Jejak Langkah Seorang “Laki-laki Baru”

Kata adil dan merdeka menjadi idaman setiap manusia di belahan bumi ini. Menciptakan kebebasan atas hak setiap diri. Menjadikan manusia layak untuk hidup tanpa ancaman dan kekangan dari siapa pun. Juga memberikan ruang kepada setiap insan untuk mengakses segala sesuatu merupakan cita-cita kita bersama. Tak terkecuali saya.

Saya seorang mahasiswi yang menjatuhkan pilihan pada jurusan filsafat. Pada masa itu, di jurusan tersebut mayoritas didominasi oleh laki-laki dan perempuan menjadi minoritas secara kuantitatif. Tentu hal ini menjadi awal kegelisahan tersendiri di dalam perkuliahan. Karena budaya patriarki yang mengakar kuat dalam kehidupan kita, ada stereotipe tertentu sangat melekat cukup lama pada perempuan. Misalnya, stereotipe bahwa pemikiran dan pendapat perempuan itu tidak logis sehingga perempuan akan lebih banyak diam dan malu untuk menyampaikan pendapatnya. Sedangkan superioritas laki-laki semakin kuat ditunjukkan oleh sikapnya yang aktif di dalam kelas, berani bertanya juga menyampaikan pendapat dan lain sebagainya. Pola seperti ini bila masih dilanggengkan akan mengganggu perkembangan pemikiran dan tingkah laku dalam diri perempuan. Maka, perlu kiranya mengenal kajian tentang keadilan gender.

Saya mengenal perspektif adil gender tidak dengan sendirinya. Ada sosok inspiratif yang turut mengubrak-abrik cara pandang saya. Menghancurkan bagaimana pola pikir saya sebagai seorang perempuan yang selalu tersubordinasi, sedangkan laki-laki berdiri sebagai diri yang mendominasi dalam segala hal.  Sosok yang saya maksud adalah Akhol Firdaus atau biasa disapa Cak Akhol.

Cak Akhol dosen di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Jawa Timur. Pengampu mata kuliah filsafat yang sangat keren dalam menguliti setiap pemikiran tokoh. Selalu memiliki cara pandang berbeda dan tidak banyak dipikirkan oleh mayoritas orang.

Selain dosen filsafat, Cak Akhol juga sangat kompeten dalam membincangkan gender dan feminisme. Bangunan epistemologi yang luar biasa beliau dibuktikan dengan buku karyanya berjudul Sindrom Iri Penis: Sketsa Kritik Nalar Feminisme. Diterbitkan oleh Penerbit Pinggir setebal 152 halaman. Buku ini menjadi salah satu kritik terhadap proses-proses pembentukan narasi feminisme yang menambatkan kesadarannya pada nalar binary opposition.

Dalam proses mengkaji gender dan feminisme, saya dan teman-teman juga dikawal oleh Cak Akhol mulai dari nol. Beliau menunjukkan bahwa ada yang salah dengan bagaimana cara berpikir dan berperilaku kita selama ini. Dilanggengkan dan diamini oleh orang tua sampai nenek moyang kita. Menyadarkan saya bahwa patriarki nyatanya tidak hanya merugikan diri perempuan, tetapi laki-laki juga menjadi korban. Layaknya patriarki yang menuntut perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga, patriarki juga menuntut laki-laki untuk menjadi penyedia nafkah keluarga yang maskulin, atletik, dan logis. Hal tersebut dianggap sebagai “tempat yang selayaknya”. Padahal jalan pikiran tersebut merupakan hal yang berbahaya bagi kedua belah pihak. Kesemuanya ini, disampaikan oleh Cak Akhol dalam kegiatan Sekolah Gender dan Sekolah Feminisme.

Sejak awal, memang beliau sudah bergelut dengan kajian gender dan feminisme. Beliau berjuang untuk bisa memperkenalkan sensitivitas gender sejak dini, dimulai dari sekolah dasar, mengingat betapa pentingnya akan penanaman karakter atas sensitivitas gender. Hal tersebut beliau lakukan dengan melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan tesis non-peer reviewed berjudul Sensitivitas Gender pada Buku Pokok Studi dan Pengajaran Kurikulum 1994 Sekolah Dasar di tahun 2000.

Cak Akhol juga seorang peneliti. Semangat yang tumbuh untuk memunculkan kegelisahan intelektual menjadikan beliau diberikan kepercayaan sebagai Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) UIN Tulungagung. Lembaga ini menjadi laboratorium pemikiran Islam Jawa di Indonesia. Turut mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi belajar menjadi seorang peneliti, menuangkan ide-idenya dalam bentuk artikel juga reportase.

Cak Akhol juga sosok yang sangat getol dalam memperjuangkan hak-hak kelompok marginal iman. Dalam rentang waktu yang panjang, beliau ikut terlibat dalam advokasi minoritas agama keyakinan di Indonesia. Intens dalam pemantauan isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Jawa Timur kemudian menghasilkan berbagai laporan tentang situasi pelanggaran hak agama di Indonesia.

Sampai saat ini, Cak Akhol mengaku banyak penghayat kepercayaan hingga penganut agama minoritas di Indonesia yang masih mendapat diskriminasi dari pemerintah juga masyarakat. Padahal, menurut beliau, hal ini tidak perlu dilakukan karena di dalam undang-undang sudah tertulis bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam beragama dan berkeyakinan. Beliau juga menyebut bahwa usia diskriminasi terhadap penghayat hampir seusia Republik Indonesia. Dari rezim ke rezim, mereka mendapat perlakuan sama. Kalangan penghayat bisa dikatakan sebagai kelompok agama keyakinan yang merasakan mata rantai diskriminasi paling serius di Indonesia. Cak Akhol memiliki istilah khusus untuk menyebut diskriminasi yang berlangsung masif, yaitu genosida kelompok kepercayaan agama lokal.

Diskriminasi berlapis tentu terjadi pada perempuan penghayat. Hal tersebut menjadikan peran perempuan penghayat masih belum maksimal dan terkesan dikesampingkan, baik dalam bidang politik bernegara, juga dalam aspek sosial-ekonomi dan budaya peran perempuan penghayat dipandang sebelah mata bahkan dihilangkan.

Untuk itu, Cak Akhol berinisiasi memberikan ruang perempuan penghayat berekspresi. Bertepatan dengan Hari Kartini, Majelis Luhur Penghayat Jawa Timur mendeklarasikan Gerakan Perempuan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di kantor Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia dan Islam (Pusdikhami) IAIN Tulungagung. Pertama kali digelar pada Minggu, 19 April 2015. Deklarasi ini bertujuan untuk mengingatkan pentingnya peran perempuan, terutama perempuan penghayat dalam kehidupan bernegara. Gerakan ini juga salah satu pelopor agar perempuan tidak lagi diremehkan di masyarakat. “Paling tidak, perempuan penghayat bisa mendapatkan hak yang sama”, begitulah salah satu penuturan Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.

Dedikasi Cak Akhol yang tak main-main berbuah manis. Penghargaan Soetandyo FISIP Unair Award kelima pada tahun 2019 dianugerahkan kepadanya karena dinilai aktif dalam memperjuangkan hak penganut agama minoritas. Soetandyo FISIP Unair Award merupakan ajang penghargaan bagi setiap tokoh yang menjadi inspirasi dalam menularkan semangat Prof. Soetandyo (Dekan pertama FISIP Unair) dalam memberi manfaat kepada bangsa dan negara.

Dari sini, saya teringat akan konsep “laki-laki baru” yang muncul sejak Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 70-an. Tidak hanya fokus untuk memperjuangkan hak perempuan, namun juga memperjuangkan kebebasan laki-laki. Laki-laki baru adalah istilah untuk menyebut adanya transformasi perspektif laki-laki terhadap perempuan sebagai the second class. Dengan lebih memandang perempuan sebagai partner yang setara dan manusia yang utuh. Saya rasa, laki-laki baru itu adalah Cak Akhol.

Cak Akhol adalah representasi tokoh muda yang mampu masuk ke entitas kaum milenial. Menginspirasi kaum milenial untuk menjadi diri yang mampu memunculkan sensitivitas gender. Juga peduli kepada hak minoritas dan kaum marginal.

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kekaguman dan ucapan terima kasih tak terhingga atas transfer knowledge yang berharga. Terakhir, ada kalimat yang saya ingat dan begitu melekat dari beliau, “Berupaya mengubah budaya yang sadar gender itu bukan pekerjaan yang mudah. Tapi setidaknya kita berupaya memutus mata rantai ini dengan lebih aware menjadi manusia yang adil gender.” Panjang umur untuk kesetaraan.

Fatimatuz Zahro
Latest posts by Fatimatuz Zahro (see all)

Comments

  1. slamet rahardjo Reply

    senang baca tulisan ini, part 2 nya ada lagi tidak dan lanjutannya dan selalu memikirkan ide-ide yang akan datang dalam kehidupan, saya tunggu part selanjutnya bagus👋👍👍👍👍

  2. Fatimatuz Zahro Reply

    Terimakasih🙏 ☺

  3. Ayat Reply

    EyvAllah

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!