koridor itu.”
Lola tidak mengatakan apa-apa.
“Aku tidak pernah membenci ibu kandungnya sampai aku melihat wajahnya ada padamu.” Mutia tersenyum dengan segenap ironi di wajahnya. Kedua matanya kembali menerawang. “Bagaimana dia tahu wajah perempuan itu? Kapan dia melakukan pencarian?” gumamnya kepada diri sendiri.
Saat itu bunyi bip terdengar dari belakang telinga Lola. Sejenak kemudian, terdengar suara Handoko dari mesin penerima ajaib.
“Ibu masih di sana?”
“Iya, saya masih di sini.”
“Kenapa belum pulang?” Handoko terdengar seperti seorang ayah menegur anak perempuannya yang masih keluyuran di luar sampai kemalaman.
Lola menatap ke arah Mutia lalu memutuskan tidak menjawab.
“Sebentar lagi Pak Lucky akan menjemput Ibu,” kata Handoko.
Ibu. Mutia tetap bergeming seolah percakapan itu tidak terjadi dalam jangkauan dengarnya. Terdengar bunyi bip tanda sambungan telah diputus. Mutia tak menyangka percakapan itu sangat singkat. Handoko tidak minta berbicara dengannya atau pun sekadar menanyakan dirinya.
Lola membungkuk dari samping kursi roda meskipun Mutia tidak melihatnya. “Maaf, saya sudah harus pulang. Jaga kesehatan Ibu baik-baik.”
Mutia tidak menoleh. Kedua alisnya berkerut seolah ada rasa gatal yang ia tak tahu di mana mesti menggaruknya. Ia berbisik mengeja sebuah nama. “Hei,” tiba-tiba ia memanggil Lola ketika Lola baru saja berbalik. “Siapa nama lengkapmu tadi?”
Lola berhenti di ambang pintu. “Lola Hermina,” jawabnya.
Mutia tidak punya ingatan khusus tentang nama itu. Namun, ia tak ingin tertipu kepikunannya lagi. Jika ia tidak bisa menghubungkan nama itu dengan apa pun atau siapa pun, bukan berarti ia tak memiliki masa lalu berkaitan dengan nama tersebut. Bisa jadi Handoko tak hanya mengadopsi wajah, tapi juga menggunakan nama perempuan yang melahirkan dirinya untuk menamai si Teman Artifisial, lalu memanggilnya Ibu seolah ingin menghidupkan kembali sosok ibu kandung yang tak pernah dikenalnya. Bagaimanapun, perempuan itu sudah tiada atau mungkin sedang menderita penyakit yang tak ada obatnya, sedangkan Mutia masih ada di sini, masih bernapas dan sehat. Ia memiliki Handoko dan Handoko memilikinya. Ia menatap kedua daun jendela yang terkatup rapat, mencoba tersenyum dengan tabah. Lalu ia pikir ia tak perlu membuka kedua daun jendela itu kembali; angin tak pernah bertiup dari sana. Ini minggu ke sebelas Handoko tidak mengunjunginya.
Perbinda, 24-25 Mei 2024
[1] istilah ini diadopsi dari novel Klara and The Sun karya Kazuo Ishiguro, namun karakter Lola tidak sepenuhnya mirip dengan Teman Artifisial yang ada di novel tersebut.
- Hari Itu Angin Tidak Bertiup - 31 May 2024