Jadi Perempuan Memang Repot; Mengintip Lingkaran Setan yang Seksis

Jadi Perempuan Memang Repot; Mengintip Lingkaran Setan yang Seksis
Sumber gambar terrampacis.org

Sebagai eks mahasiswi teknik nuklir sastra, penyantap wacana feminisme di masa kuliah, otak saya akhirnya terikat arus pemikiran yang berdefinisi sebagai sebuah ideologi dan pergerakan yang menginginkan adanya kesetaraan perempuan dari dominasi kaum laki-laki dalam hal hak politik, ekonomi, budaya, personal, dan sosial di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Saat itu, perempuan hanyalah golongan kelas dua yang tidak banyak memegang peranan, hingga Emmeline Pankhurst menjadi salah satu dari sekian aktivis yang memperjuangkan sebuah level kesetaraan.

Wacana mengenai feminisme sama sekali tidak akan masuk dalam otak seorang perempuan yang merestui kekuasaan patriarki yang terpatri kuat semenjak zaman nenek moyang, bahkan menganggap ini sebagai sebuah kedurhakaan kaum perempuan tidak tahu diri. Sejatinya, perempuan sudah demikian posisinya, kelas dua, kelas yang manutan. Maka, jangan heran jika keinginan mengukuhkan independensi perempuan tidak berhasil seluruhnya. Perempuan terbagi dua kubu. Pro dan kontra.

Sebagai seorang mahasiswa yang penuh rasa ingin tahu, buat saya feminisme adalah dunia yang penuh godaan, tidak terjamah oleh banyak tangan, perempuan saja ada yang memandangnya bak najis yang kotor. Sekali menyentuh, dua tiga pulau terlewati ada daya magnetik besar yang terus menarik sampai sulit mundur kembali. Perempuan-perempuan Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia semuanya bersusah payah menjual harta dan menomorduakan keluarga demi satu kemenangan nan jauh di sana. Cara berpikir para feminis ini sangat berbeda. Tidak grasa-grusu.

Seiring dengan berjalannya waktu, esensi perjuangan itu sudah tidak menarik lagi buat saya. Bukan, bukan karena saya merasa semuanya sia-sia belaka dan perempuan tetaplah menjadi kelas dua dan patriarki adalah takdir Tuhan yang tak dapat diubah. Sederhana, perempuan itu semenjak penciptaannya saja bukan untuk mendepak kenomorsatuan kaum Adam. Perempuan tidak seterjajah itu kok. Perempuan adalah perempuan, laki-laki adalah laki-laki. Perempuan ibarat kepingan yang akan melengkapi sebuah puzzle. Puzzle itu dunia, bukan laki-laki. Laki-laki juga hanya kepingan puzzle yang lain. Santai sajalah, terjajah itu boleh jadi hanya sebuah sudut pandang.

Ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan, maka itulah posisi terjajah. Jika Tuhan dahulu membalik sejarah Adam Hawa, di mana Hawa meminta teman lalu diciptakan Adam, bisa jadi nanti turunan Adamlah yang menjadi aktivis maskulinisme. Sama ribetnya toh.

Saya jadi teringat dengan penolakan masyarakat Sisilia atas masuknya komunisme dan sosialis karena satu hal, dianggap akan merusak hangatnya persaudaraan antara keluarga. Kepentingan partai akan menjadi prioritas. Agama menjadi kesekian, bahkan dikhawatirkan musnah. Itu hanya bagian kecil saja dari konflik cerita The Sicilian karya Mario Puzo yang sedang saya baca. Intinya, akan ada dampak dari masuknya sebuah isme baru, terlebih yang bersifat radikal/liberal.

Bagi saya, ada hal yang lebih penting ketimbang rebutan kesetaraan yang tiada habisnya. Yah, media massa zaman sekarang yang makin semena-mena. Ibarat tangan Lucifer yang menggenggam benih-benih kerusakan, siap ditebarkan pada manusia lemah. Media adalah pedang dengan dua mata sisi. Satu sisi sebagai penyampai informasi, sisi lainnya menjadi jembatan doktrin jahat berbagai kepentingan. Sialnya, yang diincar pun kalangan perempuan. Kepentingan dari produsen make-up misalnya. Sekarang ini, kecantikan perempuan diukur dari putih, kencang, dan mulusnya kulit. Panjang, lurus, dan kemilaunya rambut. Langsing, tinggi, dan sintalnya tubuh. Kesimpulannya, di luar itu, perempuan Indonesia tidak layak disebut cantik.

Aneh memang. Mengingat negara kita sepanjang tahun terpapar sinar matahari, bagaimana mungkin kulit bisa putih alami kecuali untuk beberapa suku tertentu? Juga berapa persen sih perempuan yang terlahir dengan rambut lurus alami tanpa dicatok maupun smoothing? Haruskah menyalahkan faktor genetika jika terlahir dengan tubuh pendek atau tubuh besar?

Iklan-iklan di media perlahan membuat para perempuan berpikir ulang betapa banyak ketidaksempurnaan pada dirinya, menggerus level rasa PD perlahan-lahan hingga memasuki usia tua. Kecemasan yang menurut saya seharusnya tidak perlu ada. Hey, menjadi tua adalah proses. Mengapa begitu senang merayakan ulang tahun tapi ogah dengan konsekuensi makin tua dan rapuh? Makhluk hidup mana yang tidak mungkin tua lalu mati dan digantikan generasi berikutnya?

Perempuan adalah target empuk iklan-iklan yang berdatangan dari dalam dan luar negeri. Konon katanya, perempuan itu kaum yang mudah dirayu. Titik lemah yang menjadi celah agresivitas produsen iklan yang haus untung besar. Sebuah produk bisa menjanjikan kulit menjadi putih dengan beberapa kali olesan agar menyerupai bintang-bintang drama Korea yang keaslian mukanya saja diragukan publik. Produk lain mengiming-imingi tubuh bakal selangsing model-model aduhai Victoria’s Secret yang berlenggak-lenggok di runway dengan sayap-sayap beratnya. Ada pula yang menawarkan krim ajaib yang konon dipakai Madonna agar tampil separuh dari usia sesungguhnya.

Cuma perempuan yang gampang diracuni. Sebab laki-laki terlalu masa bodoh dengan penawaran tidak logis seperti itu. Lihatlah betapa lelaki begitu menikmati proses menuanya diri, membuncitnya perut, berkerutnya wajah, memutihnya rambut. Tua berarti matang, stabil, semakin elegan, berkuasa. Michael Corleone baru tampak kesadisan penuh kematangan karisma begitu mulai beranjak tua. Tidak salah jika akhirnya dialah yang melanjutkan bisnis mafia Sang Godfather, bukan kakaknya yang ceroboh dan emosional, Sonny.

Sebagai perempuan, saya pun mengakui, menjadi perempuan itu memang repot. Bukan berarti saya lalu berpikir untuk mengubah situasi dengan operasi kelamin kok. Terlebih ketika seorang kawan yang terdiagnosis sindrom Harry Benjamin duduk di depan saya, berbicara dengan suara berat dan mengacaukan semua memori tentang dia bertahun lalu. Lalu saya berpikir, ternyata meyakinkan orang banyak dengan identitas baru itu jauh lebih repot dan mahal. Mau nggak repot dan mahal, ya cuma bersyukur aja jawabannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!