Ibil, Tamar, Turab, dan Kehidupan Kedua Alam Semesta

(The Surreal landscapes by Vladimir Kush)

 

Pada suatu hari ketika huru-hara kian penuh melanda bumi, tiga makhluk muncul dari sebuah lubang di dataran luas yang pernah menjadi tempat jatuhnya sebuah bom. Ketiga makhluk itu adalah seekor unta, sebatang pohon kurma, dan sebongkah tanah. Mereka berjalan seperti manusia dan berkumpul di dekat sebuah genangan yang kental dan berbau anyir. Mereka duduk dengan cara masing-masing. Mereka terdiam beberapa saat sehingga udara yang sejuk dan kekosongan di sekitar mereka membuat mereka seolah-olah sedang berada di tanah paling sunyi.

            Unta yang bernama Ibil menggerak-gerakkan kakinya dan menderum. Ia berdiri dengan susah-payah, memandangi Tamar—si batang kurma—dan Turab—si bongkah tanah—dan mulai menggerakkan mulutnya—ia hendak berbicara. Perkara hewan bisa berbicara pada zaman itu tentu saja bukan hal menakjubkan. Masih banyak hal-hal lebih mengagetkan dan menakjubkan terjadi pada zaman itu. Peristiwa perang besar yang menewaskan jutaan manusia hanya karena mereka memperebutkan ladang minyak dan bukit emas; seseorang membunuh kekasihnya lantaran kecemburuan dan kesalahpahaman; dan kian sepinya rumah-rumah ibadah adalah di antaranya.

            Maka tak perlulah kita terheran-heran dengan hal itu. Lebih baik kita simak apa yang Ibil bicarakan dengan Tamar dan Turab.

            “Akhirnya hari ini tiba,” ujar Ibil. Mata besarnya memandangi langit yang kelabu dan berasap. Sulit dibedakan apakah hari masih pagi atau menjelang malam. Cahaya matahari terhalangi polutan yang membuat cuaca sukar diterka dan pandangan seakan-akan melulu berkabut.

            “Hari yang telah Tuhan janjikan,” tambah Tamar. Ia berdiri tegak. Tentu bukan tegak lurus bagai tiang listrik atau tombak, melainkan setegak sebatang kurma dengan sedikit lekukan.

            “Apakah matahari sudah terbit dari barat?” tanya Turab. Ia sebongkah tanah tak besar, hanya seukuran dua balok buku didempetkan.

            Ibil dan Tamar menolehkan pandang kepada Turab. Kemudian, keduanya memandangi cakrawala. Tak jelas betul dari mana pusat sinar mentari berasal, apakah masih dari ufuk timur atau sudah terbit dari barat. Persoalan arah terbitnya matahari pun bukan lagi sesuatu yang penting. Kenyataan bahwa semesta telah kacau-balau dan kerusakan meluluh-lantakkan jagat sudah menjelaskan semuanya. Dunia memang sudah kiamat, bahkan kalaupun matahari tidak akan pernah terbit dari barat.

            “Apakah Almasih sudah turun?” Turab kembali bertanya.

            “Apakah Yakjuj Makjuj sudah melata di daratan-daratan?”

            “Apakah tanah-tanah besar sudah terbenam?”

            “Apakah api besar sudah muncul di Yaman?”

            Turab masih terus menanyakan hal-hal seperti itu. Perihal tanda-tanda berakhirnya eksistensi alam semesta. Ketika ia akhirnya berhenti bicara, Turab menunduk lesu, dan mulai menangis. Ibil dan Tamar mendekatinya dan keduanya juga larut dalam kesedihan masing-masing. Mereka sudah tahu apa yang terjadi dan mereka sudah tahu apa yang akan terjadi. Walau begitu, tak lantas membuat mereka bisa berkompromi terhadap apa-apa yang sudah mereka ketahui.

            “Aku rindu, aku rindu,” kata Turab sesenggukkan. “Aku rindu kepada dahi manusia paling mulia yang menempel di tubuhku. Aku rindu kepada dahinya yang tetap hanyut dalam sujud walau pembenci melemparinya dengan kotoran. Aku rindu kepada Nabi. Kalau saja beliau masih ada, tentulah semesta akan baik-baik saja. Tak akan hancur begini.”

            Ibil dan Tamar mendengarkan keluh rindu Turab dengan khusyuk. Mereka mengerti betul perasaan Turab. Sudah ribuan tahun berlalu sejak terakhir kali Nabi menempelkan dahinya di tubuh Turab dan wajar belaka jika Turab didera badai rindu. Mereka semakin memahami perasaan Turab, sebab mereka juga merasakan hal yang sama: kerinduan kepada Nabi.

            “Aku juga merindukan Nabi. Aku rindu masa-masa ketika ia menunggangiku melewati jalan-jalan menuju Madinah saat pertama kali hijrah. Aku rindu kelembutannya saat menunggangiku. Aku rindu rasa kasihnya seolah-olah hatinya terbuat dari sutera. Aku rindu gema suaranya yang halus dan indah. Aku rindu sentuhannya yang menenangkan. Aku rindu kepada Nabi. Ah, betapa dahsyat serangan rindu ini! Andaikan saja beliau ada di sini.”

            Ibil menghentikan ratap rindunya. Ia merunduk dalam-dalam seolah hendak menyembunyikan matanya yang basah. Ah, tanpa harus melihat rupa Ibil pun, Tamar dan Turab sudah tahu, bahwa Ibil pasti mengungkapkan kerinduannya kepada Nabi sambil meneteskan air mata. Bagaimana bisa kau tidak menangis ketika mengingat sosok dengan keteduhan dan keramahtamahan yang tak tertandingi. Sosok yang membuatmu merasa surga begitu dekat dan mudah diraih.

            Selepas Turab dan Ibil, giliran Tamar bergetar-getar. Ia bergerak sejenak, memutar tubuhnya, lalu berucap, “Beginilah yang kurasakan sewaktu dulu, untuk pertama kalinya Nabi menjadikanku mimbar untuk berkhotbah. Aku senang bukan main. Tubuhku terasa berputar-putar di suatu tempat yang sejuk dan indah. Kesenangan itu cukup lama hingga kemudian sebuah mimbar kayu datang menggantikanku.” Tamar menjeda perkataannya, bagian atas batangnya bergerak-gerak seperti kepala yang menggeleng menerima kenyataan duka, sebelum kembali melanjutkan. “Pada hari itu Nabi naik khotbah dengan menggunakan mimbar yang bukan aku. Beliau memulai khotbahnya. Beberapa saat kemudian, aku tak tahan lagi. Aku menangis sepilu-pilunya. Tangisanku membuat Nabi dan para jamaah menoleh. Waktu itu Nabi turun dari mimbar barunya, mendekatiku, lalu mengusap tubuhku. Itulah kali terakhir beliau menyentuhku. Tak lama berlalu beliau meninggal dunia. Betapa sedih aku kala itu. Dan betapa rindu aku saat ini.”

            Seperti Turab dan Ibil, Tamar pun menangis. Tiba-tiba saja kesunyian pecah di dataran luas berbau anyir itu. Tempat itu jadi serupa kasur seorang ibu yang baru saja melahirkan tiga bayi kembar, tiga makhluk suci yang menangis dengan ketulusan tak tertanggungkan.

            Sementara Ibil, Tamar, dan Turab larut dalam tangis rindu; bumi bergejolak, angin bertiup kencang, dan bola-bola api melesat miring dari angkasa.

            Pertanda apakah ini? Apakah kehancuran yang sebetul-betulnya kehancuran akan segera datang? Apakah hari ini sungguh hari terakhir kehidupan semesta? Apakah tidak ada lagi penangguhan? Apakah sudah tidak ada lagi makhluk yang baik? Apakah semesta tidak bisa lagi diselamatkan? Ah, apakah inilah waktunya?

            Demikianlah ketiga makhluk tersebut bertanya-tanya dengan hati berdebar. Mereka memang hanya hewan, pohon, dan tanah; tapi mereka juga punya hati, malah hati mereka jauh lebih peka daripada hati manusia.

            Saat bumi dan langit kian bergemuruh, ketiganya menggumamkan zikir dengan caranya masing-masing. Di sela-sela zikir itu, tak luput juga mereka menyebut nama Nabi, makhluk paling mulia, makhluk paling kasih, makhluk yang kepadanya pintu surga dibukakan pertama kali. Jika sebelumnya mereka luluh dalam kerinduan sehingga mereka berulang-ulang mengatakan, “Aku rindu Nabi, aku rindu Nabi, aku rindu Nabi”, maka kali ini mereka mengulang-ulang tanpa lelah ucapan, “Aku cinta Nabi, aku cinta Nabi, aku cinta Nabi”. Mereka terus-menerus mengucapkan ungkapan cinta kepada Nabi seolah-olah hal itu dapat menjinakkan kebuasan semesta; seolah-olah segalanya akan membaik seperti sedia kala hanya dengan melantunkan kata cinta dan sepotong nama yang mulia.

            Semakin cepat dan semakin banyak mereka melirihkan ungkapan cinta kepada Nabi, bumi juga semakin bergetar hebat, langit seperti bergoyang-goyang dan hendak rubuh, juga angin dan berbagai benda-benda angkasa maupun benda di perut bumi berloncatan dan silang-menyilang mengeluarkan pecahan api dan bunyi memekakkan. Mereka menunduk dan menolak melihat segala kekacauan itu. Namun, mereka tetap tak berhenti berzikir dan mengumandangkan kalimat cinta kepada Nabi. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan bertubi-tubi. Mereka bisa mendengarkan dan merasakan semua kekacauan yang ada di sekitar mereka. Mereka kira dunia benar-benar akan berakhir. Dunia benar-benar sudah berakhir. Mereka memasrahkan segalanya kepada kehendak Yang Kuasa. Toh, mereka dibangkitkan kembali juga hanya untuk mengumandangkan rindu dan cinta kepada Nabi. Tak lebih. Mereka tidak dituntut untuk membawa dunia kembali ke masa-masa cemerlang dan semacamnya. Bagaimanapun, mereka hanya seekor unta, sebatang pohon kurma, dan sebongkah tanah. Mereka sudah tahu apa yang terjadi dan mereka tahu apa yang akan terjadi. Tapi, ada hal yang tak mereka tahu: mereka tidak tahu apa yang sebetulnya akan terjadi.

            Ketika pada akhirnya gelombang gerungan langit-bumi dan benda-benda seisinya berhenti, Ibil, Tamar, dan Turab menegakkan tubuh mereka. Mereka memandangi apa-apa yang ada di sekitar. Tentu, mereka melakukan semua itu tanpa melepaskan nama Nabi dari gumaman mereka.

            Mereka takjub. Pandangan mereka melebar. Mereka melihat langit pelan-pelan memutih dan bersinar cerah. Bau-bau anyir perlahan lenyap, berganti aroma wangi bunga-bunga dan tetumbuhan. Di sudut-sudut dataran yang sebelumnya gersang dan panas, tumbuh-tumbuhan hijau bermunculan. Hawa sejuk menguar. Lalu, dari berbagai arah, segerombolan hewan juga tampak. Dan, di atas segalanya, mereka melihat sepasang manusia keluar dari sebuah gua. Sepasang manusia itu bertelanjang. Salah satunya berambut gondrong dengan rahang keras; satunya lagi berambut panjang dengan dada menyembul. Keduanya datang menghampiri Ibil, Tamar, dan Turab yang masih dilanda ketakjuban sambil terus menggumamkan selawat rindu dan cinta.

            Apakah mereka Adam dan Hawa? Bagaimana mungkin?

            Mereka bertanya-tanya.

            “Terima kasih, terima kasih,” ujar kedua manusia dari gua itu berbarengan kepada Ibil, Tamar, dan Turab. “Sebab selawat rindu dan cinta Nabi yang kalian gumamkanlah kami bisa muncul kembali. Kali ini kami berjanji tidak akan melahirkan makhluk perusak lagi.”

            Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?

            Mereka bertanya-tanya. Masih dalam hati.

            Seorang manusia yang kelak akan disebut sebagai Adam Kedua mengambil bungkusan daun raksasa dari belakangnya. Manusia lain yang kelak akan disebut sebagai Hawa Kedua membantu Adam Kedua mendorong bungkusan itu. Adam Kedua memperlihatkan bungkusan itu kepada Ibil, Tamar, dan Turab. Bungkusan itu berisi bangkai seelor ular yang sangat besar dan bersisik kasar.

            “Kami telah membunuhnya,” kata Adam Kedua dan Hawa Kedua bersamaan. Keduanya tersenyum. Ibil, Tamar, dan Turab ikut tersenyum. Tersenyum sambil terus melantunkan selawat rindu dan cinta Nabi. (*)

Tambun Selatan, 15 November 2019

Erwin Setia
Latest posts by Erwin Setia (see all)

Comments

  1. Laras Setianingrum Reply

    Ini seperti kisah dalam filosofi esoteris. Alur sangat menarik, ending tak terduga, membuka wawasan baru tentang sejarah penciptaan.

    Ditunggu karya2 selanjutnya😊

  2. Anonymous Reply

    Kereeeeeennn

  3. Kholil Reply

    MANTAP BOS

  4. Anonymous Reply

    Bagus.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!