Iklan = Cerita Bergambar

Pada masa 1950-an sampai 1980-an, jutaan orang di Indonesia menobatkan diri sebagai pembaca majalah. Segala majalah diterbitkan memiliki pembaca fanatik. Majalah bercap politik, wanita, keluarga, film, olahraga, sastra, anak, musik, dan ekonomi memberi pengaruh besar dalam keaksaraan dan pembentukan selera konsumsi. Di majalah, iklan-iklan bertaburan minta perhatian. Iklan turut memungkinkan majalah terus terbit. Di mata pembaca, iklan itu rangsangan dan perintah untuk memiliki, menikmati, atau menggunakan pelbagai hal. Majalah sepi iklan pasti majalah “merana”. Dulu, majalah berlimpahan iklan justru membuat pembaca semakin girang meski tenggelam di lumpur konsumsi.

Puluhan tahun berlalu dari masa orang melulu terpikat iklan tercetak, abad XXI menuntun orang berpesta iklan beragam media. Iklan-iklan di koran dan majalah tetap berpengaruh meski mulai disaingi tatapan mata ke iklan bergerak, bersuara, dan berwarna di televisi dan internet. Iklan masih minta perhatian. Situasi mutakhir pernah dikomentari W Wibowo dalam buku berjudul Sihir Iklan (2003). Ia mengingatkan bahwa sihir iklan mencuat akibat efek jurnalisme menelikung kita di kehidupan keseharian. Ia melulu mengurusi bahasa, tak mengarah ke pemunculan iklan adalah cerita bergambar.

Pembuatan iklan tak melulu menata kata agak mengandung kebohongan. Foto para artis di iklan belum tentu melariskan komoditas. Gambar-gambar mungkin turut mengumbar imajinasi, mengarahkan mata-imajinasi pembaca ke sembarang arah demi pembenaran bujukan. Sajian iklan-iklan memikat mulai bermunculan masa 1950-an. Iklan berupa cerita bergambar pernah membesarkan Blue Band. Iklan serial bertokoh Giman, menjadikan margarin itu laris dibeli keluarga-keluarga di Indonesia, dari masa ke masa. Kita mulai mengenang Giman dalam cerita bergambar untuk menuju ke iklan-iklan tak boleh terlupakan.

Iklan dijuduli “Giman Selalu Berhasil” gampang membuat pembaca lekas paham bahwa Blue Band berkhasiat bagi bocah-bocah dalam peristiwa-peristiwa keseharian. Bocah menjadi sakti mandraguna gara-gara makan roti diolesi margarin Blue Band. Margarin terbuat dari tetumbuhan pilihan. Iklan di majalah Minggu Pagi, 27 April 1956 membuat pembaca kagum pada Giman, ingin meniru kebijakan sang ibu, dan menganggap Blue Band berarti di keluarga. Cerita bergambar itu mungkin memberi pengaruh besar ke ibu-ibu di masa lalu: “(1) Pulang tamasja membawa tanaman bunga. Giman gembira dan ibupun bangga; (2) Dikebun pajah Giman menggali lobang. Ibu menawarkan roti berlapis Blue Band; (3) Lihatlah hasil usaha ibu ini. Giman tangkas dan tjekat kembali; (4) Tanaman bungan ditanam, menghias asri. Ajah ibu bangga, tertawa berseri-seri.”

Pembaca menggeleng kepala atau mengucap pujian. Giman itu tokoh penting di masa 1950-an dan 1960-an. Keluarga Indonesia “wajib” mengenal Giman jika menginginkan memiliki anak sakti mandraguna. Segala pekerjaan atau peristiwa dialami Giman selalu ada dalam dua kondisi. Semula, lemah atau lungkrah dan capek. Pemberian roti berlapis Blue Band untuk ibu mengubah semua menjadi kuat, cepat, indah, dan bahagia.

Cerita bergambar produksi Blue Band tampil di pelbagai majalah, berharap tebar pengaruh ke jutaan orang di Indonesia. Giman itu bocah idaman. Ia berasal dari keluarga kelas menengah. Bukti paling kentara adalah kebiasaan makan roti. Ia memang memiliki peristiwa-peristiwa bersepeda, berkebun, bermain bola, dan membantu orang tua. Penampilan Giman mengesankan bocah-bocah masa 1950-an sudah ada di pengalaman menjadi modern tapi tak terlepas dari tata kehidupan khas Indonesia sedang menginginkan adonan tatanan hidup “baru”. Bapak dan ibu masih memungkinkan jadi representasi orang tua Indonesia. Bapak bekerja kantoran dengan busana necis dan ibu berpenampilan selaku ibu rumah tangga.

Pembuatan iklan berupa cerita bergambar dimuat sehalaman di majalah agak memberi keunikan ketimbang iklan-iklan pamer foto dan kata-kata abai cerita. Pilihan bentuk iklan cenderung dipengaruhi kegemaran publik pada komik. Dulu, komik mewabah. Pada masa 1950-an, orang-orang kecanduan komik atau certia bergambar tersaji di majalah atau dicetak menjadi buku. Beriklan menggunakan cerita bergambar terasa sesuai dengan situasi zaman, ingin berterima dan memicu dampak ke selebrasi konsumsi kolosal.

* * *

Pada masa 1940-an, siasat beriklan dengan cerita bergambar sudah mejeng di majalah Kadjawen edisi 5 September 1941. Pengiklan adalah Quaker Oats. Iklan bertema pendidikan, mengajak pembaca mengandaikan bocah-bocah di sekolah berkenalan dengan khasiat Quaker Oats. Ilmu diamalkan di rumah, membentuk adab baru di keluarga berselera modern. Bocah-bocah diharapkan memiliki kecerdasan dan ketangkasan setelah rajin bersantap Quaker Oats. Pada masa 1940-an, majalah Kadjawen dibaca orang-orang di Jawa dengan penguasaan bahasa Jawa dalam edisi cetak beraksara Jawa dan Latin. Cerita bergambar itu anggaplah berhasil meresapkan iklan kemodernan ke lubuk peradaban Jawa menjelang Perang Dunia II.

Iklan itu cerita bergambar dari Quaker Oats belum bisa diakui sebagai terawal dalam periklanan di tanah jajahan. Kita masih mundur lagi ke masa 1930-an. Di Kadjawen edisi 25 April 1939, pembaca terbujuk cerita bergambar persembahan Colgate’s. Iklan mungkin tiruan dari tata cara asing. Pembaca di Jawa terkesima. Para tokoh di iklan berkebangsaan asing. Mereka dari negeri jauh tapi di cerita bisa berbahasa Jawa. cerita mengenai penderita sakit gigi. Ia mendapat saran dokter untuk menggunakan “djampi gosok oentoe” bermerek Colgate’s. Saran dokter memang manjur. Penggunaan secara rutin Colgate’s membikin “tjangkem” dan “oentoe” terbebas atau terhindar dari sakit. Iklan pun berkhasiat.

Cerita bergambar ingin tebar pesona tampil pula di Kadjawen edisi 12 Mei 1939. Iklan bertokoh lelaki ditujukan ke kaum lelaki keranjingan sepakbola. Dua lelaki menonton pertandingan sepakbola. Mereka sering berteriak-bersorak. Ulah itu membuat tenggorokan sakit. Dua lelaki menonton sepakbola itu berbusana parlente. Mereka memutuskan untuk mengonsumsi permen bermerek asing ketimbang jajan es teh. Iklan mengajak para lelaki di Jawa jangan lupa membawa permen di kantong,. Permen itu “menolong” sakit tiba-tiba terasakan. Lelaki ngemut permen itu lelaki idaman.

Giman dan iklan-iklan berupa cerita bergambar di Kadjawen memastikan gejala baru pembuat iklan ingin mendapat perhatian pembaca. sejak masa 1930-an sampai 1950-an, cerita bergambar bukan sajian di rubrik penghiburan. Pembaca pun diarahkan menjadikan sajian cerita bergambar untuk menjadi manusia berhasrat konsumsi. Cerita bergambar mengenai asmara, petualangan, detektif, atau kelucuan mendapat saingan bermisi iklan-iklan komersial. Iklan jenis itu mengenalkan pengetahuan dan tatapan rupa “berlagak” baru dan datang dari negeri asing. Pemilihan tokoh-tokoh bumiputra dan keragaman penggunaan bahasa-aksara berdalih “mufakat” ribuan orang mau mengonsumsi.

* * *

Pada masa berbeda, garapan cerita bergambar mulai memancing penasaran akibat mutu gambar atau pikat bahasa dalam penceritaan. Di majalah Kartini, 11-24 Juli 1988, memuat iklan mengejutkan bagi pembaca menggemari legenda atau sempat menjadi pembaca Panji Koming buatan Dwi Koen. Iklan dari Listerin mempersembahkan iklan berjudul “Legenda Listerin: Nada Segar.”  Alkisah, dua lelaki berbeda peruntungan. Jaka Arum bersenandung dan mendapat pujian. Ia bersuara merdu dan memiliki napas segar. Penonton boleh menghirup abab Jaka Arum. Nasib sial dialami Aria Badeg. Ia pun memiliki suara merdu tapi ditinggalkan penonton. Bau mulut Aria Badeg memberi siksa tiada tara ke penonton. Merek sempat meminta pertolongan ibu berlindung dari abab termambu di dunia. Dua lelaki itu bercakap. Jaka Arum memberi saran sakti agar Aria Badeg terhindar dari ejekan dan kutukan penonton: “Menggosok gigi belum tentu mengharumkan dan menyegarkan kemerduan nada dan aroma napasmu. Berkumurlah dengan Listerine.” Iklan setengah halaman itu keren!

Iklan di majalah Kartini tak seheboh cerita bergambar di majalah Intisari edisi Agustus 1980. Nasib lelaki bergantung dari wajah. Keinginan mendapatkan pekerjaan sulit terwujud bagi lelaki berwajah tak bersih, wajah brewokan. Di mata para majikan, brewokan itu mengganggu mata atau tak memenuhi dasar-dasar penerimaan pegawai baru. Anwar dan Tono mencari pekerjaan. Anwar terlebih dulu diterima di perusahaan. Ia berpenampilan rapi dan bersih. Tono belum bernasib baik. Sedih disembuhkan nasihat terbijak dari Anwar agar Tono membersihkan atau mencukur berewok dengan alat cukur dan silet Goal. Penampilan bersih mungkin menjadi penentu nasib baik saat melamar pekerjaan di pelbagai perusahaan. Nasihat itu benar! Tono mendapat pekerjaan. Di akhir cerita, Tono berbusana bersih dan rapi. Wajah semringah. Lelaki berdasi itu membuktikan saran Anwar, bergantian memberi nasihat ke para pembaca: “Kini, akupun sudah bekerja berkat Goal. Setiap pria seharusnya mencukur dengan Goal setiap hari.”

Dua cerita bergambar meminta perhatian dan mufakat dari kaum lelaki seantero Indonesia. Janganlah menjadi lelaki bernapas bau dan berewokan! Lelaki bernasib untung dianjurkan mengubah tata cara hidup. Mulailah berkumur dengan Listerine. Rajinlah mencukur dengan Goal! Para lelaki masa 1980-an digoda mendefinisikan (ulang) diri dengan pujian, rezeki, dan pembenaran adab bentukan rezim Orde Baru. Kerapian, kebersihan, keharuman, ketertiban itu amalan dari perintah-perintah politis bercampur nalar bisnis.

* * *

Kita mundur lagi ke masa 1970-an, gerak ke belakang mengingat definisi lelaki sering dipermalukan gara-gara panu. Di Indonesia, kaum lelaki berpanu itu menodai agenda pembangunan nasional. Modernisasi rusak oleh kulit lelaki berpanu. Indonesia wajib bebas dari panu, malu pada negara-negara besar memiliki paham kebersihan dan kesehatan. Kaum lelaki Indonesia malah kolektor panu. Memalukan! Pokok-pokok pembangunan nasional dan peraturan pemerintah belum menjadikan panu adalah masalah terbesar penghambat pembangunan nasional. Pengabsenan itu diisi oleh pabrik obat dengan mengumumkan bahwa Kalpanax mujarab memusnahkan panu dari Indonesia.

Iklan kocak dan pedih bertema panu dimuat di majalah Intisari edisi Maret 1976. Ada 6 cerita bergambar ditaruh di beda halaman. Pembaca tentu kaget saat berjumpa lelaki berpanu adalah tokoh mendapat olok-olok. Lelaki mengoleksi panu perlahan dijadikan masalah besar di Indonesia. Kalpanax tak ingin Indonesia diejek oleh Singapura, Thailand, Prancis, Belanda, Belgia, Kolombia, dan Maroko mengacu ke data lelaki berpanu masih jutaan. Pemberantasan lelaki berpanu itu bermisi melindungi Indonesia dari seribu ejekan.

Di halaman 66, lelaki dipermalukan secara terbuka. Percakapan ibu dan gadis berpacar lelaki memiliki panu: “Ibu nggak senang kau punya pacar lelaki hidung belang”; “Orangnya baik, Bu. Yang bikin belang hidungya karena di ujung hidungnya ada panunya”; “Kalau cuma itu lenyapkan dengan olesan Kalpanax.” Nasib lelaki itu bergantung Kalpanax. Pakailah dan berharap panu di hidung hilang! Berpacaranlah dengan restu ibu pemberi saran paling sakti! Panu itu aib. Lelaki wajib dipermalukan jika berpanu.

Kita masih membuka Intisari. Di halaman 114, cerita bergambar lucu banget. Kini, orang-orang suka melihat pertandingan tinju atau pertarungan bebas kadang menggunakan unsur-unsur di gulat. Pada masa 1970-an, gulat itu olahraga mengisahkan lelaki gagah dan perkasa. Definisi runtuh oleh panu. Dua pegulat berdebat dengan sumber perkara panu. Pegulat melapor ke juri: “Juri, saya nggak mau bertanding gulat sama dia, habis dia panuan. Takut kulit saya ketularan.” Keluhan diterima juri. Semua demi martabat kaum lelaki di Indonesia. Nasihat bijak dari juri pada pegulat panuan: “Baik, pertandingan ditunda dulu, sementara kau menghilangkan panumu dengan olesan Kalpanax.” Duh!

* * *

Segala ingatan cerita bergambar di periklanan majalah masa 1930-an sampai 1980-an memunculkan konklusi: pembaca di Indonesia berlaku sebagai “bocah” dalam memahami segala hal bergantung gambar dan cerita. Mereka bakal terbujuk dan terjerat. Pembesaran nalar-imajinasi konsumsi terpicu cerita bergambar. Kita bisa membenarkan dengan membaca pelbagai hasil penelitian terbit menjadi buku berjudul Psikologi Ekonomi dan Konsumen (2005). Buku terbitan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, itu terlambat terbaca untuk mengerti pikat cerita bergambar masa lalu. Kita pastikan orang-orang terpengaruh dengan iklan berupa cerita bergambar untuk upacara konsumsi tiada henti.

Kita tak usah kelabakan dalam pemaknaan cerita bergambar di majalah-majalah bertugas menjadi iklan. Bukalah buku-buku garapan Marcel Boneff, Seno Gumira Ajidarma, dan Hikmat Darmawan. Mereka rajin meneliti komik, kartun, dan karikatur. Buku-buku mereka ampun, berpengaruh secara akademik dan mengesahkan orang tetap menjadi kolektor komik. Buku-buku mereka belum terlalu penting digunakan dalam mengkliping dan mencari penjelasan Indonesia di iklan-iklan memilih bentuk cerita bergambar. Kita mengingat dan melihat (bersama) saja tanpa keseriusan akademik atau sangkaan estetika. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!