Jari dan Kesusastraan

Pada pagi cerah, Jumat, 22 Maret 2019, pembaca koran Jawa Pos melihat foto besar hasil jepretan Arief Budiman bertugas di Jawa Pos-Radar Solo. Foto jari-jari memukul huruf di mesin tik tampak tua terbuat dari besi. Pemilik jari-jari adalah murid-murid disabilitas tunanetra di Solo. Mereka sedang belajar mengetik berhuruf braile. Jati-jari kuat dan lincah, memukul untuk menghasilkan kata atau kalimat di kertas. Cara beraksara dengan kegairahan besar. Pada mesin tik, murid-murid turut menunaikan misi keaksaraan.

Kita tak mengetahui mereka sedang mengetik materi pelajaran, puisi, cerita pendek, atau surat. Mereka mungkin kelak bakal turut jadi penentu nasib sastra Indonesia asal tekun mengetik dengan mesin tua atau mulai menggunakan gawai tercanggih. Jari-jari bersastra itu mungkin mewujud. Kita memuji dan mendoakan mereka sambil mengingat cara pemaknaan Afrizal Malna pada mesin tik dan hasil pukulan huruf di kertas.

Afrizal Malna (2017) mengenang peristiwa mengetik: “Setelah itu saya kembali ke mesin tik tua saya. Mesin tik peninggalan Belanda yang bentuknya tinggi dan berat. Pernah saya beli di tukang loak, daerah Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Setiap tombolnya saya tekan untuk menciptakan huruf pada kertas yang saya ketik, kertas itu membekas, seperti ikut terluka oleh tekstur huruf pada tombol mesin tik yang tajam. Setiap ketikan berakhir pada batas margin kanan, mesin tik mengeluarkan bunyi ting pada lonceng kecilnya, tanda untuk masuk ke spasi baru…. Saya menarik kertas yang saya ketik itu melalui rol mesin tik. Tekstur bekas huruf-huruf mesin tik saya raba hampir mirip dengan huruf braille.” Afrizal Malna sampai ke pengalaman hasil ketikan diraba oleh tangan seperti huruf braille. Perabaan huruf itu diakui pengalaman puitis untuk semakin mengerti puisi, mesin, bahasa, dan tubuh.

Pada masa lalu, Afrizal Malna menggunakan mesin tik memerlukan tenaga besar di jari-jari di adegan pemukulan huruf. Puisi dan cerita pendek dihasilkan selama puluhan tahun, menempatkan Afrizal Malna di lokomotif sastra. Di majalah Horison, kita menemukan puisi dan cerita gubahan Afrizal Malna masa akhir 1970-an dan awal 1980-an, sebelum kita menjadi pembaca mesem dan dongkol. Afrizal Malna “mengetik” sastra di Indonesia memberi ledakan-ledakan melampaui suara ting di mesin tik. Hasil ketikan mungkin masih tersimpan di Pusat Dokumentasi HB Jassin. Afrizal Malna terduga belum melakukan dokumentasi utuh. Ia masih saja sering “berjalan” dan hidup di koper meski singgah agak lama di sekian kota. Di koper, ia tentu kerepotan jika memaksa membawa mesin tik masa kolonial. Pada abad XXI, ia berpisah dari mesin tik. Tangan tua tak wajib memukul keras tombol-tombol huruf.

Kita lupakan Afrizal Malna, mengganti tokoh dengan bocah perempuan bernama Na Willa. Bocah di buku garapan Reda Gaudiamo (2018). Kita di keluguan Na Willa mengunjungi kantor, tempat kerja bapak: “Waktu aku mendekati salah satu meja: oh, pada benda dari besi ini ada banyak huruf bertebaran. Untuk apa ini? Aku mencoba menarik salah satu kancing: keras. Aku coba tekan, ternyata kancing itu tenggelam sambil berbunyi tik. Bersama dengan turunnya kancing, ada biting besi yang berdiri dari bagian dalam alat ini. Aku tekan kancing lain, bunyi tik terdengar lagi dan biting besi berdiri lagi. Apa ini? Aku letakkan kedua telapak tanganku, menutupi dan menekan semua kancing huruf-huruf itu. Tiba-tiba… ada banyak biting besi yang berdiri. Waaa!” Di akhir pengisahan, kita melihat gambar Na Willa mengetik. Gambar buatan Cecillia H.

Bocah itu takjub. Mesin menghasilkan pemandangan dan suara aneh. Na Willa sedang berurusan dengan mesin ketik atau mesin tik. Ia lugu ketimbang Afrizal Malna telah membikin para pembaca sepaneng membaca sekian puisi dan cerita pendek. Di mesin tik, Na Willa belum menulis puisi atau cerita pendek. Ia ketagihan pada mesin tik. Pada 2019, kita sulit menemukan Na Willa. Balita dan bocah-bocah TK sudah ketagihan benda ajaib di tangan, bukan lagi mesin tik dari besi: berat dan merepotkan jari-jari. Na Willa ada di masa lalu, masa tak tersentuh oleh jari-jari mulai manja membuka sekian menu di benda “pintar” dan molek.

* * *

Masa lalu itu mesin tik. Orang-orang lama masih ingat mendapatkan pelajaran atau kursus mengetik. Mereka berlatih agar berhasil mengetik menggunakan sepuluh jari. Pengetik harus kuat, lincah, dan tabah. Mesin tik bukan untuk orang-orang lemah dan malas.

Pengetik sering berkeringat. Dulu, para wartawan di majalah Tempo mengetik seperti mengadakan konser meriah. Di meja-meja, mesin tik bersuara. Mereka mengetik pelbagai tulisan sejak Tempo disodorkan ke pembaca, 6 Maret 1971. Pada keinginan mengingat Tempo masa lalu, kita melihat foto hitam-putih: Goenawan Mohamad mengenakan kaos-dalam sedang mengetik. Adegan bersejarah tentu Gus Dur mencari meja kosong untuk mengetik kolom. Konon, mesin tik di kantor Tempo itu turut menjadikan Gus Dur keranjingan menempuhi jalan intelektual. Kita pun ingat ada intelektual kondang gagal mengetik gara-gara sering melewati ting. Ia itu pintar tapi selalu salah di hadapan mesin tik. Ingat Tempo, ingat mesin tik pernah digunakan Goenawan Mohamad, Salim Said, Putu Wijaya, Ahmad Wahib, Gus Dur, Bambang Bujono, dan lain-lain. Kini, mesin tik itu masih ada dan bakal jadi koleksi museum milik Tempo?

Para wartawan dan intelektual di Tempo mungkin memiliki kemampuan mengetik diajari bapak, saudara, atau teman. Gagal mengetik dengan rumus ngawur dan nekat, mereka bisa ikut kursus. Nah, kursus-kursus mengetik masa lalu biasa mengingatkan ke jenis pekerjaan sekretaris, bukan wartawan. Sekretaris itu tukang mengetik. Nostalgia mengetik para sekretaris bersaing dengan nostalgia milik para wartawan dan pengarang. Nostalgia sederhana pun milik Sapardi Djoko Damono. Ia mulai menulis puisi di buku bergaris. Ia menulis menggunakan bolpen, sebelum sampai ke mesin tik. Para pengarang lawas sering mengingat episode mengetik berkeringat dan bersuara, sebelum mereka beralih ke komputer dan benda di tangan.

Pelajaran atau kursus mengetik disempurnakan dengan mempelajari buku-buku petunjuk. Pada 1951, terbit buku berjudul Dengan 10 Djari: Metode Belajar Mengetik. Buku untuk siswa di sekolah menengah dan sekolah dagang. Buku disusun oleh A Hageraats, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh MH Rambitan. Buku terbitan Neijenhuis & Co, NV Uitgevers, Jakarta. Buku mahal, penting, dan laris.

Jari terlalu penting di pembagian pemukulan huruf. “Metode jang dipakai dalam kitab ini hanja dalam satu hal berbeda dengan metode di buku-buku peladjaran mengetik dengan sepuluh djari jang lain, ja’ni dalam hal tekanan djari pada djedjer pemukul huruf-huruf jang dibawah sekali. Huruf z tidak dipukul dengan djari kelingking, melainkan dengan djari manis, sedangkan huruf x dipukul dengan djari tengah. Hal ini bukan sadja untuk meringankan tugas djari kelingking kiri, tetapi dalam praktek telah ternjata, bahwa peraturan peletakkan djari jang sedemikian mudah sekali untuk mengetik pelbagai pertalian huruf-huruf.”

Petunjuk bijak itu gagal dipahami oleh lelaki brengosen dan jenggoten di pinggiran Solo. Dulu, ia memiliki mesin tik Brother berwarna putih. Pada malam hari, ia sering mengetik dengan suara-suara keras sambil mendengarkan lagu-lagu cengeng. Ia tak sedang meniru So Hok Gie, mengetik di rumah bagian belakang dikerumuni lemut. Dulu, peristiwa mengetik itu sakral di janji ingin jadi pengarang. Tahun demi tahun, ia mengetik puisi dan cerita pendek dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Tahun-tahun berlalu, hasil ketikan itu disimpan di lemari. Jari-jari sudah bekerja keras tapi tulisan-tulisan belum jua mejeng di koran. Ia malu untuk menangis meski mesin tik terpaksa dijual ke bakul di Sriwedari.

Pada saat kuliah, ia mengetik makalah-makalah. Di kelas, ia diomeli dosen-dosen. Ia dipaksa harus menggunakan komputer, bukan mesin tik. Ia bersedih dan marah. Mesin tik pun dijual untuk membeli buku. Mesin tik berisik sudah diremehkan di mata kaum akademik. Ia justru kesulitan mengetik dengan komputer. Bermula dan mesin tik sampai komputer, ia tetap saja cuma mampu menggunakan dua jari tengah: kanan dan kiri. Pada 2019, ia masih pengetik atau pemukul huruf dengan dua jari. Duh, memalukan banget! Ia terpaksa kebal malu demi menulis dan menulis setiap hari.

* * *

Biografi para pengarang dunia memiliki cerita-cerita seru mengenai mesin tik. Kita mengimajinasikan Jean-Paul Sartre sedang mengetik naskah-naskah filsafat dan novel. Ia pernah menghadiahi mesin tik untuk Pramoedya Ananta Toer selama hidup di Buru. Mesin tik berdalih kesusastraan dan kemanusiaan. Di Buru, mesin tik itu menggirangkan dan mencemaskan. Pemerintah dan militer mengalami dilema memberikan hak bagi Pram untuk menulis di kertas atau mengetik alias membiarkan mesin tik memberi suara-suara perlawanan. Kita mengingat ada foto Pram sedang mengetik.

Foto para pengarang besar dunia masa lalu sering sedang beradegan mengetik. Tampilan mereka serius dan menegangkan. Para penonton film pasti ingat adegan pengarang sering merokok dalam menghasilkan novel-novel mumpuni. Ia sering berdiri untuk mengetik cerita. Pada suatu masa, kita membaca dalam edisi terbitan buku novel mengenai manusia dan laut. Di Indonesia, novel itu diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dijuduli Lelaki Tua dan Laut, terbitan Pustaka Jaya.

Sejarah kesusastraan dan biografi pengarang masa lalu memuat halaman mesin tik. Foto-foto mereka sedang berhadapan dengan mesin tik masih bisa dilihat meski kita mulai terus kehilangan cerita-cerita. Mesin tik itu benda “keramat”. Benda di alur keaksaraan para pengarang abad XX berani jadi pemukul huruf berkeringat menanggungkan girang dan frustrasi. Sejarah mesin tik terlalu cepat tergantikan benda-benda ajaib menggunakan listrik dan berbobot ringan. Kita “terlarang” kecewa kehilangan mesin tik saat diri mulai ketagihan menghasilkan tulisan-tulisan di benda-benda paling mutakhir. Kita diajari meringankan tugas jari-jari agar tak keseleo atau capek seperti zaman milik kaum pemukul huruf di mesin tik. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!