
Kekayaan lebih daripada yang dapat digambarkan pikiran.
George Orwell
Ada penggalan narasi dalam novel Animal Farm karya George Orwell (nama aslinya Eric Arthur Blair, kelahiran India dan di tahun 1907 pindah ke Inggris bersama seluruh anggota keluarganya) yang selalu mencengkeram isi kepala saya. “Semua kebiasaan manusia itu jahat. Dan, di atas semuanya, binatang tidak boleh menindas sesama binatang. Lemah atau kuat, pintar atau biasa saja, semuanya saudara. Tak seekor binatang pun boleh membunuh binatang lain. Semua binatang setara.”
Sialan!
Rutukan mencelat dari tenggorokan. Saya teringat cemooh Paul Feyerabend, filsuf Jerman, pada orang-orang macam saya yang bertikai perihal “fakta dan kebenarannya”. Apakah benar sesuatu yang saya bela sepenuh ruah bagai bah adalah sebuah fakta yang sungguh-sungguh nyata—toh fakta, kata Feyerabend, yang kita sampaikan niscaya ternyata telah berbaur kental dengan pengetahuan kita yang kita pandang dengan cara tertentu, sehingga ia sungguh lebih tepat disebut “pengidealan” kita?
Celaka lagi, apa-apa yang saya idealkan—ingat, di dalamnya telah berbaur kental antara fakta dan pengetahuan saya dan pandangan mata saya—teramat acap bersumber dari hasrat-hasrat saya belaka. Walhasil, saya adalah pemaksa ideal-ideal yang demagog benar! Dan itu menjijikkan sekali.
Saya juga teringat celoteh kawan Eko Triono, cerpenis muda asal Cilacap yang menerbitkan buku Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon?, yang selalu gelisah dengan bentuk-bentuk penceritaan yang katanya membosankan. Ia berkisah: “Seorang mahasiswa berkata pada saya bahwa di belakang rumahnya, persis, ada sebuah sungai yang mengalir dengan indahnya. Ketika kebetulan saya ke sana, ternyata, itu bukan sungai, tapi saluran irigasi. Awalnya, saya membayangkan sebuah sungai seperti Serayu. Dia salah? Tidak.”
Eko berkisah dalam narasi filosofis Feyerabend: betapalah, sungguhlah, apa-apa yang saya pandang, lalu saya wartakan kepada dunia, hanyalah keping-percik-percik fakta yang aslinya bukan samudra fakta kebenaran itu sendiri; tak lebih dari sekadar cara saya memandang kemudian mengidealisasikannya dalam sebutan-sebutan—juga kebenaran-kebenaran. Betapa pongahnya saya atas percik-percik diri saya sendiri!
****
Rupanya ihwal-ihwal kebaikan dan kebajikan yang selalu kita daraskan, kita menyebutnya peradaban, juga bekerja dalam galur-galur yang sama. Seheroik apa pun Major meminta para binatang di peternakan Manor untuk menegakkan persaudaraan dan keadilan—tanpa kelas—sejarah tetap tak terbendung menciptakan Napoleon yang tak kalah biadabnya ketimbang kebiadaban-kebiadaban yang pernah dilakukan manusia. Revolusi untuk keadilan adalah kepalsuan berikutnya yang digerakkan Napoleon untuk menindih catatan-catatan kepalsuan sebelumnya. Napoleon adalah bentuk baru dari “semua kebiasaan manusia itu jahat”.
“Semua binatang setara” hanyalah slogan semu yang menyugesti kanak-kanak yang mudah dibakar untuk maju ke medan perang, untuk kemudian harus mengempit slogan idealisme itu di kedalaman batin atau disangkutkan ke ranting terjauh cakrawala—jangan sampai Napoleon dan para penjilat itu mendengarnya, bahaya!
Saya muak, semutlaknya muak, mengapa manusia—termasuk saya—selalu mengatasnamakan kebaikan dan kebajikan demi peradaban yang luhur padahal aslinya semata hendak menegakkan tonggak-tonggak keburukan dan kekejian? Apa yang salah dengan saya, dengan Anda semua, dengan semua binatang? Apakah sejatinya saya dan Anda yang manusia adalah bentuk lain dari binatang penjilat macam Squealer dan binatang diktator macam Napoleon? Apakah sesungguhnya kita adalah binatang yang tidak menyadari atau malu mengakui kebinatangannya?
****
Sebuah peringatan dari Rasulullah Muhammad Saw. menyeruak ke otak saya: “Cinta dunia adalah kepala dari semua masalah.” Apakah sumber perkara-perkara kebinatangan kita—para binatang akan menyebutnya “kemanusiaan”—dipantik oleh sepenuh-penuhnya cinta dunia?
Saya pikir kemudian iya. Benar-benar iya.
Segala apa yang melekat pada tubuh kita, yang kasat atau tak kasat, amatlah kita cintai. Tanpa kecuali—seburuk apa pun itu. Orang sesudra apa pun jalan hidupnya akan memberikan perlawanan bila terus ditindas. Ingatlah pada peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa para TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luar negeri, yang membunuh majikannya karena dianiaya terus-menerus atau hendak diperkosa—meski untuk itu, mereka lantas dipancung demi menegakkan peradaban. Seekor semut telah terbukti mampu membunuh Raja Namrud.
Setiap kehidupan adalah selalu sebuah perlawanan—silakan dipikir-pikir. Dan perlawanan merupakan ekspresi paling dasar dari cinta. Sungguh ironis.
Janin yang baru berdetak di rahim ibunya tak jemu memberikan perlawanan sebagai isyarat kehidupannya melalui rasa mual dan lemah yang mendera tubuh besar ibunya—janin mencintai dirinya. Bayi yang baru dilahirkan serentak menjerit sebagai isyarat perlawanannya atas dunia yang dingin—tidak senyaman sehangat rahim ibunya; bayi mencintai dirinya. Apalagi Anda yang manusia dewasa.
Otomatis, ketika perlawanan kehidupan bertumbukan dengan perlawanan-perlawanan kehidupan lainnya, meletuslah persaingan atau pertikaian. Sebagai manusia, kita lalu menabalkan etika, pula agama, sebagai pengendalinya. Kita menyebutnya keadaban, peradaban. Berhasilkah?
Nisbi sekali. Ungkapan George Orwell tepat sekali, “Binatang tidaklah lebih binatang daripada yang selainnya, termasuk manusia”—dalam narasi sebaliknya: “Manusia tidaklah lebih manusiawi daripada yang selainnya, termasuk binatang.”
Jika demikian juntrungnya, kita bisa sejenak mengambil jeda untuk menyimpulkan, bukankah mudah sesungguhnya untuk menumpas segala bentuk keburukan dan kekejian, untuk menggagas dunia yang berkeadilan dan berkeadaban, yakni dengan mengubur geliat-geliat cinta dari setiap jantung kehidupan?
Iya, itu betul. Tanpa cinta, enyahlah segala hasrat, otomatis punahlah segala perseteruan. Hasrat adalah biang kerok tersetia segala bentuk keburukan. Tetapi perkara berikutnya, tepat di sisi lainnya, bukankah semua kita, juga binatang, tidak mungkin hidup tanpa cinta, tanpa hasrat? Bagaimana kita membayangkan memiliki hidup tanpa tendensi apa-apa di dalamnya, tanpa hasrat, tanpa cinta?
Hidup tanpa cinta sungguh adalah hidup tanpa gairah, semangat, dan orientasi. Dan itu, jika benar ada, adalah bentuk hidup yang niscaya sangat menjemukan—dan untuk apa menghuni sebuah kejemuan, sebutlah macam orang yang menunggu-nunggu dalam ketidakpastian? Maka ini berarti sebuah bentangan konsekuensi: kesiapan untuk hidup selalu berbanding lurus dengan kesiapan untuk berlawanan, membenarkan sesekali dan menyalahkan sesekali, menjatuhkan sesekali dan terjatuh sesekali.
Begitulah.
Tepat pada garis ini, gerangan kebanggaan apa yang layak kita rayakan untuk menyebut kita adalah manusia yang bukan binatang?
Akal sehat, juga peradaban, dan hati nurani, benarkah masih kita pergunakan, tidak sekadar dipunyai?
Jogja, 30 November 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019