Pada hari-hari menjelang “kaoem moeda” berpikiran “madjoe” untuk tanah air, lahirlah Saridjah. Si bungsu di keluarga Bugis tapi hidup-bertumbuh di Sukabumi. Kelahiran itu memang tak menandai ada “kebangoenan” bagi tanah jajahan belum dinamai Indonesia. Kehadiran Saridjah, 26 Maret 1908, masih teranggap kewajaran di suasana “kemadjoean” sedang melanda Hindia Belanda. Kita mengenang masa awal abad XX, kaum bumiputra mulai terpikat ke pendidikan modern dan mengerti tata dunia baru. Suasana itu melatari biografi Saridjah kelak disebut Ibu Soed.
Di buku Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 garapan Tim Tempo, Ibu Soed adalah “tokoh musik 3 zaman (Belanda, Jepang, Indonesia).” Ketokohan terkenang sepanjang masa. Pada 1920-an, ia mulai menggubah lagu-lagu bocah. Lagu berlirik bahasa Indonesia, melawan kuasa bahasa Belanda di pengajaran lagu berlaku di sekolah-sekolah. Pada saat suara-suara politik bermunculan di rapat, kongres, dan pidato umum, Iboe Soed memilih kemerduan terdengar di pelbagai kota melalui Radio NIROM (Jakarta). Ia mengajak orang-orang bersenandung, menjadikan hari-hari berirama. Sejak 1927, ia sudah menggubah 200-an lagu.
Detik-detik awal mengalami hidup, ia menjadi anak angkat Mr. Kramer. Pada usia 5 tahun, bocah bumiputra itu mulai mengalami diskriminasi di keluarga Kramer. Sekian anak sengaja memperlakukan Saridjah dengan peremehan dan penghinaan. Si bocah belum terlalu mengerti ulah bernalar kolonial. Hidup di keluarga Indo, Saridjah perlahan mahir berbahasa Belanda. Bahasa itu memungkinkan ia membaca Alkitab. Kramer justru berpesan agar Saridjah tak perlu berpindah agama. Kenangan itu dimunculkan dalam buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran (1982) dengan editor Lasmidjah Hardi.
Hari-hari di masa bocah dan remaja dinikmati dengan bermain biola. Di zaman “kemadjoean”, ia termasuk pemula dalam kemauan berseni dengan biola meski berbeda pamor dari Wage Rudolf Soepratman. Pada tahap menjadi dewasa, Saridjah bersekolah di Kweekschool vor Inlandsche Onderwijzers (Bandung). Di situ, ia paling suka dengan pelajaran musik dan deklamasi. Ia sadar sedang menempuhi jalan seni. Lulus pada usia 17 tahun, Saridjah masih belum berpikiran menjadi seniman atau penggubah lagu. Ia sudah mahir bermain biola dan mengerti seni. Panggilan menjadi guru di Jakarta dituruti, sebelum menginsafi diri adalah seniman.
Pengalaman menjadi guru memunculkan masalah pelik. “Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa lagu-lagu yang saya ajarkan semuanya lagu-lagu Belanda. Selalu lagu Belanda. Tetapi saya pikir, bagaimana mungkin kita dapat menghayati lagu-lagu Belanda jika kita tidak dapat secara visual menggambarkan bangaimana sebenarnya keadaan alam di Eropa dan cara hidup bangsa Belanda di sana? Beberapa jenis bunga, asing bagi kita. Indonesia tak mengenal salju. Indonesia tak mengenal bunga tulip, misalnya, karena di sini tak ada jenis bunga demikian,” pengakuan Ibu Soed di buku berjudul Sumbangsihku Bagi Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran.
Gejolak itu memerlukan jawaban. Sikap estetis dan politis mungkin berpadu. Saridjah mulai mengusut segala renungan sampai ke keberanian menggubah lagu berbahasa Indonesia. Gubahan lagu mengenai tanah air dengan kesuburan dan keindahan, tak gampang diremehkan oleh percik-percik imajinasi Eropa dalam lagu-lagu berbahasa Belanda diajarkan ke bocah-bocah di sekolah. Ia menanggungkan kecamuk berisiko membentuk imajinasi Indonesia melalui keluguan dan kegirangan bocah-bocah bersenandung.
Kita mengingat kecamuk Saridjah berbarengan hasrat para pujangga bumiputra merengkuh estetika baru terpengaruh dari kesusastraan Belanda dan Eropa. Gubahan sastra berbahasa “Melajoe” mulai sanggup menceritakan segala hal di Indonesia menggunakan patokan-patokan estetika novel Barat. Di lingkaran Balai Poestaka, suguhan-suguhan cerita mulai memunculkan Indonesia di lakon adat, politik, pendidikan, dan kota. Tata imajinasi masa 1920-an mengarah ke penerbitan bacaan mengalami sensor atau pembakuan menginduk ke peraturan-peraturan kolonial. Di luar selebrasi imajinasi di sastra, Saridjah menempuhi jalan seni di gubahan lagu dipersembahkan ke bocah-bocah ketimbang kaum dewasa. Politik sedang sengit dan sastra sedang membuat kaum dewasa ketagihan estetika kebaruan. Di kesibukan politik dan sastra, penggubahan lagu seperti tindakan tak terlalu memunculkan cemas dan marah dari pemerintah kolonial.
Pada 1927, Saridjah dengan sebutan Ibu Soed setelah menikah dengan Bintang Soedibjo (1925), mulai menggubah lagu-lagu. Janji minta dipenuhi di masa bergejolak akibat represi kolonial dan pembesaran ide-imajinasi Indonesia: “Saya ingin menerjemahkan keinginan, perasaan, dan impian anak-anak ke dalam lagu.” Janji itu memiliki jarak jauh dari ketekunan Ki Hadjar Dewantara mengajarkan lagu-lagu bocah di Perguruan Nasional Taman Siswa (Jogjakarta). Di sana, lagu-lagu berbahasa Jawa warisan leluhur sudah sering diajarkan dalam membentuk identitas-kepribadian dan ancangan bertanah air. Ibu Soed memilih mencipta lagu-lagu baru berkemungkinan memberi ajakan ke bocah-bocah fasih berbahasa Indonesia dan mengesahkan tanah air bernama Indonesia. Lagu bagi bocah dianggap memberi pengaruh besar ketimbang khotbah atau melulu penjelasan dari buku-buku pelajaran.
Lagu demi lagu digubah, tak semua teringat lagi atau tercatat rapi menjadi album tebal. Ibu Soed agak bersedih telat melakukan pendokumentasian dari puluhan lagu pada episode awal. Sekian lagu mulai bermakna setelah disenandungkan murid-murid, sebelum beredar melalui radio. Ibu Soed mengenang: “Lagu-lagu ciptaan saya mula-mula saya nyanyikan bersama murid-murid sekolah saya, secara terbatas pada pesta-pesta sekolah dan acara perpisahan. Saya berbahagia karena pada akhirnya cita-cita mencipta lagu terlaksana.” Pada masa lalu, pemerintah kolonial belum berminat mengadakan larangan bagi lagu-lagu berbahasa Indonesia, kecuali perlakuan agak represif ke lagu gubahan WR Supratman di Kongres Pemoeda II.
Tahun demi tahun berlalu, bocah-bocah gemar bersenandung puluhan lagu gubahan Iboe Soed: Kereta Apikoe (1934), Hoedjan (1938), Boeroeng Ketilang (1936), Menanam Djagoeng (1942), dan lain-lain. Sejak masa 1950-an, lagu-lagu gubahan Ibu Soed mulai dibukukan agar dapat dipelajari dan acuan ingatan, dari masa ke masa. Pada masa Orde Baru, buku-buku berisi lagu-lagu Ibu Soed tetap terbit. Nasib buku berbeda dengan rekaman lagu-lagu. Ibu Soed sering dilupakan dari bisnis rekaman lagu, tak lagi mencantumkan nama pencipta (Ibu Soed) atau memberi honor. Di sekolah-sekolah, puluhan lagu Ibu Soed disenandungkan tanpa ada penjelasan dari para guru mengenai si penggubah. Di sekian buku pelajaran, sekian lagu malah dianggap gubahan NN atau nama orang lain.
Buku berjudul Ketilang: Kumpulan Lagu Kanak-Kanak susunan Ibu Soed terbit tahun 1979. Pada 1990, buku telah mengalami cetak ulang ke-10. Buku itu laris tapi tak memberi kepastian pengetahuan publik atas ketokohan Ibu Soed bertambah. Pihak penerbit memberi bujukan: “Kumpulan lagu-lagu abadi ini sangat bermanfaat untuk menanamkan rasa nasionalisme yang dalam pada anak didik di sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama.”
Nasib diri dan lagu-lagu pada masa Orde Baru diawali dengan capaian dan pengakuan pada masa 1960-an. Ibu Soed menjadi tokoh terhormat di mata pemerintah. Soeharto memberi penghargaan resmi pada Ibu Soed sebagai “Perintis dalam Penciptaan Lagu Kanak-Kanak Indonesia.” Sejak mula, Ibu Soed tak berpamrih mendapat penghargaan-penghargaan.
“Lagu-lagu yang saya buat dinyanyikan oleh anak-anak di seluruh Indonesia itu semua sudah imbalan yang luar biasa bagi jerih payah saya selama ini,” kata Ibu Soed. Ia memang ibu (lagu) Indonesia. Di majalah Djaja, 4 Juni 1966, pembaca menemukan lembaran berisi lagu gubahan Ibu Sud berjudul “Hari Kanak-Kanak Nasional.” Lagu itu membuktikan darma bakti Ibu Soed (26 Maret 1908-12 Desember 1993) pada bocah tak pernah luntur. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022