Varians Patetik
Kita pernah sama-sama berselancar di kelopak Dandelion. Berharap terlempar ke altar monumen kita yang megah. Ada halimun tipis aroma petrikor. Di sana, kita saksikan babad kita ditulis tergesa-gesa. Bagai sisa dosa-dosa. Sonder asa.
Tatkala kita menyalin sedap malam pada jubah ksatria, kita sama-sama hendak berbicara tanpa ingin mendahului. Seperti laku santun para Darwis ketika berdebat dengan iblis. Menjadi merah muda, pada akhirnya. Doa pagi berubah mantra.
Rasa ini mulai meruap perlahan-lahan, ke dalam lubang hitam yang termahsyur. Seperti aroma Bucung menerobos lubang hidung. Atau seperti mengoyak kulit ari bayi-bayi malaikat bersayap biru lebam. Kita tak pernah lagi: bersemoga dalam gelombang doa yang sama.
Risak rindu masih iseng mengetuk hati. Kelak, tak ada rindu menjamah dadaku lagi. Sampai, tak ada sapa terdengar di pintu rumahku lagi.
kota manis 2015
Hujan Biru
Semestinya aku
menggenggam tangannya sebelum diguyur hujan
sebelum terbawa genangan kenangan
ke dalam pori-pori bumi sebelum terlambat
Telah kukatakan dalam bahasa ibu, “bertahanlah!”
tapi hujan buru-buru menjatuhi bumi
maka tak sempat kukatakan
keterangan di kertas undangan itu
apa yang sama dari hujan dan warna biru?
barangkali sembilu
atau tanyakan pada bangku taman
pilukah ditinggal kupu-kupu?
Dan semua kenangan lunas-tuntas terlarut hujan
di pagi ini, seraya membawa oksigen
yang pernah kita hirup bersama
di sudut-sudut kota yang berserak kenangan
kota manis, 2015
Menatap Pepohonan
Apabila kau tatap batang-batang pohon di sepanjang jalan,
ingatlah tubuhku yang keras.
Seperti tabah, menolak patuh dicambuk angin.
Sebab, aku adalah putra sebatang pohon.
Sebab, pohon adalah bangsa pendiam.
Berakar makna; berbuah surga.
Ketika mata rindumu sulit terpejam,
ingatlah aku sebagai daunan.
Sebelum jatuhku tiba,
ingatlah segala kehijauan dan kesegaranku.
Sebab, aku ingin terbaring kering,
menjadi pupuk kehidupan:
yang menghidupi.
Seandainya surya menusuk-nusuk ubun-ubunmu,
ingatlah aku sebagai pohon utuh.
Peneduh segala gelisahmu; cinta-kasihmu.
Sebelum kau bangun istanamu, di atas bangkaiku.
Sebab, tak ada yang lebih membahagiakan,
bagi kami, bangsa pohon,
selain menjadi:
pepohonan sepanjang matamu memandang.
kota manis, 2015
Petang yang Matang
:Heidi
Dan berkerumun burung-burung ke arah timur
Dijejali rizki hari ini, sambil merayakan dengan cuitan
“Bukan dari rahim twitter, sayang!” ucap Heidi
Tapi kami begitu senang mengekor ke balik Alpen
Pegunungan yang keibuan
Sepotong keju yang kami lahap
Terasa bagai darah
Dingin. Persis jiwa-jiwa yang dimasak rindu
Maka, kami memuntahkan salju
Dengan puluhan papan ski yang patah
Bergelindingan menaiki Alpen: jadilah
Heidi menciumku dengan latar senja
“Ich Lieb Di”
Jemarinya menusuk dadaku
Menyentuh jantung
Dan memerasnya sampai kering
Hening sesaat
Lonceng mendentang
Saat itulah, ‘kan kau temukan, wajahku
kota manis, 2015
Platonis
At the touch of love everyone becomes a poet (Plato)
Di sana, kita akan tahu
Koran-koran memberitakan secangkir teh yang terlindas kereta
Suara kereta menguburkan jenazah cangkir teh
Di pinggir kolam yang birunya menghitam
Seekor katak membacakan puisi yang ditulis oleh si A
Teriring pukau aroma jazz di cafe langganan
Yang isinya: selembar cinta tercelup pada permukaan telaga
Milik siapa?
Tuan pemilik perusahaan koran menggigil ketakutan
Ditinggal sang Nyonya naik haji
Tak masuk akal, benar, tak masuk akal
Sebab, api ateis membakar rongga dadanya
Lalu ditulislah hikayat istrinya di halaman satu
Diimbuhinya dengan omong-kosong nafsu-nafsi
“Kapan ada cinta lagi?” tanya tuan pemilik koran
Kepada Ami, benih pohon karet yang dinamainya
Sabarlah sayang, platonis akan tiba
Membawa beberapa sarung dan kupiah
Serta sajadah
Menghadap kiblat, memanjatkan doa pendek
Cinta, di mana cinta
kota manis, 2015
- Hujan Biru; Puisi-Puisi Agung Setya (Banjarmasin) - 17 November 2015