Ada kegamangan penciptaan dalam literasi mutakhir: apa ide cerita—bagi puisi, prosa, naskah drama, skenario film, tari, dan si seterusnya—harus diakui penting, serta saat itu dijadikan rujukan penulisan karya, hingga secara etik harus disertakan sebagai keterangan penciptaan karya—dengan konsekuensi: harus membayar fee pada pemicu ide awal—, ataukah itu tak perlu? Tapi apa akan ada karya baru bila tanpa ada kilasan dari gagasan awal? Meski ide itu terkadang terlahir dari celetuk ringan seorang kawan, ketika mengobrol di warung kopi sambil merokok, hingga lamunan berkembang, atau setumpuk bahan yang sedang dipersiapkan mendadak punya wujud serta tercetuskan?
Artinya: apa orang yang memicu suatu penulisan tidak berhak atas terima kasih pengarang? Bagaimana kalau itu bukan “celetukan” seseorang, tapi satu lagu, cerpen, bahkan sebuah novel? Pengarang lain yang mengilhami, membuka jalan akan apa yang harus dituju, dan bagaimana menuliskannya. Apa diam melenggang cuek saja—karena relatif tak banyak yang tahu, selain akademisi yang akan melakukan suatu penelitian panjang—, atau lebih rendah hati, tahu diri dengan menyebutkan apa sumber awalnya? Lebih berterus terang, tidak seperti cerita rakyat popular diketahui banyak orang, yang dituturkan lagi dengan khas sambil pengarang mengatakan cuma cerita ulang—seperti penulisan ala Jakob dan Wilhelm Grimm—?
Sebuah pengakuan bahwa ide awal karyanya telah dikenal secara umum, tapi itu kini diolah dengan cara bercerita dan teknik menulis yang personal, sehingga aspek individual pengarang hadir. Sepertinya sah—tidak sekadar penandaan transisi dari era sastra lisan ke sastra tulisan—, sehingga apa-apa yang idenya diketahui banyak orang jadi orisinal sebab keunikan penulisannya. Dan dalam drama dan film hal itu terkadang lazim dilakukan, dengan rekonstruksi pementasan, hingga cerita dari naskahnya itu-itu saja disadur di latar budaya lain. Lakon Machbeth yang mendadak bernuansa budaya Batak dari Wahyu Sihombing—atau mensidadak jelma versi film dengan aura budaya feodalis Jepang dari Akira Kurasawa—, misalnya.
Lakon Romeo dan Juliet mendadak ada dalam film berlatar subkultur remaja di Jakarta 1980-an di Indonesia. Pada industri lagu pop eksploitasi kreativitas seperti itu terasa biasa sekali. Lagu “X” dari si penyanyi J dengan citra rasa pop, meledak, lantas muncul: versi reggae dari penyanyi R, versi dangdut dengan penyanyi V—dan bahkan diterjemahkan ke bahasa Jawa oleh O, bahasa Sunda oleh X, dan bahasa Minang oleh Z. Semua terkesan asli, meski hanya merujuk kepada lagu “X”, ciptaan W. Meski itu menyejukkan tetap terasa menjemukan, karena tak terlihat adanya usaha aransemen orisinal—dengan dukungan laku penjelajahan teknik olah vokal menyanyi jempol, serta seterusnya. Yang tampaknya, semua kreativitas itu hanya variasi dituntun oleh insting industrial—hanya melihat minat pasar, sama sekali tak menghargai potensi seni.
Satu penghargaan pada ide, keinginan untuk memahkotainya dengan melakukan kreasi aransemen orisinal—atau ikonisasi dengan varian lokal berwujud latar, budaya, dan sebagainya—, sesuai ketentuan kreativitas, sehingga terlahir karya unik—kalau tak mutlak orisinal. Suatu penghargaan kepada ide awal serta sakralisasi penulisan orisinal membuat laku peminjaman judul, kutipan, atau kesamaan ide ketika menulis sesuatu diakui dengan catatan kaki. Baik ketika menulis puisi yang amat diilhami, atau hanya dengan mengambil judul lagu tertentu; ketika cerpen diilhami cerpen lain, atau hanya yang mengambil judul cerpen lain; ketika sebuah novel diilhami novel lain, sehingga menyertakan data kutipan dari novel lain itu, atau hanya catatan kaki, atau itu sekadar berita tertulis dilakukan Budi Darma di dalam Olenka.
Bahkan ada sebuah film, yang santun menyatakan meminjam judul puisi—bukan ide dasar cerita—seperti dilakukan oleh Garin Nugraha atas D Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Ilalang.
***
Ide diakui, dihargai—dan karenanya ketika “dikutip” penulis akan menyebutkan sumbernya. Ini, rasanya, etik profesional menulis, tradisi kuat dari etos menulis yang bermula dari budaya membaca. Bahwa apa-apa yang tertulis persuratkan itu akan bisa diperiksa wujud asalnya, tidak mungkin berubah, meski logika penulisannya bisa didebat dan dipertanyakan, dari sejak tulisan itu terlahir sampai dengan tulisan itu hilang wujud konkretnya—bahkan sampai bahasa itu musnah. Dari sana terlahir satu gagasan, yang menunjukkan bahwa pengarang itu unik, relatif pemilik gagasan orisinal, dan karenanya harus diakui serta dihargai personifikasinya. Tak tergantikan dan tak boleh dibiaskan, dengan bersengaja mendaftarkan keutamaan serta personalianya lewat idea memberi nomor ISBN–secara internasional—pada buku yang diterbitkannya.
Buku yang pasti berbeda karena ditulis di tahun berbeda, dengan lokasi negara berbeda, dengan penerbit berbeda, dan dari pengarang yang beda—sehingga tiap buku yang berjudul sama akan berbeda karena diterbitkan pada tahun berbeda oleh penerbit berbeda, dan ditulis pengarang lain. Perbedaan itu—tanpa membaca isinya—dipertegas metode penomoran ISBN berbeda—dan KDT yang berbeda—, karenanya yang pergi ke perpustakaan atau toko buku akan tahu, bahwa setiap buku berbeda—meski berjudul sama, nama si pengarang mirip serta lewat penerbit seperti sama. Bahkan, meski buku tak bernomor ISBN. Di Dunia metode pembeda dengan penomoran itu lewat Badan Internasional ISBN di London, untuk Indonesia, merujuk ke Perpustakaan Nasional sebagai Badan Nasional ISBN.
Lembaga ISBN, penomoran secara lokal dan internasional, menunjukkan satu buku berbeda dari buku lainnya—meski pemakaian judul buku yang sama tersirat memicu cemeeh karena ditandai sebagai kemalasan berkreasi si penulis. Dan di ujung semua itu: ada penghargaan mutlak pada ide murni, pada orisinalitas penulisan sebagai manifestasi gaya penuturan, serta kepada personalitas sosok buku. Jadi tidak mungkin orang santai menulis dari cerita yang ada sambil bilang, cerita wayang itu umum serta telah diketahui banyak orang, serta melupakan fakta kalau si cerita yang ditulisnya itu merupakan diskursus personal dengan khazanah yang unik. Tak mungkin mengambil alih suatu inti sebuah cerpen dan sengaja mengaburkan sumbernya dengan melakukan banyak hiasan lagu-pagu orisinal, riset pengecoh agar si fakta lapangan yang mirip bisa dianggap kebetulan yang sama, dan varian artifisial lain buat mengaburkan ide awal—seperti terjadi pada cerpen dan film “Surat dari Praha”.
Rasanya pengecohan itu bertolak dari kebiasaan tradisi lisan, di mana aspek dari oralitas sangat kuat dianut dan dominan diyakini. Percaya, bahwa suatu tampilan lisan suatu teks amat dibatasi peristiwa penampilan, dan terbatas jangkauan peredarannya, karena hanya diketahui beberapa orang saja. Sehingga yang tidak hadir tidak tahu, (ia) hanya bisa/kuasa memanfaatkan informasi orang kesatu—tak seperti teks tertulis—, karena itu pencurian ide bisa disembunyikan dengan pernyataan: itu rahasia yang tidak kuasa diklaim karena (ia) tak menghadiri penampilannya, atau itu tidak diketahui selain oleh saya (dan) karenanya saya berhak berbicara sebagai si otoritas. Ini yang menyebabkan seorang teman berani menulis cerpen dengan menyarikan suatu novel di dalam tradisi bercerita ulang—catatan kakinya, tak bisa diketahui masyarakat, karena tak diterbitkan si media massa pemuat.
Di titik ini, saat penghargaan pada ide—dimitoskan sebagai hak intelektual—tidak ada, maka orang bisa berbuat apa saja. Sergahan pada plagiarisme, cuma (satu) macam ompong, karena siapa pun merasa berhak melakukan pengutipan seluruh karya, atau pengambilan sebagian besar, cuma sebagian kecil dengan oplosan kutipan, dam mencampurbaurkan dengan sekian karya tanpa menyebutkan sumber kutipan jadi wajar—meski tak legal. Menyebalkannya, itu karena tak ada niatan tulus menghargai ide, orisinalitas pengungkapan dan penulisan, hormat pada usaha riset dan survei, serta seterusnya. Baik itu menyangkut genre karya akademi, karya tulis ilmiah, buku fiksi, dan terutama lagu—terlebih ketika pencurian karya dengan mengabaikan hak itu amat dimudahkan secara digital.
Menyedihkan, teknologi infomatika dipakai tanpa dasar etik dan etos menulis.
***
Di dalam sistem yang amat koruptif, dan tradisi melecehkan ide dan eksklusivitas menulis—sehingga dunia literasi kita terpinggirkan oleh masyarakat kita sendiri—lahir ekstremitas lain. Sok intelek. Menuntut supaya (siapa) yang mengutip diksi karangan, omongan, dan status medsos harus menyertakan namanya, agar semua orang tahu itu diksi miliknya. Menganggap itu penemuan orisinalnya sambil abai jika (ia) telah bebas mengutip pendapat orang lain. Pada titik ini kita bertemu kebenaran sosial lain, bahwa etika itu telah tunduk pada popularitas, dan orang terdorong menghalalkan segala cara untuk agresif meningkatkan popularitas diri demi target-target pencitraan politik, dan terutamanya ekonomi. Naif—dan sekaligus cupet!***
- Seperti Burung Walet yang Terbang [Melayang] dan Luwes Berbalik - 4 March 2022
- Apa Novi Memang Mau Bunuh Diri? - 16 July 2021
- Motif Subjektif dalam Ide Revolusioner Nela - 17 April 2020