Tatapan matamu begitu kosong. Ekspresi wajahmu kaku. Ini pertama kalinya aku menyadarinya. Sejak kapan kau berubah? Sejak kapan hubungan di antara kita berubah?
Aku tidak mengerti.
“Aku ingin kita bercerai.” Tanpa banyak penjelasan kau menyodorkan selembar kertas putih dari seberang meja tempat kau duduk. Padahal jarak di antara kita hanya selebar meja makan ini, namun kau terasa begitu jauh. Kau pun berbicara seakan bukan kau yang terlibat dalam hubungan ini. Berjarak.
Aku kehilangan kata-kata saat menatap kertas yang telah kau tanda tangani terlebih dahulu tanpa bertanya padaku; apakah aku menginginkan hal ini?
Sejak kapan hubungan kita menjauh? Apakah sejak usahamu tidak berjalan lancar? Ketika aku minta kita keluar dari rumah orang tuamu? Atau bahkan sejak awal, saat Amak[1] tidak menyetujui keinginanmu menikahiku?
Aku masih bisa mengingat raut wajahmu yang tidak menyetujui pendapat Amak tentang kecocokan tanggal lahir kita.
***
“Besai…, besai…. No kai lang e sejit toshi ciong.[2] Kalau nikah lah bisa ribut terus. Ciong!” Saat itu Amak berulang kali mengucapkan hal yang sama dengan logat khas Hokkian bercampur bahasa Indonesia yang terkadang tidak kumengerti.
Sebagai keturunan Tionghoa yang masih mempertahankan tradisi adat, Amak begitu percaya dengan perhitungan hari untuk menikah, bahkan hingga kecocokan shio, elemen, dan tanggal lahir.
Berbeda denganku, cina peranakan yang sudah tak akrab dengan budaya etnisku dan telah terkontaminasi oleh modernisasi, sehingga tidak mempercayai kepercayaan kuno itu. Bahkan bahasa daerah, Hokkian, pun sudah sangat asing di telingaku.
Apakah masuk akal menentukan nasib pernikahan seseorang hanya dari kapan kita lahir? Bukankah cukup aku menyukaimu, dan kau juga merasakan hal yang sama, maka kita bisa bersama?
“Si Vania lagi-lagi susah dibilangin. Vania begini keras kepala lu mau terima?” Ayi Yan, adik perempuan mamaku yang tinggal bersama kami, bertanya kepada kau yang duduk di sebelahnya. Selalu saja berbicara seolah dia paling mengenalku.
Ekspresi wajahmu saat itu terlihat enggan untuk membantah perkataan Ayi, namun kau hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan tanteku dan juga melihat aku yang mendebat Amak. Aku tahu kau juga tidak menyetujui pemikiran mereka. Kau sama idealisnya denganku mengenai modernisasi. Hanya saja sebagai orang luar yang belum diterima dalam keluarga besarku, kau tidak ingin terlalu ikut campur mengenai hubunganku dan keluarga.
Tapi, sejak kapan keengganan untuk ikut campur tersebut berubah menjadi ketidakacuhan? Ya, kau sudah lama tidak peduli padaku.
***
Tidak bisa begini. Aku harus berpikir lebih tenang. Aku tidak boleh menuruti emosiku sesaat.
“Mau ke mana?” tanyamu ketika melihatku bangkit dari tempat dudukku tanpa menjawab keinginanmu untuk bercerai.
Aku bisa merasakan tanganku bergetar demi menahan perasaan kecewa yang ingin meluap. Setidaknya kali ini kau cukup peduli untuk bertanya. Tentu saja saat ini kau merasa perlu untuk peduli, kan? Supaya kau bisa terbebas dariku secepatnya.
“Bikin teh,” jawabku susah payah.
Kuharap suaraku tidak ikut bergetar. Aku tidak ingin memperlihatkan kelemahanku di depanmu. Aku tidak mau kau merasa telah mendapatkan yang kauinginkan. Melihat keyakinanku selama ini runtuh.
“Kenapa?” tanyamu lagi, tapi tak kujawab. Sepintas kulihat wajahmu terlihat masam.
Tidak enak kan rasanya tidak dijawab? Sama rasanya seperti ketika kau tidak menjawab pertanyaanku. Kau tidak tahu. Hingga saat ini aku masih saja menanti jawabanmu. Mengapa, Van? Mengapa kau lebih memilih untuk melepasku daripada dia?
***
“Aku lelah dengan pertengkaran kita, Evan! Pilih saja dengan siapa kamu ingin bersama. Putuskan!”
Saat itu aku begitu percaya diri kalau kau akan memilihku yang telah bersama denganmu selama ini. Aku percaya bahwa hubungan kita lebih baik dari yang Amak prediksikan sebelum kita menikah. Aku percaya pertengkaran yang terjadi di antara kita hanyalah pemanis dalam hubungan ini. Prediksi tak berdasar itu tidak bisa menentukan masa depan hubungan kita.
Aku berusaha untuk tidak memikirkan perubahanmu hari demi hari, tidak mempermasalahkan kebohonganmu. Alasanmu…. Berulang kali kukatakan aku bisa mengerti mengapa kau lakukan itu. Namun satu per satu kepercayaanku itu kauruntuhkan. Kau membuatku perlahan merasakan kebenaran kata-kata Amak. Kita tidak ditakdirkan cocok untuk satu sama lain.
Dan hari ini kau meruntuhkan semua kepercayaanku. Kau menghancurkan kepingan terakhir yang ingin kupertahankan. Kepercayaan yang kau tanamkan padaku.
***
“Aku nggak ngerti sama Amak. Kita, kan, nikah di gereja. Mama juga nggak mau pakai teh pai[3]. Katanya nggak enak sama keluarga yang jauh-jauh datang masih harus kasih perhiasan, kalau gitu untuk apa masih minta kita nikah cara Tionghoa?”
Saat itu aku berpikir acara pernikahan mengikuti adat itu sangat melelahkan. Belum lagi ketika harus berada di tengah perdebatan antara keluargamu dan keluargaku. Memang tidak mudah untuk menyatukan dua keluarga, tapi sesungguhnya aku hanya ingin acara pernikahan yang simpel. Berbanding terbalik dengan keinginanku, kau memilih untuk mengikuti kemauan keluarga kita dan kau berhasil menyakinkanku untuk mengikuti kemauan Amak.
“Kamu tahu, kenapa kalau orang Tionghoa nikahan harus ada acara minum teh?” celetukmu, memotong keluhanku mengenai keribetan menjelang pernikahan. Aku menatapmu bingung. Kau meneruskan celetukanmu. “Selain penghormatan untuk orang tua dan pertanda kita diterima masuk ke dalam keluarga pasangan, teh juga pertanda lambang kesetiaan, loh.”
“Lambang kesetiaan?” Aku yang tidak pernah peduli dengan adat etnisku baru kali ini mendengar perihal tersebut.
“Dari kepercayaan Tionghoa, kasih hadiah pernikahan berupa teh berarti kasih doa dan harapan supaya kedua mempelai setia satu sama lain dan hubungan mereka tetap terjaga kuat.”
“Kenapa?”
Terkadang aku tidak pernah mengerti dengan analogi dari kepercayaan kuno Tionghoa, seperti contohnya pakai baju merah di hari Imlek, atau makan bakmi goreng dan telur rebus di hari ulang tahun. Meskipun dijelaskan berkali-kali mengenai sejarah mulanya ketakutan barongsai pada warna merah dan petasan maupun hubungan antara bakmi, telur rebus merah, dan juga umur panjang, tetap saja untukku tidak masuk akal. Tapi, kali itu aku memilih untuk mempercayaimu. Karena kau yang mengatakannya. Karena kau yang memberi penjelasan.
“Ini ada kaitannya dengan kondisi tanaman teh. Tanaman teh itu kalau sudah ditanam di tanah tidak bisa dicabut dan dipindahkan ke tempat lain. Sama seperti ketika kita sudah memutuskan untuk bersama, harapannya adalah seperti tanaman teh yang tak goyah dari tempatnya.”[4]
“Terus, apa hubungannya dengan tradisi? Itu kan tidak berkaitan.”
“Tentu saja berkaitan. Meskipun teh hanya sebuah perlambang, tapi janji yang ditandai dengan minum teh itu hal yang harus dipenuhi; janji bahwa kita akan hidup seperti tanaman teh untuk satu sama lain. Makanya orang zaman dulu itu tidak kenal mau cerai. Tidak boleh malah.”
Kau menjelaskan arti di balik tradisi adat yang memusingkanku saat persiapan pernikahan. Membuatku mempercayainya. Bahkan menaruh harapan di dalamnya. Bukankah kau berjanji padaku untuk setia dengan secangkir teh yang kau minum di hari pernikahan kita?
***
Ini sungguh tidak adil! Apakah kau sudah lupa dengan janjimu?
Ternyata pada akhirnya tanaman teh pun tetap saja bisa berpindah. Hatimu pun tetap saja pergi!
Aku menghapus air mata yang sudah membasahi wajahku. Melangkah dengan langkah panjang kembali ke hadapanmu. Hatiku bergemuruh. Jantungku berdetak sangat kencang hingga terasa sakit. Rasanya menyesakkan. Aku tidak ingin semua ini berakhir begitu saja. Perasaan di dalam dadaku ini harus segera kuluapkan. Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir.
“Kamu ingat ini?” Secangkir teh yang kubuat tadi kuletakkan di hadapanmu. Aku menatapmu penuh harap. Kau terdiam lama. Ruangan di dalam apartemen ini terasa semakin hening tanpa percakapan di antara kita. Suara detak jarum jam dinding terasa semakin mencekam keingintahuan juga keputusasaanku.
“Kamu ingat ini?” ulangku sekali lagi dengan penekanan. Berharap kau bisa mengingatnya.
“Ada apa dengan teh ini?” Kau hanya menatapku tanpa mengerti apa yang ingin kusampaikan. Sekali lagi, kau menghancurkan secercah harapan yang ingin kugenggam.
Aku lelah dengan pertengkaran di antara kita, memusuhimu atas semua perbuatanmu yang kusebut kesalahan. Aku muak!
Sejak kapan kita tak pernah lagi saling mengerti? Mengapa kita tak pernah bisa menjadi seperti janji secangkir teh yang kita minum di hari pernikahan kita? Apakah memang sejak awal kita memang tidak pernah bisa cocok seperti yang Amak katakan?
“Baiklah, aku akan menandatangani surat cerai itu,” kataku sambil menghela napas panjang, seakan telah menyerah pada keputusanmu.
Untuk pertama kalinya raut wajahmu berubah sejak kau mengatakan bahwa kita butuh bicara. Kekakuan di wajahmu mencair menjadi keterkejutan atas persetujuanku.
“Tapi sebelum aku menandatanganinya, apa kamu bisa melakukan satu hal terakhir untukku?”
“Apa?” tanyamu, seakan sudah tak sabar. Rupanya kau sungguh sudah melupakannya. Kau hanya ingin saat ini segera berlalu.
Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Aku tahu bahwa aku sangat keras kepala. Tapi bukankah itu yang membuatmu pertama kali tertarik padaku? Kekeraskepalaanku terutama dalam memegang kepercayaanku.
“Apa?” Kau menanti perkataanku yang tak kunjung meluncur dari bibirku. Bersabarlah. Aku pasti akan mengatakannya.
“Selama satu bulan ke depan sediakan waktu setidaknya tiga puluh menit saja setiap hari untuk melakukan yang ingin kulakukan bersama. Setelah satu bulan berakhir, aku akan menandatangani surat ini.” Jika kau masih tidak mengingatnya.
Aku tidak ingin melepaskanmu dan tidak akan melepaskan. Bukan cinta ataupun teh yang telah berubah. Kita yang berubah. Untuk itu, aku akan membuatmu mengingatnya kembali. Mengingat janji secangkir teh kita.
Catatan:
[1] Nenek.
[2] Tidak boleh. Tanggal lahir mereka berdua tidak cocok.
[3] Upacara minum teh. Kedua pengantin menyuguhkan teh kepada orang tua dan sanak keluarga yang datang, dan sebagai balasannya keluarga yang menerima teh memberikan angpao atau perhiasan emas kepada pengantin untuk bekal pernikahan.
[4] Wu, Chengguo. (1997). Zhongguoren de Liyi Shenghuo. Hubei: Hubei Jiaoyu Chubanshe. Hlm. 44-45.
- Janji Secangkir Teh - 9 October 2015