Imajinasi yang Subversif dan Pencarian Jati Diri

 

Judul               : Dongeng Pulau Tak Dikenal

Judul Asli        : O Conto da Ilha Desconhecida

Pengarang       : Jose Saramago

Penerjemah      : Ronny Agustinus

Penerbit           : Circa

Cetakan           : Pertama, April 2019

Tebal               : 51 halaman

ISBN               : 978-623-9008-74-1

Tidak sedikit penulis yang mencoba menulis cerita sebagai upaya kritik terhadap penguasa. Sebagian dari mereka menuliskannya dengan begitu satire, bahkan sangat simbolis. George Orwell, misalnya, menorehkan kisahnya dengan indah melalui fabel Animal Farm dan Claudio Orego Vicuna dengan Kenang-Kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub. Sebagian yang lain, ada yang secara sarkastis mengkritik penguasa. Dongeng Pulau Tak Dikenal karya pemenang nobel tahun 1998 ini satu di antara sekian banyak yang mengkritik penguasa dan sistemnya dengan demikian sarkas.

Novela ini terbit pertama kali dalam bahasa Portugal dengan judul O Conto da Ilha Desconhecida pada tahun 1997, saat Saramago berusia 72 tahun, dan mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dua tahun setelahnya. Dalam terbitan pertamanya, novela ini terbit sebagai sebuah cerita pendek tunggal sebagaimana The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Jika dibandingkan dengan Lelaki Tua dan Laut-nya Hemingway, cerita ini jauh lebih pendek. Namun, dalam versi terbitan bahasa Indonesia—sebagaimana Lelaki Tua dan Laut-nya Hemingway—Dongeng Pulau Tak Dikenal terbit sebagai sebuah novela, yang oleh penerbit ditegaskan sebagai kisah yang ditulis lebih panjang dari cerpen tapi lebih pendek dari novel.

Terbit lima belas tahun setelah Baltazar and Blimunda (terbit pertama kali dalam bahasa Portugal tahun 1982), Dongeng Pulau Tak Dikenal mengusung semangat perlawanan yang serasa dan tidak susut sama sekali. Seperti Baltazar and Blimunda, Saramago menggambarkan penguasa dan sistem hierarki sebagai sesuatu yang jahat, membatasi kebebasan dan cenderung destruktif.

Melalui tokoh “Seorang Lelaki”, Saramago menyerukan perlawanan terhadap sistem hierarki penguasa yang kaku dan berbelit-belit. Raja digambarkan sebagai sosok yang lebih suka menerima pemberian dari rakyat dibandingkan mendengarkan keluhan rakyatnya. Karenanya, Raja lebih sering berada di depan pintu hadiah dari pada pintu petisi, ruang rakyat menyalurkan aspirasi. “…mana kala ia dengar ada yang menegetuk pintu petisi ia akan pura-pura tuli.”

Bukan hanya senang menerima hadiah dan pura-pura tuli saat ada ketukan pada pintu petisi, Raja juga tidak mau menemui rakyat walau sekadar bertatap muka. Ia lebih memilih memerintahkan orang-orang bawahannya untuk menemui rakyat. Sistem birokrasi yang berbelit-belit demikian inilah yang dilawan oleh tokoh utama cerita ini.

Menurut Albert Camus, satu-satunya jalan untuk berhadapan dengan dunia yang tidak bebas adalah menjadi sepenuhnya bebas; sehingga keberadaan kita hakikatnya adalah tindakan pemberontakan. Pandangan Camus inilah yang dilakukan Seorang Lelaki, tokoh utama cerita ini. Satu-satunya cara yang ia gunakan untuk menghancurkan sesuatu sistem yang kolot dan kaku adalah dengan berlaku kolot dan kaku terhadap sistem itu sendiri. Berlagak masa bodoh terhadap aturan dan memberontak.

Dan kau itu siapa sampai aku harus memberimu kapal, Dan Anda itu siapa sampai menolak saya (?) Bantah Seorang Lelaki kepada sang Raja. Tokoh utama novella ini seseorang yang subversif, kolot dan pembangkang. Ia melanggar aturan-atauran yang berlaku. Di luar semua itu, kepalanya dipenuhi khayalan tentang pelayaran menuju pulau tak dikenal.

Meskipun terlihat main-main dengan idenya, perlawanan yang dilakukan tokoh kita tidaklah main-main. Ia tidak perlu mengangkat senjata sama sekali untuk sekadar memorakporandakan aturan kerajaan. Ia hanya mengandalkan imajinasi. Terdengar lucu memang, namun di sinilah pukulan telak Saramago dalam buku kecil ini, bahwa imajinasi, angan-angan, khayalan bisa demikian berbahaya dan dapat mengalahkan segalanya; penguasa yang otoriter sekalipun.

Pengelanaan Diri

Bagaimana kita menceritakan sesuatu yang sama sekali tidak dikenal? Mungkin kita akan membayangkan sesuatu yang sama sekali asing, tidak jamak adanya, unique. Namun, apakah gagasan itu sudah cukup untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dikenal itu? Melaui Dongeng Pulau Tak Dikenal, Saramago mengajak pembaca berangan-angan tentang sesuatu yang asing, tidak dikenal. Benarkah ada sesuatu yang tidak dikenal?

“Tapi bagaimana soal pulau tak dikenal, Tanya lelaki di kemudi, Tak ada pulau tak dikenal selain sebagai ide di kepalamu.” (hal. 46)

Dongeng Pulau Tak Dikenal mengajak kita menyelami di kedalaman diri sendiri, mencari sesuatu yang asing dan—barangkali—tidak dikenal: kesejatian diri. Dengan caranya sendiri, Saramago memaparkan jalur lain untuk menemukan jawaban dari pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia: siapa aku? Jawaban Saramago gamblang, Bahwa kau harus meninggalkan pulau guna melihat pulau, bahwa kita tidak bisa melihat diri sendiri kecuali kita terbebas dari diri sendiri. (hal. 35)

Namun, persoalan mendasar tentang pencarian jati diri bukanlah soal cara mencarinya, melainkan kemauan dan keberanian: maukah kita menemukan diri kita, dan beranikah kita menemukan diri kita yang paling asing sekali pun?

Keterkungkungan yang dialami si Perempuan dalam novela ini adalah hal yang jamak dialami oleh umumnya manusia dari masa ke masa yang hidup dalam lingkaran pemerintahan. Dan selama kekuasaan digunakan untuk memberangus kebebasan rakyat, pemberontakan akan selalu muncul. Orang-orang seperti tokoh Seorang Lelaki akan selalu ada, dari zaman ke zaman. [ ]

Tuban, Oktober 2019

Umar Affiq

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!