Meskipun mengangkat keberagaman dan pluralitas dengan prinsip kesetaraan, kebanyakan yang muncul dalam film-film Marvel didominasi aktor berkulit putih. Meskipun mengidolakan sosok kepahlawanan super dari sejumlah jagoan Marvel tersebut, banyak orang, termasuk saya, tidak merasa dekat, baik secara ikatan emosi maupun keterlibatan. Sulit rasanya mengimajinasikan menjadi para pahlawan super dengan wajah-wajah yang tidak lekat dan setidaknya memiliki banyak kesamaan dengan saya. Di sini, mengidolakan dan mengimajinasikan menjadi dua kata yang berjarak. Mengidolakan kepahlawanan super tetapi sosok itu bukan seperti bagian dari kebanyakan orang kulit berwarna. Di sini, ada semacam keterjarakan yang tanpa sadar terbangun. Kehadiran Black Panther, film seri terbaru dari Marvel Cinema Universe (MCU), membawa dimensi lain dengan para pemainnya yang didominasi oleh Afro-Amerika, di mana keterjarakan dan bahasa Inggris yang digunakan dengan aksen Afrika membuat emosi saya lebih terlibat. Meskipun harus diakui, bukan hanya dua hal tersebut yang membuat film ini menjadi lebih segar dan menarik dari film seri MCU sebelumnya. Ada faktor penguat lainnya.
Kehadiran Black Panther ini secara singkat sebenarnya sudah dimunculkan dalam seri MCU yang lain, Captain America: Civil War (2016). Saat sang ayah, Raja T’Chaka Wakanda, mendapatkan undangan untuk berbicara dalam sidang forum PBB, T’Challa (Chadwik Boseman) tidak hanya menemani tetapi berusaha untuk menjaganya. Namun, saat sedang berpidato terkait dengan posisi Wakanda dalam situasi konflik geopolitik, tiba-tiba muncul ledakan bom dari arah belakangnya. Keterlambatan mengantisipasi serangan bom tersebut membuat T’Challa akhirnya harus kehilangan sang ayah yang disayanginya tersebut. Dari adegan inilah kemudian sosok Black Panther muncul, mengejar pelaku pengeboman tersebut.
Perkenalan singkat tersebut kemudian menjadi bangunan pembuka cerita dalam Black Panther di mana T’Challa harus kembali ke negeri fiksi Wakanda di Afrika, yang memiliki teknologi canggih, dengan simpanan materi vibranium berlimpah, yang jatuh dari luar angkasa. Kembalinya T’Challa ke kampung halamannya untuk meneruskan takhta kerajaan yang ditinggalkan oleh sang ayah. Saat ritual pengesahan Raja Wakanda, T’Challa harus mengikuti sistem tribal. Ia harus berkelahi satu lawan satu untuk menunjukkan dirinya sebagai orang terkuat dari kelima suku di Wakanda. Di antara kelima suku tersebut, hanya satu yang menantang T’Challa untuk berduel, M’Baku (Wiston Duke). Ia berasal dari suku Jabari yang mengisolasi diri dari arus utama masyarakat Wakanda. Meskipun M’Baku mencoba untuk melawan sampai darah penghabisan, akhirnya ia menerima kekalahan yang membuatnya terhindar dari kematian.
Sebagai raja baru, tantangan pertama yang harus dihadapi oleh T’Challa adalah membawa mati atau hidup pembunuh T’Chaka untuk diadili. Pembunuh sang ayah adalah Ulysses Klaue (Andy Serkis), seorang gangster dan penyelundup senjata mahal di pasar ilegal. Bersama dengan Erik Killmonger (Michael B. Jordan), Klaue mencari materi vibranium sebagai bahan senjata yang paling kuat. Vibranium terbanyak berasal dari artefak senjata Wakanda. Mereka berdua kemudian melakukan pencurian artefak dari sebuah museum. Berawal dari pencurian inilah titik awal perburuan T’Challa dimulai. Ia ditemani oleh Nakia (Lupita Nyong’o), mantan kekasih sekaligus juga salah satu mata-mata (War Dog) Wakanda yang ditempatkan di pelbagai negara untuk menjalankan misi masing-masing. Ia juga ditemani oleh Okoye (Danai Gurira), Jenderal Tertinggi Pasukan Elite Dora Milaje dari militer Wakanda—yang semuanya perempuan dan bertugas menjaga sang raja. Untuk memburu Klaue, mereka pergi ke Buzan, Korea Selatan, di mana transaksi bisnis pasar gelap biasa dilakukan.
Setelah terlibat pertempuran sengit di jalan-jalan kota Buzan, Klaue tertangkap. Meskipun demikian, T’Challa tidak bisa membawanya ke Wakanda mengingat dia merupakan tahanan Everett K. Ross (Martin Freeman)—agen FPI. Karena memiliki kepentingan, Erik Killmonger kemudian membebaskannya. Dalam momen pembebasan inilah Everret tertembak dan T’Challa membawanya ke laboratorium canggih di Wakanda untuk disembuhkan. Alih-alih menginginkan materi vibranium, bekerja sama dan menyelamatkan Klaue adalah salah satu cara agar Killmonger bisa ke negeri Wakanda.
Killmonger adalah anak dari adik Raja T’Chaka, N’jobu (Sterling K. Brown), yang ditugaskan sebagai mata-mata di Amerika Serikat yang terlibat lebih jauh dalam gerakan pembebasan dan penuntutan hak-hak Afro-Amerika. Untuk menguatkan modal ekonomi dan perjuangan gerakan pembebasan tersebut, N’jobu melakukan pencurian senjata vibranium untuk dijual. Raja T’Chaka mengetahui ini dan kemudian akhirnya membunuhnya.
Landasan utama Killmonger ingin merebut takhta karena ia merasa pantas. Di tengah pengalaman tanpa pengasuhan dan dibesarkan dalam balutan dendam, Killmonger tumbuh sebagai mata-mata CIA yang lihai untuk melakukan pembunuhan dan membuat gerakan pemberontakan dalam menciptakan instabilitas di sebuah negara. Membawa mayat Klaue menjadi pintu masuk. Saat berada dalam altar utama kerajaan Wakanda inilah ia membongkar semuanya dan kemudian menantang duel T’Challa.
Di bawah kepemimpinan Killmonger, kebijakan pemerintahan Wakanda mengalami perubahan drastis. Bagi Killmonger, Wakanda harus memegang peranan lebih untuk melakukan kolonialisasi baru yang turut mengubah lanskap peta politik suku-suku di Wakanda, yang kemudian membelah mereka menjadi dua dukungan, pro terhadap rezim yang baru atau menjadi oposisi. Keluarga T’Challa sendiri kemudian meminta dukungan kepada M’Baku dari suku Jabari untuk melakukan perlawanan.
Selain adegan perkelahian dengan efek visual yang mengagumkan dan kecanggihan teknologi yang ditampilkan, duel terakhir dalam film ini membawa pesan poskolonial penting terkait dengan posisi Afrika dan diaspora Afrika. Meskipun berasal dari keturunan yang sama, mereka memiliki cara pandang berbeda mengenai persoalan yang dihadapi.
Bagi diaspora Afrika, bermigrasi ke tanah Amerika dan melakukan perjuangan dari seorang budak dan bertransformasi menjadi subjek warga negara yang memiliki hak-hak sipil seperti warga kulit putih lainnya, merupakan perjuangan panjang dan berdarah-darah. Karena itu, saat memiliki kekuatan dan kesempatan melakukan dominasi secara terbalik menjadi semacam keharusan bagi Killmonger untuk melakukan gerakan pembebasan kulit hitam.
Sementara itu, dengan representasi Afrika sebagai negara bekas jajahan dan mengalami kemerdekaan, T’Challa terlihat tidak memiliki beban politik dan tanggung-jawab untuk memperjuangkannya. Kritik ini juga dilakukan Nakia yang memilih membantu menyelesaikan persoalan sosial di wilayah Nigeria.
Ditangani oleh sejumlah profesional di masing-masing bidangnya, dengan menggali data dan riset secara serius serta kerja sama dengan sejumlah perusahaan animasi terbaik, Black Panther tidak hanya enak ditonton melainkan menghadirkan estetika Afrofuturisme, penggabungan dan irisan cerita, filosofi, dan magis Afrika dengan teknologi modern Amerika, yang sebelumnya hanya hadir dalam lukisan dan novel. Kehadiran Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang antiimigran dan memiliki kebijakan rasisme, terlebih dengan ungkapan shitholes dalam menyikapi kebijakan imigran Haiti, El-Savador, dan Afrika, film ini menemukan konteks otokritik dalam situasi politik sesungguhnya. Di sisi lain, kehadiran film ini juga menguatkan imajinasi diaspora Afrika di pelbagai negara terkait dengan identitas dirinya. Sejumlah faktor itulah setidaknya yang membuat Black Panther memecahkan rekor dari film-film Marvel sebelumnya.
———————————————