Indonesia yang Membelum

artitute.com

kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan

Kutipan sajak bertajuk “Maskumambang” milik WS Rendra di atas yang menurut beberapa catatan digubah sepascareformasi tampaknya masih relevan dengan keadaan kita masa kini. Rendra dengan sangat tajam menusuk jantung kalbu kebangsaan dan sanubari kenegaraan. Di depan puisi Rendra kita nyatanya tak berdaya, atau bahkan tidak merdeka untuk menentukan pilihan, perencanaan, dan juga rancangan apa yang kita lakukan untuk bangsa ini.

Nyatanya kita tidak pernah serius untuk dengan sungguh-sungguh menggali arkaisitas arkeologik nenek moyang bangsa kita. Kenusantaraan kita yang kita bangga-banggakan berhenti hanya sebatas narasi yang membual-bual tanpa dibarengi dengan usaha yang berarti untuk menengok lebih dalam siapa sesungguhnya sejatinya bangsa kita.

Sesungguhnya gagasan untuk mempersatukan Nusantara sudah digagas sejak zaman Majapahit. Tercatat bahwa usaha mempersatukan kepulauan Nusantara sudah sejak abad ke-14, bahkan gagasan tersebut bukan saja ingin menyatukan Nusantara yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia, namun lebih dari itu juga mencakup wilayah semenanjung Malaya.

Mpu Prapanca dalam Negarakertagama mencatat bahwa Nusantara era Majapahit dibagi menjadi empat bagian: Tanah Melayu, Pulau Tanjungpura, Sekahawang Pahang, dan negeri sawetan ikangan pulau Jawa (sebelah timur pulau Jawa).

Majapahit runtuh dan sejarah membawa kita menuju abad ke-20 saat segolongan kaum terpelajar didikan barat menggagas persatuan pulau-pulau di Nusantara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Besar kemungkinan hal itu disebabkan karena motor penggerak gagasan menyatukan kembali Nusantara adalah mereka yang memiliki pola pikir daratan yakni mereka yang dibesarkan oleh tradisi berpikir khas orang-orang Eropa yang daratan-sentris bukan berpola pikir maritim. Di benak orang-orang yang berpola pikir daratan yang ada di batok kepala mereka hanyalah tidak lebih berkisar tentang bagaimana caranya membentuk sentralisasi kekuasaan, sentralisasi nilai-nilai, dan sentralisasi sosial, dengan membentuk kesatuan yang bersifat ekspansionis: perluasan wilayah, perluasan kekuasaan, perluasan tata nilai, yang semua itu bertujuan untuk mencapai satu kesatuan monolitik.

Pola pikir seperti ini sesungguhnya bukan tanpa persoalan, sebab kelak kita akan tahu betapa pola pikir daratan-sentris memaksa kita untuk terjerumus pada langkah dan kebijakan yang keliru atau bahkan salah. Pola pikir daratan-sentris masuk menyelusup menjadi ruh bawah sadar kita hingga berbahasa pun kita menggunakan pola pikir orang daratan. Ambil contoh misalnya lema mudik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik memiliki dua arti: 1. Berlayar ke udik 2. Pulang ke kampung halaman. Makna pertama: berlayar ke udik adalah bukti bahwa sesungguhnya lema mudik itu lema masyarakat maritim. Masyarakat daratan datang dengan budaya urbanisasi dan kemudian secara sosiolinguistik memantik lahirnya makna mudik sebagai pulang kampung.

Alam bawah sadar kita dewasa ini akan secara otomatis dan naluriah memilih makna kedua yakni pulang ke kampung halaman ketika mendengar lema mudik. Kelak kita akan sedikit bisa memafhumi mengapa pemerintah getol membangun proyek jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pula Jawa dengan Pulau Sumatera yang itu muradif dengan meneguhkan pembangunan berbasis pola pikir daratan-sentris di atas pola pikir lautan atau maritim.

Jakob Sumardjo (2007) dalam bukunya Akar Budaya Indonesia: Masyarakat Peramu mengatakan bahwa sejak dahulu kala kepulauan khatulistiwa yang kemudian hari kita kenal dengan nama Indonesia ini merupakan lalu-lintas budaya lokal maupun global. Apa yang dikatakan Jakob semakna dengan hasil penelitian Denys Lombard (1996) yang dibukukan dalam Nusa Jawa Silang Budaya. Lombard mengatakan bahwa budaya dari bangsa-bangsa Asia Tenggara, India, Timur Tengah, Cina, dan juga Eropa, silih berganti memasuki Indonesia, yang semuanya itu berujung pada “konglomerasi budaya”. Sejak dahulu pula suku-suku bangsa Indonesia sering saling-silang budaya. Indonesia, meminjam bahasa Jakob, adalah campur aduk adonan budaya-budaya.

Posisi yang demikian itu membuat Indonesia menjadi negara yang primadona. Ia multikultur sekaligus kosmopolit. Apalagi Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa yang menyimpan sejuta rempah atau dalam terminologi yang keliru sering disebut sebagai Jalur Sutra.

Berkiblat ke Barat

Hari ini, saat usia republik sudah menjelang tiga perempat abad, persoalan kita seolah tetap menggurita: mengapa rakyat tak kunjung berdaulat? Sistem pemerintahan kita sudah silih berganti. Masyarakat Nusantara dalam lintasan panggung sejarah setidaknya pernah hidup di bawah sistem monarki dan juga sekaligus demokrasi dengan pelbagai variannya: parlementer dan juga presidensial, namun nyatanya rakyat masih hidup dengan kedaulatan yang seolah dikebiri.

Dalam konteks ini, laik bagi kita untuk merenungkan analisis Remy Sylado (2009) yang menyatakan bahwa ketiadaan daulat rakyat di Indonesia sampai dewasa ini disebabkan oleh kita tercerabut dari akar kenusantaraan. Watak sebagai manusia Nusantara sudah jauh kita tinggalkan. Kiblat kita hari ini adalah Barat yang kita puja sebagai bangsa-bangsa yang maju. Bahkan, lambang negara kita pun—burung Garuda—menghadap ke barat yang secara semiotik bagi sebagian orang itu merupakan petanda dan terlalu gegabah untuk dikatakan sebagai sebuah ketidaksengajaan.

Kita tidak pernah berkaca, atau bertanya skeptis, jangan-jangan secara psikologis watak masyarakat Nusantara ini lebih cocok dengan kultur monarki. Pertanyaan bernada gugatan ini berasal dari mereka yang menyatakan bahwa jika melihat bangsa serumpun sekeliling Indonesia: Malaysia, Brunei, dan Thailand misalnya sampai hari ini mereka masih bersetia pada sistem pemerintahan monarki.

Namun apa pun sistemnya jika daulat rakyat tidak dihargai maka yang kita reguk niscaya ketimpangan dan ketidakadilan belaka. Inggris, betapapun memberi contoh bagi kita. Saat kita gemar bergonta-ganti sistem pemerintahan, Inggris dengan istikomah tetap mempertahankan monarkinya sembari pelan-pelan menjadikan daulat rakyat di atas segalanya.

Keadaan yang demikian itu semua dalam bahasa Rendra “karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca masa lalu”.

Fariz Alniezar
Latest posts by Fariz Alniezar (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!