Sampai lagi kini pada Oktober, bulan kesepuluh dalam kalender Masehi yang telah berlaku lebih dari dua ribu tahun, kendati kata octo berarti angka delapan, sehingga Oktober sesungguhnya bermakna bulan kedelapan. Konon sebelum tahun baru dimulai pada 1 Januari, hari pertama yang mengawali sebuah tahun adalah 15 Maret, yang bersamaan dengan dimulainya musim semi. Maka Oktober dahulu kala memang tepat bulan kedelapan. Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan sejarah nama Oktober, namun ada sesuatu yang lebih mengesankan dalam histori pribadiku.
Oktober membawaku kembali ke masa silam, manakala dalam dua kali kesempatan aku pernah jatuh hati kepada dua nama. Yang pertama, kusematkan julukan baginya “bidadari yang membumi” sebagai pertanda betapa aku begitu menyanjungnya tempo hari. Dirinya berhasil membuatku terpesona pada tatapan perdana. Yang kedua, tak kumiliki istilah tertentu untuknya dan justru perlu masa rada lama hingga aku merasa ada sesuatu yang terasa berbeda ketika berada di dekatnya. Memang bukan salah satu dari mereka yang akhirnya mendampingi langkahku ketika kujumpai Oktober lagi, kendati keberadaan mereka tetap menjadi impresi tersendiri.
***
Barangkali lantaran belum pernah secara kasatmata kutemui gadis sejelita dirinya, maka sampai kudapatkan ilham membuat istilah tertentu bagi seorang perempuan. Dialah “bidadari yang membumi” yang pernah singgah dalam lembaran hidupku. Akhir Oktober lima belas tahun silam merupakan saat pertama kujumpai dirinya. Gedung kesenian kebanggaan kotaku menjadi tempat pertemuan kami, yang secara terpisah berniat menyaksikan satu pertunjukan drama dari ibu kota. Ada seorang kerabatku yang tergabung dalam kelompok teater tersebut. Sebelum lakon dimulai, terpanaku pada penampilan seorang dara rupawan bermata cemerlang dan berhidung mancung di antara para penonton. Seusai pertunjukan, tanpa terduga aku melihatnya kembali, dan rona wajahku menjadi berseri-seri. Bahkan aku akhirnya diperkenalkan dengan gadis bernama Aira oleh kerabatku, yang ternyata merupakan teman sang perempuan muda. Maka sepanjang malam itu paras menawan Aira terus terbayang di anganku. Setiba di rumah kutuliskan kesan yang mendalam tentang pertemuan pertamaku dengan Aira dalam puisi berjudul “Bidadari yang Membumi”.
Sehabis pertemuan pertama kudapatkan nomor telepon Aira dari kerabatku. Aku pun berkesempatan menemuinya berkali-kali, hingga akhirnya dia menjadi kekasihku. Kami sempat melangkah bersama, namun hubungan tersebut tak terlalu lama. Sebelumnya Aira memang sudah ragu karena kuliahnya hampir rampung, sedangkan dia berencana meninggalkan kota tempat kami tinggal untuk kembali ke kota asalnya.
“Bisakah kita tetap saling setia ketika tinggal berjauhan?” tanya Aira.
“Kita coba saja. Selama kita tetap menjaga cinta dan diri kita, kurasa kita bisa,” sahutku mencoba meredam ketidakyakinan kekasihku.
Nyatanya kami tak mampu mempertahankan koneksi. Aira meminta putus setelah berkali-kali kami salah paham selama menjalani relasi kekasih jarak jauh. Padahal waktu itu aku masih mencintainya dan berusaha benar senantiasa setia. Namun, barangkali kami memang tidak ditakdirkan menjadi kekasih sejati. Aira akhirnya menikah sekitar satu tahun seusai kami berpisah. Ia memutuskan menerima lelaki yang dijodohkan oleh orang tuanya. Semula Aira menolaknya, namun setelah beberapa bulan melakukan penjajakan, ternyata ia menemukan banyak kecocokan. Hingga kini Aira masih tetap hidup nyaman bersama suaminya dan mereka telah dikaruniai sepasang buah hati. Kucoba turut bahagia dengan kisah sukacita mantan kekasihku yang pertama kujumpa di bulan Oktober.
***
Kawan lama yang belasan tahun silam bukanlah seseorang yang berkesan, ternyata bisa menjadi sosok istimewa ketika dijumpai lagi di masa yang berbeda. Begitulah yang terjadi antara diriku dengan Fiona. Kami pernah kuliah di tempat yang sama selama sekian tahun. Waktu itu aku tidak terlalu mengenal figur Fiona secara saksama. Setelah dia diwisuda, aku tak mengerti kabarnya. Kami baru berjumpa lagi dalam sebuah acara reuni yang berlangsung di kampus sekitar delapan tahun silam. Sejumlah teman perempuanku terlihat lebih menarik ketimbang ketika kuliah, biarpun sebagian besar dari mereka telah menikah, dan salah satunya adalah Fiona. Seingatku dia bukanlah mahasiswi yang menonjol lantaran kecantikannya atau prestasinya. Aku sempat bertukar nomor telepon dengan Fiona, seperti halnya dengan kawanku lainnya. Namun, aku merasa pertemuanku dengannya biasa saja, apalagi kutahu Fiona sudah berumah tangga. Keluarganya cukup harmonis sepertinya. Sesudah reuni aku sempat bertemu tanpa sengaja dengan Fiona beserta keluarganya di sebuah restoran.
Aku mulai dekat dengan Fiona setelah kerap berjumpa melalui pesan singkat lewat telepon seluler. Ternyata materi pembicaraan kami terkoneksi dengan baik. Banyak hal yang menjadi ketertarikan kami berdua. Saban ada reuni lagi, selalu kusempatkan bercakap dengan Fiona belaka, biarpun sejenak tak mengapa. Seberkas warna sukacita yang baru seakan hadir dalam hidupku. Lambat laun aku merasa hubunganku dengan Fiona terasa berbeda dan tak sama kadarnya dengan teman-teman perempuanku lainnya. Waktu itu aku sedang tidak memiliki kekasih. Suatu ketika kukatakan pada Fiona akan bertandang ke rumahnya. Ia bersedia menerima kehadiranku, tentu atas seizin suaminya. Kedatangan pertamaku ke rumah Fiona tidak terlalu mengesankan. Aku bercakap-cakap bukan hanya dengan temanku, melainkan juga dengan suami dan anak-anak Fiona.
Awal Oktober tujuh tahun lalu, aku kembali hadir di rumah Fiona. Kebetulan suaminya tengah pergi, demikian pula ketiga anaknya. Maka berdua semata diriku bersama seorang kawan lama nan jelita. Kami membincangkan beragam hal. Fiona menceritakan bisnis suaminya maupun aktivitas anak-anaknya. Semula kami duduk berjauhan, namun kemudian posisiku dan Fiona jadi berdekatan. Ia sempat melangkah menuju dapur untuk membuatkan minuman baru untukku, sementara minuman sebelumnya telah tandas. Aku berinisiatif mengikuti jejaknya tanpa maksud apa-apa pada awalnya.
“Eh, ada apa kau ikuti aku?” tanya Fiona.
“Aku hanya ingin melihat dapur di rumahmu ini,” ujarku.
“Ah, ini cuma dapur yang sangat sederhana.”
“Menurutku ini dapur yang asri, sesuai dengan bagian rumahmu lainnya.”
Dadaku berdebar-debar seketika kala berdiri sangat dekat di samping tubuh indah Fiona. Tak pernah kurasakan hal itu sebelumnya, sensasi tersendiri telah menjelma. Kupandangi paras ayu Fiona yang tampak memerah, entah kenapa dia tampak tersipu. Kami berdua sekian detik bergeming tanpa kata.
“Fiona, bolehkah kulakukan sesuatu?” kataku memecah kesunyian.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Kukecup kening Fiona dengan serta-merta. Dia tampak terkejut dan sedikit mendorong tubuhku. Fiona menggelengkan kepalanya seraya menggigit bibirnya. Dia memandang wajahku dengan tatapan yang aneh.
“Maafkan aku, Fiona. Aku tak bermaksud lancang padamu,” ucapku dengan salah tingkah.
“Andaikan kita berada di waktu dan situasi yang berbeda, aku pasti sangat senang berdua begini. Tapi, kau paham kondisiku sekarang, kan?”
Aku manggut-manggut dengan kepala tertunduk sebagai isyarat penyesalan. Sekali lagi aku meminta maaf dan segera berpamitan. Aku sadar telah bertindak kurang ajar terhadap teman baikku sendiri. Sejak saat itu aku tak pernah lagi mendatangi rumah Fiona, kendati adakalanya kami masih saling berkabar lewat pesan singkat semata.
***
Ketika sampai pada Oktober tahun ini, telah lima bulan aku hidup bersama dengan pilihan hatiku. Bulan kesepuluh tampaknya belum menjadi sesuatu yang tak biasa selama aku dan dirinya menjalin kasih. Namun, telah kujalani hari-hari yang sarat sukacita berdua, tidak sebatas bulan ini saja, dan akan terus berlanjut di masa mendatang. Segala hal yang berkenaan dengan Aira maupun Fiona, biarlah menjadi bagian masa silam yang tersimpan manis sebagai rahasia kalbu.
- Kala Bahtera tak Lagi Tenang Berlayar - 12 August 2022
- Jatuh Hati Oktober - 30 October 2020
- Lukisan Sungging dan Peti yang TerbangBersama Layang-Layang Raksasa - 20 January 2017
Nita Herawati
Seperti suara hati mengena di hati hihiw Mantap cerpennya Pak Satya!
Andi rusmana
Gokilll, sangat menginspirasi dalam segi kepenukisannya.
Nur Ummiati
Baru kali ini, ekspresi menggigit bibir diartikan sbg ‘menolak’, cerpen² yg sy baca, menggigit bibir diartikan sbg perempuan yg terangsang (menerima), ternyata di sini menolak..
Esther.Qingli
Bisa – bisanya, anda mengecup istri orang😭😭😭😭😭
halo
saya kira bakal terjadi sesuatu,disaat rumah sepi wkwk