Ibn Rusyd dan Absennya Teater di Dunia Islam Klasik

pinterest.com

Di suatu siang yang cerah, Ibn Rusyd dikisahkan tengah menulis bab ke-11 dari karyanya yang berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Meski siang itu Ibn Rusyd tak mengalami kesulitan apa pun saat membangun argumen untuk menyanggah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) karya al-Ghazali, sebuah kekhawatiran kecil mengganggu konsentrasinya.

Malam sebelumnya, ketika sedang mengerjakan proyek yang lain—yakni mensyarah karya Aristoteles yang berjudul Poetics—Ibn Rusyd terhenti ketika bertemu dengan dua kata yang maknanya tak ia pahami dalam karya tersebut, yaitu  “tragedi’ dan “komedi”.

Ia sudah mencari tahu arti dua kata tersebut di dalam karya Aleksander dari Aphrodisias, juga membandingkan terjemahan Poetics yang dibuat oleh pendeta Nestorian Hunayn ibn Ishaq dan Abu Bashar Mata. Kendati demikian, Ibn Ruysd tak menemukan apa yang dicarinya. Padahal dua kata tersebut banyak tersebar di dalam karya Poetics.

Setelah melanjutkan Tahafut sampai menjelang maghrib, malam harinya Ibn Rusyd berkunjung ke kediaman seorang ahli Qur’an bernama Faraj. Di sana, ia bertemu dengan tamu-tamu lain, termasuk Abu Hasan al-Ash’ari, seorang musafir yang pernah berpergian sampai ke negeri Tiongkok.

Di tengah perbincangan, seorang tamu meminta Abu Hasan untuk bercerita mengenai pengalamannya yang menakjubkan. Abu Hasan lantas menceritakan kejadian aneh saat dirinya berada di Kanton.

Di kota itu, katanya, ia diajak oleh saudagar Muslim setempat ke sebuah rumah yang banyak penghuninya. Rumah itu terdiri dari satu ruangan, dengan deretan balkon yang tersusun vertikal. Di balkon-balkon itu orang-orang makan dan minum; sebagian ada yang duduk di lantai, sebagian lagi berada di teras yang ditinggikan.

Mereka yang berada di teras ada yang tengah memainkan tambur dan seruling. Selain itu, ada pula yang memakai topeng berwarna merah tua sembari berdoa, bernyanyi, dan bercengkerama di antara mereka sendiri.

“Mereka yang memakai topeng berada dalam penjara,” kata Abu Hasan, “namun tak terlihat ada jeruji; mereka menunggang kuda, namun tak seekor kuda pun yang terlihat; mereka melancarkan peperangan, namun pedang-pedangnya terbuat dari bambu; mereka mati, kemudian hidup kembali.”

“Kelakuan orang gila,” sela Faraj, “berada di luar pemahaman orang waras.” Abu Hasan menjelaskan bahwa mereka bukan orang gila: “Kata si saudagar, mereka tengah mempertunjukkan sebuah cerita.” Namun, tak seorang pun di antara tamu yang hadir memahami apa yang dimaksud si musafir, termasuk Ibn Rusyd.

Sewaktu adzan subuh berkumandang, Ibn Ruysd sudah berada di rumahnya kembali. Dan tiba-tiba saja arti dua kata yang mengganggunya menjadi jelas. Cepat-cepat Ibn Ruysd menambahkan kalimat ini dalam manuskrip yang tengah dikerjakannya:

“Aristu [Aristoteles] memberikan nama ‘tragedi’ kepada eulogi dan nama ‘komedi’ kepada satire … Ada banyak tragedi dan komedi yang mengagumkan dalam Qur’an….”

Cerita di atas, tentu saja, saya ambil dari sebuah cerpen berjudul “Averroes’s Search” (Pencarian Ibn Rusyd) karya sastrawan Argentina, Jorge Luis Borges. Di akhir cerpen, Borges mengaku tengah berusaha mengisahkan sebuah proses kegagalan atau kekalahan.

“Saya merasa bahwa Ibn Rusyd, yang berusaha membayangkan apa itu drama tanpa mengetahui apa itu teater, tak lebih absurd daripada saya yang mencoba membayangkan Ibn Rusyd hanya dari secuil keterangan dari Renan, Lane, dan Asin Palacios,” (Borges, 1999:241).

Saya tidak tahu sejauh mana lisensi artistik yang digunakan Borges dalam menulis cerpennya ini, atau dalam kategorisasi yang “lebih kasar”, mana yang hanya berupa fiksi dan mana yang berdasar fakta sejarah.

Namun, yang menarik perhatian saya: benarkah bahwa dunia Islam saat itu tak mengenal teater hingga membuat Ibn Rusyd, dalam cerita Borges, keliru  menerjemahkan istilah tragedi dan komedi, dan membuatnya, beserta tamu-tamu yang hadir di kediaman Faraj, tak mengenali bahwa apa yang sedang mereka dengar itu adalah deskripsi tentang teater?

Mengenai kekeliruan Ibn Rusyd dalam menerjemahkan istilah tragedi dan komedi, Erika Spivakovsky (1968:228) menulis bahwa itu sebuah distorsi. Menurut Spivakovsky distorsi ini bisa dilacak dari kekeliruan Ernest Renan dalam Averroes et l’averroism yang menjadi salah satu sumber Borges.

“Ibn Rusyd bukan saja tidak membuat pernyataan seperti yang ditulis Borges di atas, melainkan juga kemungkinannya tidak “mencari” arti kata “tragedi” dan “komedi” karena dua kata itu sampai kepadanya lewat penerjemah Arab. Ibn Rusyd mendasarkan diri pada terjemahan Arab dari terjemahan Syiriac akan teks Yunani; versi bahasa Arab Poetics menggunakan kata madih (eulogi) bukannya kata Yunani tragoidia dan hidjd (satire) bukannya komoida” (hlm. 231).

Terhadap pertanyaan kedua, dunia Islam sebenarnya mengenal dunia teater, atau setidaknya bentuk-bentuk lain dari seni pertunjukan atau seni representasi. Misalnya khayal al-zhil (teater bayangan) dan aragoz (wayang) di Mesir, abderrazak di Tunisia, ta’ziyeh di masyarakat Syi’ah, untuk menyebut beberapa di antaranya.

Karena itu, ketika di dalam cerpen Borges Abu Hasan mengatakan “mereka tengah mempertunjukkan sebuah cerita” dan bukannya mengisahkan cerita sebagaimana pendongeng (solo storytelling), seharusnya Ibn Rusyd dan tamu-tamu yang lain bisa memahami—dalam arti bisa menghubungkan berdasarkan pengalaman bahwa itu adalah bentuk lain dari seni pertunjukan atau seni representasi yang dikenal di masyarakat Islam.

Namun, mengenai seni pertunjukan dalam tradisi Yunani yang umumnya berdasar pada naskah drama dalam bentuk puisi serta diperankan oleh manusia, agaknya bisa dikatakan bahwa dunia Islam tidak mengenal itu.

Sebabnya saya kira berangkat dari apa yang pernah ditulis Fazlur Rahman (1988:6) yang menyebutkan bahwa di masa ketika kaum Muslim tengah melakukan proses penerjemahan karya-karya intelektual Yunani Kuno secara sistematis dan dalam skala besar, terdapat satu disiplin yang tak dimasukkan dalam proyek itu, yaitu karya kesusastraan Yunani.

Ketika kaum Muslim menolak menerjemahkan kesusastraan Yunani, di mana naskah drama merupakan bagian daripadanya, secara otomatis bisa dikatakan konsep teater Yunani pun absen dalam kehidupan intelektual kaum Muslim saat itu. Apa yang menyebabkan pilihan tersebut?

Pengabaian itu, setidaknya, terjadi karena tiga alasan. Pertama, seperti disebutkan Fazlur Rahman, hal itu terjadi karena alasan religius. Mengingat kesusastraan Yunani dipenuhi oleh kisah-kisah tentang para dewa dan dewi, dan mengingat pula bahwa Islam sangat sensitif terhadap segala hal yang dianggap bisa mencemari kemurnian doktrin tauhid, kaum muslim memilih untuk menolaknya.

“Ini merupakan sebuah keputusan yang bersifat moral dan religius yang memungkinkan sains, filsafat, dan ilmu kedokteran Yunani bisa masuk ke dunia Islam … namun, tidak demikian halnya dengan legenda-legenda tentang dewa dan dewi yang banyak tersebar di dalam kesusastraan Yunani dan agama rakyat” (1988:6).

Alasan kedua bersifat sosial-politik. Menurut Sulaiman al-Bustani (Hourani, 1992:179)—penerjemah The Illiad ke dalam bahasa Arab—hal itu bisa terjadi karena yang menjadi patron proyek penerjemahan, Kekhalifahan Abbasiyah, hanya menginginkan filsafat, sains, dan ilmu kedokteran, bukan kesusastraan Yunani. Selain itu, kebanyakan dari mereka yang menjadi penerjemah filsafat dan sains Yunani bukanlah orang Arab, dan tak terlalu menguasai bahasa Arab untuk bisa menerjemahkan puisi. Begitu pun dengan para penyair Arab yang tak menguasai bahasa Yunani.

Alasan ketiga bersifat sastrawi. Hourani mengutip seorang penulis muslim abad ke-9 M bernama al-Jahiz yang mengemukakan mengenai sikap umum kaum Muslim terhadap puisi terjemahan.

“Hanya orang Arab dan mereka yang berbicara bahasa Arab saja yang memiliki pemahaman yang benar akan puisi. Puisi tidak cocok jika diterjemahkan, dan seharusnya jangan diterjemahkan. Ketika puisi diterjemahkan, strukturnya menjadi hancur; iramanya tak lagi benar; keindahan puisi lenyap, dan tak ada lagi yang tersisa dari puisi itu untuk dikagumi.” (1992:177).

Absennya kesusastraan Yunani di dunia Islam, atau dalam hal ini di dunia Arab, terus berlangsung selama berabad-abad. Baru di sekitar akhir abad ke-19, seperti dikemukakan Mahmoud al-Shetawi (1989:9), kesusastraan Yunani untuk kali pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kesusastraan Yunani pertama yang diterjemahkan itu adalah The Illiad karya Homer oleh Sulaiman al-Bustani.  Dan sejak itu bentuk teater seperti yang terdapat dalam tradisi barat (Yunani) pun mulai tumbuh di dunia Arab. []

Sumber Bacaan:

Al-Shetawi, Mahmoud. “The Treatment of Greek Drama by Tawfiq al-Hakim”. World Literature Today, Vol. 63, No. 1 (Musim Dingin, 1989), hlm. 9-14

Borges, Jose Luis (1999) Collected Fictions. Terj. Andrew Hurley. New York: Penguin Books.

Hourani, Albert (1992) Islam in European Thought. New York: Cambridge University Press.

Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response”. The American Journal of Islamic Social Science, Vol. 5,  No. 1. 1988, hlm. 3-11

Spivakovsky, Erika. “In Search of Arabic Influences on Borges”. Hispania, Vol. 51, No. 2 (Mei, 1968),  hlm. 223-231

BR Permana
Latest posts by BR Permana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!