Sumini Ingin Mengelus Rambut Tentara Israel

Sumini bermimpi mengelus rambut tentara Israel. Sudah dua kali ia bermimpi hal yang sama. Tapi kali ini, saat terbangun, ia tiba-tiba dikepung perasaan sedih. Lantas ia menangis kecil, perlahan tangisnya membesar, sampai akhirnya ia meraung-raung dan berteriak sekencang-kencangnya. Ahmad Gober–tetangga terdekatnya—kaget. Saat itu, Ahmad Gober baru saja sampai rumah setelah mabuk semalaman di ujung gang bersama dua orang kawan. Ahmad Gober terlebih dahulu memastikan teriakan itu berasal dari mana. Setelah yakin asalnya dari rumah Sumini, Ahmad Gober bergegas—meski masih sempoyongan—berjalan ke arah musala. Ahmad Gober memang mabuk, namun ia masih ingat, kira-kira setengah jam tadi, Randuse (suami Sumini) sempat menegurnya saat ia sedang meneguk gelas tuak terakhir. Sehabis itu Randuse berjalan ke musala untuk salatsalat Subuh berjama’ah.

Di musala, Randuse baru saja menuntaskan salam terakhir dan ia terperangah ketika menoleh ke belakang, wajah Ahmad Gober tepat di hadapannya. Mimpi apa anak ini semalam, pikir Randuse. Sebab ini pertama kali ia melihat Ahmad Gober ada di musala. Memang, sejak nongol dari selangkangan ibunya hingga berumur 20 tahun, sekali saja Ahmad Gober tak pernah menginjakkan kakinya di musala, apalagi untuk salat berjamaah. Ahmad Gober lebih sering mabuk, berjudi, dan nongkrong di tepi jalan.

“Mpok Iin….” Kata pertama yang keluar dari mulut Ahmad Gober. Bau tuak menyeruak. Randuse semakin bingung dan tak mengerti apa yang ingin disampaikan Ahmad Gober. Kemudian dengan pelan Ahmad Gober menceritakan apa yang ia dengar.

Randuse dalam sekejap sudah beranjak, berjalan cepat, dan keluar dari musala. Gerimis turun subuh itu. Randuse mempercepat langkahnya menuju rumah. Di rumah, Sumini ia temukan masih meraung. Perempuan itu bersandar di tepi ranjang. Keringat tampak di keningnya. Randuse memberinya segelas air putih. Dengan pelan, Randuse bertanya gerangan apa yang terjadi, dan Sumini menceritakan mimpinya sambil terisak.

“Sudahlah, itu hanya bunga tidur.” Randuse berusaha menenangkan istrinya.

“Bunga? Abang pikir ada taman di mimpi saya, ya?” ucap Sumini dengan kesal. Ia masih terisak.

“Istighfar. Lupakan saja.” Sehabis mengucapkan itu, Randuse beranjak keluar dari kamar.

Di teras rumah, Randuse menghela napas lumayan panjang. Suara tangisan istrinya masih terdengar, namun tak sekeras tadi, kali ini lebih pelan. Kalau capek juga pasti berhenti, ucap Alliuruda dalam hati. Dan benar, lima menit kemudian semua hening. Sumini tak lagi menangis. Randuse sebenarnya bingung, mengapa istrinya bisa bermimpi hal aneh semacam itu. Ia juga khawatir, apakah mimpi itu bawaan ngidam sebab istrinya tengah hamil. Ia menghela napas panjang lagi. Delapan tahun sudah mereka menikah, tak juga dikarunia anak. Pada tahun kedelapan pernikahan inilah istrinya bisa hamil. Ia sangat bahagia dengan kehamilan itu.

***

Esoknya, Randuse terbangun lima menit sebelum azan Subuh. Ia bergegas hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka sambil berwudu. Baru saja keluar kamar, suara teriakan istrinya terdengar begitu keras. Randuse langsung berbalik. Istrinya ngamuk-ngamuk di atas ranjang sembari menangis tersedu. Randuse tak tahu mesti berbuat apa. Ia coba mengambil segelas air. Baru saja ia sodorkan, istrinya menyepak tangannya. Gelas itu jatuh dan pecah. In Farliani semakin mengamuk. Randuse mencoba mendekap istrinya. Dalam dekapan Randuse, Sumini sedikit tenang; tangisannya lebih kecil. Randuse mencoba bertanya, “Ada apa lagi?”

Sembari masih tersedu dan dengan suara terbata, Sumini bicara, “Aku mimpi lagi ngelus rambut tentara Israel. Rambutnya sangat lembut. Aku bahagia sekali dalam mimpi itu.”

Randuse tak tahu harus menanggapi dengan apa.

“Bawa aku ke Israel, Bang! Bawa aku ke sana!” Sumini merengek.

Randuse masih saja terdiam. Tiba-tiba ia teringat mendiang ayahnya—namanya Mahfud Emka, namun orang-orang biasa memanggilnya Bang Geger. Dua bulan sebelum meninggal, ayahnya tiap hari meminta sejumlah uang. Bukan untuk makan, bukan pula untuk beli jajan.  Uang itu ia gunakan untuk memesan bendera Israel kepada Sarifah Al-Idrus, seorang penjahit di kampung yang mahir menjahit bendera. Kemudian, usai makan siang, ayahnya akan duduk dan membakar bendera itu. Wajahnya tampak bahagia menyaksikan bendera yang perlahan terbakar, lalu habis tak bersisa.

Randuse membayangkan, bagaimana murka ayahnya di alam kubur sana jika tahu kalau menantunya menginginkan hal yang aneh, apalagi jika ia menyanggupi keinginan istrinya untuk pergi ke Israel. Pasti almarhum akan sangat marah, pikirnya sekali lagi.

“Bawa aku ke Israel Bang, hanya untuk mengelus rambutnya sebentar saja.” Sumini kembali merengek. Tatapannya begitu pilu.

“Kita gak mungkin ke sana!”

“Kenapa tidak mungkin?”

“Bagaimana orang-orang akan berpikir tentang kita? Kau tahu sendiri, semua orang di kampung sangat benci dengan Israel. Terus tiba-tiba kita ke sana dan mengelus rambut mereka. Sangat tidak mungkin,” ucap Randuse dengan tegas.

“Aku hanya ingin memegang rambutnya saja. Bukan membantu mereka berperang. Apanya yang salah?”

“Astaghfirullah. Setan yang sudah menguasai mimpimu itu!”

“Setan? Tak mungkin ada setan. Aku rajin ibadah. Aku rajin puasa dan tak pernah suka menggunjing aib orang.”

Randuse kembali terdiam. Ia mengelus rambut istrinya sampai perempuan itu terlelap. Randuse dilanda kebingungan yang sangat. Kebingungannya bertambah hingga tiga hari berikutnya. Istrinya tak mau makan, hanya bersandar di ranjang seharian. Tak mau mandi juga. Randuse mulai khawatir bahwa itu akan berpengaruh juga pada kandungan istrinya. Tiap kali ia mendekat ke istrinya, perempuan itu akan selalu berucap, “Bawa aku ke Israel, Bang. Bawa aku ke sana!”

Randuse mulai berpikir untuk memenuhi keinginan istrinya itu. Ia mulai berpikir untuk menjual dua are tanah peninggalan ayahnya. Ia takut kalau-kalau akibat jarang makan dan sakit-sakitan, bayi dalam kandungan istrinya bisa tak selamat. Randuse berniat berkonsultasi dengan Ustad Muzakar.

***

Mulut Ustad Muzakar membentuk angka nol. Ustad itu menganga heran dan kaget mendengar cerita dari Randuse.

“Setan punya seribu satu cara untuk mencelakakan manusia. Mereka punya seribu satu rupa untuk memperdaya manusia. Setan itu masuk ke mimpi istrimu dan berusaha menyesatkannya.”

“Tapi, satu hal yang saya khawatirkan, kandungan istri saya bisa terganggu. Ustad tahu kan, bagaimana penantian panjang saya ingin punya anak?”

Ustad Muzakar mengelus jenggotnya lalu bicara, “Tuhan yang akan menjaganya. Tenang saja. Yang pasti, setanlah yang sudah masuk ke mimpi istrimu itu. Dan sangat mengecewakan jika kamu ingin mewujudkan mimpi itu. Laknat Allah akan begitu dekat.”

Randuse terdiam.

“Untung istrimu tak bermimpi mengelus rambut Fir’aun,” tambah Ustad Muzakar.

“Maaf, Pak Ustad, jika istri saya terus menangis dan gak mau makan, saya mau gak mau akan berusaha menuruti kemauannya.”

“Imanmu lemah sekali. Sangat lemah dibandingkan dengan Maskuri.”

Randuse teringat dengan sosok Maskuri, seorang lelaki yang lebih memilih minum air keran ketimbang minum air produk Israel sampai pada akhirnya ia meninggal karena diare. Orang-orang bilang kematian Maskuri adalah syahid. Namun, sebagian besar orang tak tahu bahwa Maskuri memilih minum air keran sebab memang tak pernah punya uang. Itu diceritakan langsung oleh istri Maskuri kepada Sumini dua hari selepas kematian Maskuri, juga cerita tentang berapa kali istrinya minta cerai sebab masalah ekonomi.

“Baik, Pak Ustad, saya mohon pamit,” ucap Randuse dengan sopan.

“Tunggu sebentar. Ini ada titipan dari saya,” ujar Ustad Muzakar.

Ustad Muzakar memberikan sebundel stiker dirinya yang sedang nyaleg untuk ditempel dan dibagi ke warga lain. Meski berat hati, Randuse mengambilnya.

***

Genap seminggu Sumini masih tak mau makan dan tetap meminta untuk dibawa ke Israel. Randuse sudah tak tega. Tekatnya sudah bulat menjual tanah warisan itu untuk ongkos ke Israel. Ia pun sudah menelepon Made Darsa, orang Hindu yang memang gemar mengoleksi tanah. Mereka sepakat bertemu di warung makan Mpok Sadnah.

Sehabis salat Duha, Randuse menuju warung yang sudah disepakati. Mpok Sadnah meletakkan segelas teh hangat sesuai pesanan Randuse. Dua orang lelaki tua–yang satu rambutnya semua putih dan memakai kaus merah, satunya lagi tampak keturunan Arab dan memakai peci—sedang duduk ngopi di bangku ujung warung sambil menatap TV 14 inci yang tertempel di dinding. TV menayangkan berita tentang korban anak dan perempuan di jalur Gaza.

“Memang bangsat Israel ini. Teganya membunuh anak-anak. Kalau aku jadi presiden Indonesia, kusuruh dah wargaku ikut berperang lawan Israel ini,” ucap lelaki berambut putih dan berkaus merah dengan menggebu.

“Asli setan nyata Israel ini. Gak ada hatinya. Kalau ana jadi presiden, ana akan desak PBB untuk mendamaikan mereka,” ucap lelaki tua berpeci yang wajahnya agak Arab itu dengan suara berapi-api.

Randuse terus memperhatikan kedua lelaki tadi. Sesekali ia menyeruput teh hangat yang mulai dingin di hadapannya hingga orang yang ia tunggu akhirnya tiba. Made Darsa datang bersama istrinya. Randuse terperangah melihat istri Made Darsa. Istrinya mengenakan jilbab padahal ia Hindu. Melihat raut muka Randuse, Made Darsa langsung membisikinya, “Istri saya tetap Hindu, tapi ia sedang ngidam dan sudah tiga hari belakangan ia selalu ingin berjilbab.”

“Ooohhhh….” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Randuse.

“Gak salah, kan?” tanya Made Darsa.

“Gak, kok. Gak salah,” jawab Randuse.

Dalam hati, Randuse berucap, “Kenapa gak istri saya saja yang ngidam seperti ini. Kan gampang.” Aliriuda menghela napas panjang kemudian ia mencoba bersyukur, sebab tadi pagi ia mendengar kabar bahwa Aisyah—istri Bugiali—ngidam ingin makan buah khuldi. Ia tak bisa membayangkan bagaimana repotnya suami Aisyah.

Mereka pun mulai berbicara serius tentang tanah itu. Selepas perbincangan yang lumayan alot, Made Darsa sepakat membayar tanah tersebut.

***

Tiket sudah dipesan, hari keberangkatan pun tiba. Sumini tampak bahagia. Ia mandi hampir sejam dan make up hampir dua jam. Randuse berusaha tak peduli apa pun kata orang tentang keputusannya pergi ke Israel. Sepanjang jalan, banyak tetangga menatap mereka dengan ganjil, bahkan ada yang mencemooh hingga meludah ke tanah. Mereka berusaha tak peduli. Mereka terus saja melangkah hingga akhirnya duduk di kursi pesawat.

Raut wajah Sumini tampak lelah dan tanpa sadar ia tertidur pulas. Randuse mengeratkan selimut di tubuh istrinya itu. Randuse memilih membaca buku yang sedari tadi ada di tangannya. Suasana dalam pesawat hening. Sudah banyak penumpang yang terlelap. Tiga puluh menit kemudian, tubuh Sumini bergerak-gerak dan keringat memenuhi keningnya. Ia terbangun dan menangis sendu.

“Ada apa lagi?”

“Aku bermimpi, Bang….”

“Mimpi apa lagi?”

“Aku mimpi naik pesawat mengenakan baju putih dan celana putih. Dan ketika hendak masuk ke dalam pesawat, seorang lelaki kurus tinggi yang wajahnya tak asing mencegatku dan berucap….”

“Apa yang diucapkan lelaki itu?”

“Lelaki itu bilang kalau aku memilih jalan yang sesat. Ia memintaku pulang. Kalau tak pulang, ia bilang akan mencoret namaku dari WNI.”

“Hah? Emang siapa lelaki itu?”

“Sangat tidak asing wajahnya. Mirip dengan lelaki yang sering muncul di TV dan gemar menyuruh bocah menghafal nama-nama ikan. Aku takut, Bang….” Sumini masih menangis kecil.

Randuse geleng-geleng kepala. Ia sebenarnya sangat ingin mengatakan kepada istrinya bahwa lelaki kurus yang muncul di mimpinya itu sudah tak bisa dipercaya lagi sebab sudah banyak bohongnya menurut orang-orang. Namun, ia takut ucapannya akan didengar orang sebab beberapa penumpang tampak mulai memperhatikan mereka.

“Suruh pesawatnya putar balik, Bang. Aku sangat takut. Aku mau pulang!”

“Hah? Putar balik? Kamu pikir ini cidomo? Ini pesawat!”

Sumini menangis keras dan berteriak sekencang-kencangnya, “Aku pokoknya mau pulang!”

Pandangan semua penumpang serentak tertuju ke arah mereka. Dua orang pramugari kemudian mendekat dan serempak bertanya, “Ada apa, Mbak?”

***

Majidi, Nopember – Desember 2023



Rifat Khan

Comments

  1. Ricardo Reply

    Tokoh wow semuaa

  2. Dea Marvina Reply

    Bayi yg bandel

    • Kunn Reply

      [sg1] apa maksudnya? Typo?

  3. rory Reply

    wkwkwk

  4. Sabirna hayati Reply

    karya satire cukup mengocok perut

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!