Di Jawa, bubur ada dalam pelbagai ritual. Bubur dengan sekian rasa, cara sajian, dan warna memberi tanda-tanda atas selera upaboga dan kemauan mencipta tata hidup: kebersamaan, kerukunan, dan kemakmuran. Bubur-bubur dibuat dan disantap di naungan makna religius dan etis, tak melulu urusan perut lapar. Penamaan bubur dan pilihan waktu untuk membuat mengartikan ada kesadaran-kosmis dan perhitungan kepatutan sesuai patokan-patokan Jawa.
Di luar ritual, bubur itu dagangan. Berdagang bubur berkaitan nafkah. Di desa dan kota, penjual bubur meladeni orang-orang ingin bersantap dan berbagi rezeki. Di pinggiran Solo, bubur khas dinamakan bubur lemu. Di tatapan mata, bubur itu berwarna putih. Bubur terbuat dari nasi dan santan dalam “keenceran”. Bersantap tanpa susah. Orang-orang biasa bersantap bubur lemu saat pagi. Bubur mengingatkan pula orang-orang sedang sakit susah makan. Bubur lemu sering jadi pengganti nasi biasa atau “jawaban” agar penderita sakit lekas sembuh.
Bubur lemu disajikan di pincuk (wadah dibuat dari daun pisang) atau piring mulai tersaingi kemunculan para penjual bubur dengan cap ayam dan kota-kota. Di Solo, kita mudah menemukan para pedagang berwarung atau bergerobak pasang pengumuman: bubur ayam. Di belakang sebutan ada nama kota: Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Kita malah sulit menemukan tulisan “bubur ayam Solo”. Para pedagang memberi arti pagi dengan bubur. Orang-orang berdatangan untuk makan bubur. Di sekitar kampus UNS dan UMS, para pedagang bubur meladeni para mahasiswa berlagak ingin makan bubur dan “kota”. Mereka mungkin berasal dari Solo atau kabupaten-kabupaten sekitar, memilih makan bubur bercap kota berbeda ketimbang memilih bubur lemu.
Pedagang berbeda pun tawarkan bubur-bubur khusus dan nasi tim bagi ibu-ibu. Di pinggir jalan besar atau sekitar perumahan-perumahan di Solo mulai mangkal gerobak-gerobak apik dijaga para ibu. Di situ, orang-orang bisa membeli bubur atau nasi tim jika tak mau memasak sendiri di rumah. Membeli dengan duit 5 atau 10 ribu rupiah, mereka sudah bisa memenuhi hak bayi atau bocah sarapan bubur dan nasi tim. Pagi hari milik bayi atau bocah mengesahkan perdagangan bubur dan nasi tim. Ibu mereka bepredikat pembeli, bukan pemasak. Predikat ditambahi saat mereka mendulang.
Segala cerita mengenai bubur itu belum ditulis para pesajak di Indonesia. Pada 2016, terbit buku berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari, berisi puisi-puisi gubahan Cyntha Hariadi. Ia belum menulis keputusan ibu tak memasak tapi melulu membeli bubur dan nasi tim. Adegan mendulang masih ada di puisi meski kebablasan ke filsafat-pengasuhan. Kita sajikan petikan dari puisi terakhir berjudul “Ibu Mendulang Anak Berlari”. Cyntha Hariadi suguhkan hubungan ibu-anak: Sampai anak besar pun, ibu mendulang/ bukan nasi, tapi wejangan/ seakan ibu tahu yang terbaik, setiap wejangan/ disajikan di sendok nasi. Pembaca jangan terlalu ingin membaca bubur di buku puisi. Si pesajak pun belum mau menaruh bubur-bubur saset pernah beriklan meriah di majalah-majalah masa lalu.
* * *
Kaum ibu adalah sasaran pembuatan bubur dan nasi tim saset dan pengiklanan menebar seribu janji-khasiat. Kita mulai membuka majalah-majalah wanita dan keluarga masa 1980-an. Iklan-iklan sering hadir dan membentuk imajinasi kasih ibu mendulang bayi atau mengadakan santapan di meja makan bagi keluarga.
Di majalah Kartini edisi 17-30 September 1990, iklan berwarna dan sehalaman dari Nastika. Ibu memandang iklan dengan takjub. Lihatlah, ada tatanan sayuran: bayem, wortel, tomat. Ada juga nasi dan daging sapi. Semua itu bahan bagi ibu mau memasak nasi tim? Ibu saat menjadi pembaca majalah tak usah kebelet jadi pemasak. Ibu cukup membaca keterangan di iklan: “Membuat nasi tim selengkap ini kini sangat mudah.” Para ibu diharapkan memahami keterangan mendulan anak dengan nasi tim itu “mudah”. Ibu jangan memasak, membeli saja nasi tim dalam saset. Konon, membeli itu mudah ketimbang memasak. Di dapur, peristiwa memasak bakal ribet. Ibu membeli Nastika sudah bisa mendulang anak, menghilangkan lapar dan berharap anak tumbuh sehat-kuat.
“Nasi tim diakui para ahli sangat tepat sebagai makanan lanjutan setelah bubur susu. Selain gizinya lengkap, nasi tim memiliki kepadatan ideal untuk melatih otot rahang bayi yang sangat menentukan kemampuannya dalam belajar berbicara,” tulis di iklan. Nastika ingin memenuhi segala hal bagi anak dan memudahkan kaum ibu. Bacalah tata cara termudah membuat nasi tim tanpa capek: “Kini gunakan cara mudah dalam menyiapkan nasi tim lengkap: Ambil Nastika, rendam sebentar di air panas, buka bungkusnya, tambahkan air matang sesuai selera dan berikan kepada si kecil tercinta.” Mudah! Anak itu kelak bertumbuh besar tentu berhak mengenang dihidupi ibu dengan makanan kemasan dibuat secara mudah, bukan mengenang ibu memasak di dapur, setelah belanja dari warung sayur.
Pada majalah berbeda, kaum ibu masih mendapatkan kemudahan demi membuat anak sehat dan kuat. Bukalah majalah Sarinah, 1-14 April 1985. Iklan besar memuat foto dua ibu dan satu bayi di timbangan. Foto dilengkapi penjelasan: “Keputusan anda sekarang sangat penting bagi bayi anda.” Pembaca mungkin ingin menuntut penjelasan rinci mengenai “keputusan”. Pembuat keputusan adalah kaum ibu. Apa keputusan mereka? Mereka membeli bubur bayi bermerek Farley. Bubur dalam kemasan kaleng, bubur bisa dibuat dadakan.
Hal-hal penting bagi pembuat keputusan: “Dan pilihan yang anda ambil saat itu dapat mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan kebahagiaan anak anda. Bubur bayi Farley diformulasikan untuk memudahkan proses pengenalan makanan padat, sambil membina dasar untuk pertumbuhan anak anda di hari depan.” Pilihan pada bubur itu dikuatkan penentuan bahagia dan masa depan. Kaum ibu pada masa 1980-an mungkin sempat bimbang sebelum membuat keputusan terpenting dalam hidup. Ia mungkin berdiskusi dengan dokter, keluarga, dan sahabat. Bubur itu urusan penting, tak boleh diputuskan secara gegabah dan abai argumentasi. Keputusan membeli bubur dalam kaleng dianggap “tepat”. Ibu tepat memilih makanan sehat.
Indonesia sedang memastikan pembangunan nasional dilaksanakan lancar dan berhasil. Kaum ibu memberi andil bagi kesuksesan pembangunan nasional dengan peran mengasuh, mendulang, dan membesarkan anak-anak agar kelak berguna bagi bangsa-negara. Indonesia ingin memiliki generasi cerdas, kuat, dan sehat agar pembangunan nasional semakin cemerlang. Ibu-ibu itu penentu. Pola mengasuh dan memilihkan makanan bagi bayi anggaplah usaha berkaitan ke pembangunan nasional.
Majalah Kartini, 21 Agustus-3 September 1989, memuat iklan ingin membantu para ibu dalam memenuhi keinginan menjadikan bayi mereka cerdas dan sehat. Iklan dengan tokoh bayi bertubuh sehat-kuat. Wajah pun semringah. Tatapan mata bening. Adegan mengesankan bayi itu lincah. Iklan itu seperti jawaban di soal ujian bagi ibu-ibu ingin sukses sebagai teladan di zaman pembangunan nasional. Jawaban dirinci dengan deretan kata: “6 alasan baru mengapa bayi Cerelac tumbuh lebih sehat lebih cerdas.” Bubur susu bermerek Cerelac itu memberi bujukan ke ibu agar membuat keputusan paling tepat. Di kemasan saset, kardus, dan kaleng, ibu boleh menawarkan ke bayi sekian rasa: dari beras merah sampai pisang.
* * *
Bubur tak selalu bertokoh bayi. Kaum dewasa pun ketagihan bubur. Pada saat Soeharto dan para pejabat seantero Indonesia melakukan propaganda agar jutaan orang makan nasi, keluarga-keluarga berduit justru dibujuk bersantap bubur. Mereka menjadikan ungkapan lawas terasa resmi tanpa memusuhi nasi: “Nasi telah menjadi bubur.” Semula, orang di pelabagai desa dan kota memiliki menu-menu khas. Pemerintah ingin semua makan nasi demi mengagungkan swasembada pangan. Mimpi besar cuma memiliki diksi padi-beras-nasi. Soeharto mustahil berpidato dan memberi seribu perintah bertujuan swasembada bubur.
Kita menemukan dua iklan di majalah Kartini edisi 5-18 Oktober 1987. Iklan dari Cerebos mengajak keluarga-keluarga Indonesia makan bubur ayam. Makanlah dengan lahap! Makanlah dengan sukacita tiada tara! Makanlah demi kenikmatan telah dicipta dengan ilmu dan teknologi! Keluarga Indonesia makan menggunakan mantra terbaru berupa “secepat” dan “selezat”. Pemberitahuan dari Cerebos: “Bubur ayam Cerebos terhidang secepat dan selezat yang anda inginkan.” Di atas kalimat, gambar sepiring bubur bisa dimakan secara imajinatif oleh pembaca sudah kelaparan. Bubur tetap terbuat dari nasi.
Keluarga Indonesia ingin bubur bukan terbuat dari nasi? Keinginan itu bisa dipenuhi oleh Quaker Oats. Di Kartini, 5-18 Maret 1990, dua halaman iklan Quaker Oats diawali kalimat menggiurkan: “Hmm… tak pernah makan pagi selezat ini.” Sajian iklan itu meriah dengan gambar jam dinding menandai pagi, sayuran, dan piring berisi bubur. Pembaca pun melihat gambar jagung, kelapa, gula jawa. Iklan bertaburan pesona. Penjelasan jangan terlewati: “Quaker Oats terbuat dari gandum alami. Kaya akan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Jadikan makan pagi anda sekeluarga lebih asyik menyenangkan mulai hari ini.” Dulu, orang menduga bubur itu tentu tak berharga murah. Bubur datang dari negeri asing.
Makan bubur ingin mendapat hadiah? Orang-orang Indonesia sering bermimpi hadiah dari kebiasaan belanja apa saja. Keluarga Indonesia rajin bersantap bubur berhak mendapat hadiah. “Gratis mangkuk serbaguna Maggi untuk setiap pembelian bubur ayam Maggi kemasan promosi isi 6 bungkus,” kalimat tercantum di iklan dalam majalah Kartini, 5-18 Maret 1990. Setiap hari, keluarga Indonesia makan bubur? Jutaan orang tetap makan nasi atau jenis makanan pokok sesuai adat atau ajaran leluhur. Iklan itu tak mengabarkan bubur adalah makanan inti: “Semua senang pulang untuk bubur ayam Maggi setelah berolahraga, sehabis belanja, setelah mengikuti berbagai kegiatan ataupun selagi santai. Bubur ayam Maggi, makanan sehat penuh gizi yang pas sebagai pengganjal perut, di antara jam makan.”
* * *
Cerita masa lalu mengenai bubur dan keluarga Indonesia belum sejarah paling berkesan. Indonesia masih ingin berjuluk negeri nasi, bukan negeri bubur. Keinginan memiliki masa lalu itu berbeda dengan berita terbaru berasal dari Korea Selatan. Orang-orang di negara membikin gandrung jutaan orang di Indonesia itu dilanda frustrasi kolosal. Obat bagi mereka bukan didapatkan di rumah sakit. Jawaban dari frustrasi adalah penjara. “Tapi, sejak 2008, para pekerja dan pengusaha Korea Selatan justru pergi ke penjara untuk melepaskan diri dari rutinitas atau tekanan,” petikan dari berita di Jawa Pos, 24 November 2018.
Mereka masuk ke penjara ingin reda dari penat. Keinginan masuk penjara harus memenuhi pelbagai peraturan. Penghuni wajib mengeluarkan duit senilai 1,3 juta per hari. Penghuni meninggalkan alat komunikasi di luar penjara. Di kamar kecil, penghuni wajib berbusana khas narapidana. Penghuni seperti terpisah dari keriuhan dan pekerjaan. Di kamar, penghuni itu merenung tanpa hiburan televisi. Di kamar, cuma ada minuman, pulpen, dan buku.
Pilihan menjadi penghuni penjara berakibat gagal mendapat makanan lezat. Di penjara, ia cuma mendapat sepiring bubur untuk sarapan. Kita menduga bubur itu masakan petugas penjara, bukan bubur saset berasal dari pabrik. Bubur “sangat sederhana”, tak sesuai iklan-iklan bubur di majalah atau televisi. Bubur pun berperan bagi orang-orang menanggung penat di Korea Selatan. Di Indonesia, pilihan masuk penjara dan bersantap bubur mungkin lelucon murahan dan hampir kemustahilan. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022