“Kalau Tuan masih punya rasa kemanusiaan, hamba mohon hormatilah kecantikan dan kelemahan wanita ini. Kenapa Tuan menghinakan adikarya Tuhan yang bersimbah air mata di kaki Tuan, dan hanya bisa melawan dengan air matanya?”
Wanita yang dibela Zadig itu, sebuah novel karya Voltaire, tak berdaya di hadapan lelaki yang mengamuk karena dibakar api murka cemburu.
Saya lantas teringat satu penggalan dari buku Erich Formm, Revolusi Harapan (1996), yang membuat pengertian mendalam tentang “kasih sayang”. Kata Fromm, kasih sayang merupakan sikap “menderita dengan” atau “bersama dengan”; sehingga diri tidak memandang orang lain sebagai objek-luar, tetapi juga diri-sendiri. Kasih sayang adalah “saya mengalami apa yang dialaminya”, meletakkan diri dalam diri orang lain. Tat Twan Asi, “saya dalam kamu”.
Saya pun, terakhir ya karena saya harus membatasi diri, teringat satu esai Mohamad Sobary yang mengkritisi puisi populer Kahlil Gibran tentang anak: “Anakku bukanlah anakku … Anakku adalah anak zaman ….”
Sobary dengan (saya membayangkan) mata berlinang menuliskan besarnya cinta di dalam jiwanya kepada anak-anaknya untuk tidak begitu saja membuang anak-anak yang berlayar dengan perahu zamannya itu diombang-ambingkan gelombang, apalagi kemudian terhempas. Mustahillah ada orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya diamuk realitas zaman, atas nama “Anakku adalah anak zaman ….”, tumbuh sedemikian rupa lesat-liarnya tanpa sepuhan “permohonan maaf” (ala Zadig Voltaire), “kasih sayang” (ala Fromm), dan “cinta tak berpantai” (ala Sobary) dari orang-orang yang menyayanginya.
Pada suasana batin demikianlah saya kira Full Day School (FDS) layak dikiritisi. Saya sungguh prihatin terhadap kebijakan FDS. Karena saya punya anak-anak usia sekolah yang menjadi bagian pelaksana dari kebijakan regulator itu, saya tidak bisa pura-pura baik-baik saja menyaksikan anak-anak saya kelelahan setiap hari, setiap hari, gara-gara pulang terlampau sore.
Tidak usah meragukan impian tinggi para orang tua dalam memperjuangkan pendidikan anak setinggi-tingginya. Baca sederhana, sekolah setinggi-tingginya. Para orang tua hari ini telah memiliki kesadaran besar bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan kualitas masa depan anak. Anak maju, sukses, otomatis kehidupan orang tua pun akan menanjak baik.
Novel Laskar Pelangi bisa dijadikan “rasa syukur” oleh para manusia kota yang tak perlu mengalami kesulitan teknis dalam mengarungi masa sekolahnya. Keprihatian karena keterbatasan-keterbatasan yang dialami anak-anak pinggiran jauh macam kehidupan sekolah anak-anak bernama Ikal dll. dapat dinyatakan tak terjadi di perkotaan, apalagi Jawa.
Lalu FDS meruntuhkan semua “kenyamanan bersekolah” itu atas nama peningkatan kualitas bersekolah. Keprihatinan kepada nasib anak-anak Laskar Pelangi kini meruah di perkotaan-perkotaan dalam bentuk yang lain: yakni kelelahan yang mendera hebat akibat masa sekolah yang terlampau pulang sore.
Sangat disayangkan, risalah mutu pendidikan semakin memanggungkan diri sebagai hanya “sekolah formal”. Diregulasikan lagi dengan power memaksa tentunya.
Apa yang diidamkan oleh Pendidikan Karakter yang sangat mulia untuk tidak hanya mendidik anak cerdas kognisi, tapi juga cerdas emosi, tergerus dari dalam oleh tidak sempatnya anak-anak untuk bergaul, berinteraksi, dan bertumbuh di lingkungan sosial keluarga dan masyarakatnya. Itulah cermin betapa kultusnya ruang-ruang kelas sembari menegasi ruang-ruang sosial yang luas di lingkungan anak-anak.
Bisa saja para regulator mengasumsikan hari Sabtu dan Minggu sebagai wadah luas untuk mengisi ceruk edukasi nonformal itu. Tetapi, jelas kenyataannya tak sesederhana mengganti terampasnya waktu longgar anak-anak di hari Senin–Jum’at dengan full bermain di hari Sabtu dan Minggu. Menganggap bentang seminggu, sebulan, setahun, hanya dalam kalkulasi “waktu matematis” jelas menjadi logical fallacy yang serius.
Senin tetaplah Senin, Selasa tak bisa diganti Sabtu, dan seterusnya. Hari ini adalah hari ini, bukan Sabtu lalu atau Minggu besok.
Sederhana saja saya bisa menunjukkan bahwa jikalau anak saya setiap Senin, Rabu, dan Kamis sore menghabiskan waktu di masjid kampung untuk belajar agama (TPA), dan hari Selasa dipakai untuk main game bersama teman-temannya, semua jadwal itu kini punah dimamah FDS. Hari Sabtu dan Minggu lantas dipakai dengan leluasa untuk berjalan-jalan ke luar kota bersama orang tua.
Begitu?
Berbagai skema penggunaan waktu sore yang dimiliki setiap anak, setiap keluarga, dan setiap lingkungan selama ini jadi bubrah begitu saja. Mau tak mau!
Para regulator FDS sangat mendesak untuk memahami apa yang oleh Martin Heidegger disebut “mengada dalam waktu”. Tanpa di dalam waktu, mustahil kita mengada. Waktu-waktu sore yang sebelumnya telah “mengada” jelas akan beda “wujud mengadanya” bila digusur dan dipindah ke waktu Sabtu dan Minggu.
Sungguh tak sederhana.
Maka, menyaksikan anak-anak terlelap cepat di rumah sehabis Isya’ membuat saya kehilangan “mengada” saya selama ini, juga “mengada” anak-anak saya. Satu contoh yang boleh Anda anggap kecil tetapi buat batin “mengada” saya sungguh besar, ialah sulitnya menemukan waktu luang lagi buat saya dan anak untuk bersama-sama bikin mi goreng di malam hari sekitar pukul sepuluh malam. Anak-anak sudah sangat kelelahan dan ngantuk di kisaran pukul setengah sembilan malam.
Saya sedih, mengada saya terkoyak.
Itu tamsil kecil. Lanjutkan lagi dengan misal-misal besar yang selama ini telah mengada pada kelompok orang tua Snob. Mereka yang menginginkan anak-anaknya tumbuh sebagai generasi multi-talenta, serba bisa, dari keharusan untuk jago bahasa Inggris, matematika, fisika, main Piano, drum, menari, tarik suara, dan ceramah plus hafal surat-surat pendek al-Qur’an.
Para Snob menjejalkan sekujur impian orang tua kepada tubuh kecil anak-anaknya dengan mengharuskan anak-anak ambil les ini, les itu, nyaris setiap hari.
Kini bayangkan apa yang terjadi pada semua rangkaian mimpi-serakah kaum Snob itu oleh beban FDS. Sebagian orang tua Snob-radikal jelas mengusahakan pengaturan waktu agar les-les tambahan itu tetap bekerja. Walhasil, anak pun ditimpuk “beban kerja” baru lagi.
Jika Anda sedang mengantar anak ke sekolah di pagi hari, saksikanlah tas-tas besar anak-anak sekolah yang sangat menakjubkan. Sesekali, sempatkan menjinjing atau menggendong tas-tas besar itu. Apa yang ada di dalamnya sampai sebesar dan seberat itu?
Cita-cita!
Tepatnya, cita-cita para orang tua, para regulator, bukan cita-cita anak.
Dengan mengatasnamakan peningkatan mutu pendidikan yang celakanya terkabarkan dalam potret-potret material belaka, FDS menyempurnakan beban hidup anak-anak yang semestinya diasup pencerdasan emosional dan spiritual pula, bukan hanya kognisi.
Akankah lalu kita sebagai orang tua bangga pada pencapaian nilai matematika, fisika, dan bahasa Inggris anak di sekolah sekalipun ia sangat introver, asosial, dan tak lagi tahu bedanya jahe sama kunir, lebih dalam mana selokan dan sungai, cara bercanda dengan neneknya dan stick game-nya?
Manusia-manusia introver, asosial, sekalipun cerdas kognisinya, sungguhlah akan kelimpungan bila kelak datang ke sripahan di kampung mertuanya.
Saya tak sanggup menyaksikan anak-anak saya kelak memandang kematian tetangganya sebagai peristiwa receh belaka.
Jogja, 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019