Inilah salah satu gambaran yang galib tentang iblis: bertanduk besar seperti biri-biri, bertelinga dan berbulu kambing, dengan hidung dan mulut menyerupai hidung babi, dengan lidah terjulur menyembur-nyemburkan api sebagaimana tampak dalam lukisan Jackob de Backer dari abad enam belas. Hampir semua agama dan kebudayaan mengenal adanya iblis, dengan pusparagam variasi citra dan manifestasinya. Dalam agama Buddha iblis biasa disebut mara, yang menjelma para dara jelita saat berusaha menggoyahkan dan membuyarkan kekhusukan semadi Siddhartha Gautama. Dalam agama Kristen, iblis acap disebut Lucifer atau Beelzebub, yang maujud sebagai ular dan menggoda Eva untuk memakan buah terlarang. Dalam Islam, iblis disebut Azazel atau Syaithan, tercipta dari api tanpa asap dan tergolong kepada kaum jin, yang karena keangkuhannya menampik sujud kepada Adam, kemudian terusir dari firdaus. Sungguhpun dikenal dengan pelbagai nama, hampir semua agama mempunyai kemiripan dalam mengudar fungsi iblis, yakni sebagai energi jahat yang senantiasa membisiki manusia agar berbuat dosa.
Mungkin sekali banyak orang dari kalangan terpelajar yang menganggap bahwa iblis hanyalah takhayul semata. Tetapi yang menarik adalah bahwa banyak sekali studi belakangan ini yang menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan semakin berkurang, sementara itu kepercayaan terhadap iblis semakin meningkat. Kecenderungan ini mulai menguat semenjak Perang Dunia Kedua, setelah terjadinya banyak sekali tragedi dan kekejaman: Hitler dengan kamp konsentrasinya, pemboman Nagasaki dan Hirosima oleh Amerika, pembunuhan massal PKI oleh rezim Orde Baru, genosida di Ruwanda, di Kosovo. Pada permulaan milenium ketiga, di tahun 2001, menara kembar WTC ditabrak sampai poranda dan ratusan orang menjadi korban, lalu disusul pemboman di Madrid, ekplosi kereta bawah tanah di London, pembunuhan di Afganistan, Darfur, Sri Lanka, Bosnia, dan yang terbaru bom di Istanbul dan Sarinah…daftar ini masih bisa diperpanjang. Peristiwa-peristiwa ini sungguh di luar batas akal sehat dan sukar dimengerti. Dari situ tersingkaplah semacam efipani gelap: bahwa iblis itu ada, dan berkeliaran di sekitar kita, mengikuti kita bagaikan bayang-bayang kita sendiri, siap menyergap kita kapan saja kita lengah.
Namun saya kira sangat berbahaya apabila kita mengidentifikasi iblis sebagai person, lantaran hal demikian bisa mengecoh kita ke dalam simplifikasi politis yang mereduksi segala yang berbeda, yang bukan kita, atau “Si Lain”, “Si Asing” yang tak dikenal, sebagai iblis. Maka yang ingin saya babarkan dalam esai ini bukanlah iblis sebagai person, melainkan sebuah paradigma yang memandang iblis sebagai mitos aktif yang sangat kuat. Dalam paradigma ini, mitos-mitos tentang iblis yang beraneka itu sebetulnya merupakan pantulan dari pelbagai krisis eksistensial yang terjadi dalam kehidupan setiap orang. Dengan demikian, sebelum sampai di pulau pencerahan yang menakjubkan, setiap orang mesti mengunjungi dunia bawah tanah dan bertempur dengan iblis-iblisnya sendiri. Dunia bawah tanah adalah daerah kekuasaan sang iblis, tapi bahkan Odysseus pun harus memasukinya terlebih dahulu demi beroleh petunjuk tentang arah pelayarannya kembali pulang ke Ithaca. Di dunia bawah tanah itulah konon terdapat neraka yang apinya menyala-nyala, tapi Dante mengeksplorasinya untuk menggapai momen purgatori, karena selain menghancurkan, api yang berkobar itu juga membersihkan dan memurnikan.
Satanologi Iqbal
Dalam gugusan pemikiran dan puisi-puisi Muhammad Iqbal, iblis menempati tempat yang sentral, yang hanya bisa dibandingkan dengan merimbunnya citra-citra tentang Nabi Muhammad sendiri. Tak mudah mengudar satanologi Iqbal dengan ringkas, lantaran iblis dalam karya-karyanya menyiratkan pelbagai elemen yang berbeda laiknya helai-helai dalam sebuah jaringan, tetapi bisa dikatakan bahwa citraan iblis dalam karya-karya Iqbal tersebut mengerucut kepada dua hal: Pertama, iblis sebagai malaikat yang terusir, yang menjadi prinsip feminin Alam. Sebagai prinsip feminin dari Alam, maka iblis merupakan elemen kejahatan yang menyebabkan aktivitas semesta ini penuh dengan kekacauan dan keburukan. Maka, tugas manusia adalah berjuang menaklukkan kekacauan dan kejahatan tersebut agar dunia bergerak dengan harmonis dan manusia bisa terus bertumbuh menjadi Insan Kamil (Manusia Paripurna).
Kedua, iblis sering kali digambarkan sebagai seorang tua yang sedih, tanpa senyum, dan terbungkus jubah kelabu. Adapun yang menyebabkan kesedihan sang iblis ini adalah karena dia menemukan bahwa kian hari manusia kian mudah menyerah kepada bujuk rayunya. Iblis merasa dirinya makhluk yang malang lantaran kehilangan lawan sejati yang bisa menjadi tandemnya dalam pergulatan abadi. Dalam sajak panjang Iqbal, Javidnama, peran iblis sebagai penggoda itu sangat jelas terwedar, akan tetapi dalam visi pemikiran Iqbal selanjutnya, rayuan itu tak semata-mata bermakna negatif. Justru rayuan itu pada sisi lain menunjukkan gairah yang aktif dan mengaktifkan. Misalkan dalam kasus Adam sang manusia pertama. Memang rayuan itu telah menyebabkan Adam terlempar dari surga, tetapi dengan terdamparnya Adam dari surga, terbukalah pelbagai kemungkinan dan kemampuan baru dalam kehidupannya. Dunia memang sarat nestapa dan dosa, tetapi justru di dalamnya Adam menempa diri, mengungkapkan warna-warni kepribadiannya, sehingga terus berkembang ke pelbagai arah dan manifestasi baru. Selain itu, di dunia fana ini pula Adam berkesempatan menaklukkan musuh besarnya: iblis. Dari sudut ini, aspek iblisnya Iqbal mendenyarkan tipe Promethean, mirip dengan citraan Setan dalam karya Milton: di sana Setan digambarkan sebagai makhluk yang berdosa dan hubris, tapi pada saat yang sama juga menyiratkan cita-cita kita menuju tingkatan eksistensi yang baru dan lebih tinggi, perjuangan kemanusiaan kita dari hidup yang lesu menuju hidup yang bergairah dalam menerobos pelbagai rintangan yang sukar dan berat.
Iblis-Iblis Dostoevski
Kemudian kita ingat Dostoevski. Bisa dikatakan bahwa iblis-iblis dalam karya Dostoevski bukan hanya makhluk supernatural tetapi juga makhluk modern, sehingga selain menjelma parabel religius novel-novel Dostoevski juga merupakan analisa psikologis. Tatkala Ivan dalam The Brothers Karamajov dan Stravogin dalam The Devils bercakap-cakap dengan iblis, maka iblis itu adalah hantu sekaligus jerat psikenya sendiri: iblis-iblis itu adalah proyeksi dari jiwa-jiwa mereka yang menderita. Saya kira inilah salah satu penemuan terbesar Dostoevski: bahwa iblis dalam novel-novelnya itu kontemporer, dan bahkan mempunyai realitas klinis. Iblis-iblis Dostoevski bersusah-payah membuktikan ketiadaannya, eksistensi imajinernya. Mereka meyakinkan kepada kita bahwa mereka tak lain obsesi kita sendiri, ketiadaan kita sendiri.
Sang iblis berkata kepada Ivan dalam The Brothers Karamazov: “Bukan, kau bukanlah seseorang yang terpisah, kau adalah dirimu sendiri. Kau adalah aku dan tak lebih dari itu.” Tetapi Ivan menjawab: “Kau memang penjelmaan diriku sendiri, tapi hanya satu sisi dari diriku, kau memang titisan pikiran dan perasaanku, tapi hanya yang terburuk dan terdungunya. Kau adalah diriku dalam wajah yang berbeda.” Dari perbincangan antara Iblis dan Ivan tersebut kita bisa melihat iblis sebagai aspek negasi dari pengalaman, namun tanpanya kreativitas tak akan terjadi. Pergumulan tak kunjung usai antara iblis dengan elemen-elemen kebaikan dalam diri manusia itulah yang membuat kerativitas manusia menjadi dinamis dan penuh warna. Tanpa iblis yang ada hanya kelesuan. Tanpa seduksi yang ada hanya stagnasi.
Rujukan
Paz, Octavio, 1990. On Poets and Others, USA: Arcade Publishing.
Schimmel, Annemmarie, 2003. Sayap Jibril: Gagasan Religius Muhammad Iqbal, terjemahan Shohifullah. Yogyakarta: Lazuardi.
- Hantuologi Pedro Paramo - 1 October 2016
- Iblis dan Kreativitas - 4 February 2016
- Setiap Kata Adalah Eksil: Pertemuan Kecil dengan Penyair Palestina - 12 November 2015