Jiwa-Jiwa Merdeka

Semester yang lalu, pada mata kuliah filsafat pendidikan, saya meminta mahasiswa menuliskan pandangan mereka tentang apa makna merdeka belajar bagi mereka setelah melalui masa-masa penuh tantangan selama mengecap pendidikan dari jenjang pendidikan sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Setelah membaca esai-esai itu, semua mahasiswa datang dengan pandangan yang bervariasi, tetapi pada satu titik, hampir semua sepakat bahwa merdeka belajar adalah tentang bagaimana pendidikan bisa merangkul potensi semua anak. Bagi mereka, setiap anak itu pembelajar yang unik. Setiap anak memiliki kombinasi unik dari serangkaian karakteristik, sifat, preferensi, perilaku, minat, sikap, kecerdasan, pengalaman, dan sebagainya yang sangat kompleks, sehingga tidak ada dua individu yang dapat dimasukkan ke dalam kotak yang sama. Kesimpulannya: ada miliaran tipe anak pembelajar di dunia ini.

Salah satu mahasiswa saya bahkan menuliskan kalimat yang membuat saya tepekur, berbunyi: “Kita dipaksa menjadi sama, diseragamkan, sehingga menjadi berbeda terlihat seperti sebuah dosa. Apa salahnya kita menjadi berbeda dengan keunikan yang kita miliki? Kenapa kita dipaksa selalu baik dalam matematika saat kita tertarik dengan sastra? Masyarakat kita, termasuk dunia pendidikan juga masih menganggap kalau mereka yang menggemari seni, sastra, atau bidang selain math and science tidak ada masa depannya.”

Bagi saya, potongan kalimat di atas adalah cerminan pendidikan kita hari ini. Kita masih memandang pendidikan adalah tentang bagaimana anak-anak pintar di bidang tertentu seperti sains. Sains selalu mendapat tempat nomor satu ketimbang bidang-bidang yang lain. Kita juga sibuk bagaimana agar kebijakan-kebijakan pendidikan dapat diubah dan diaplikasikan, tetapi kita lupa bagaimana anak-anak belajar. Apakah kita memastikan bahwa anak-anak betul-betul belajar di rumah, di sekolah dan di masyarakat? Apakah sekolah memberikan tempat yang nyaman bagi anak untuk belajar? Kita juga tidak peduli dengan anak-anak yang “tertinggal”, yang menjadi fokus pada pelajaran setiap hari dan anak-anak yang “sangat baik” harus meninjau kembali mata pelajaran yang telah mereka kuasai atau pahami. Ini semata dilakukan untuk mengejar target pendidikan.

Potensi yang Berbeda-beda

Potensi setiap anak akan sangat berbeda dan menjadi bagian dari pekerjaan setiap orang tua dan guru untuk membantu dan membimbing mereka menjadi “manusia merdeka”. Bagian yang sulit adalah membantu anak-anak tumbuh bahkan ketika itu bukan yang orang tua pilihkan untuk mereka. Tidak semua anak akan menjadi Albert Einstein. Tidak semua anak akan menjadi Elon Musk. Tidak semua anak akan menjadi apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Tugas orang tua adalah mendorong anak-anak mereka untuk mencapai potensi terbaik.

Sejak kecil, saya sangat lemah pada mata pelajaran berhitung seperti matematika, tapi cukup baik dalam mata pelajaran bahasa dan seni. Saya suka menyanyi dan menulis. Suatu ketika, pada pelajaran matematika, saya iri dengan teman-teman yang sering disanjung oleh guru karena mampu menjawab semua pertanyaan guru di kelas. Karena bukan “golongan anak pintar”, saya harus bekerja keras memahami sesuatu karena guru hanya menggunakan satu metode dalam mengajar semua anak. Padahal, karakteristik setiap anak dalam menangkap materi sangatlah berbeda-beda.

Ada terlalu banyak variabel yang berperan penting sepanjang hidup seorang anak. Pintar dan bodoh selalu diukur berdasarkan kuantitas. Potensi bukanlah tentang kuantitas yang terbatas. Potensi selalu tumbuh dan berubah-ubah. Potensi dapat diperluas dengan antusiasme, atau dikurangi oleh keadaan negatif yang tidak mendukung potensi anak tersebut. Ini tergantung bagaimana anak mendapat dukungan penuh dari orang dewasa di sekitarnya.

Saya percaya bahwa setiap anak hidup sesuai dengan potensinya. Filsuf Plato pernah berkata “Jangan paksa anak-anak Anda mengikuti jalan Anda, karena mereka diciptakan untuk waktu yang berbeda dari waktu Anda”. Beberapa anak cepat belajar dalam hal tertentu dan anak lain mungkin membutuhkan lebih banyak waktu dan usaha untuk mencapai tingkat yang sama. Karena itu, saya selalu membayangkan setiap anak di dunia ini ibarat golok. Ada golok baja yang selalu diasah dan tajam, golok baja yang tidak pernah diasah, dan golok baja yang sudah tua dan sudah dimakan karat. Ketika masing-masing golok ini digunakan untuk memotong sebatang pohon, golok mana yang lebih cepat melakukan pekerjaannya? Golok baja yang selalu diasah dan tajam, mungkin hanya membutuhkan sekali atau dua kali tebasan untuk memotong sebatang pohon. Golok baja yang tidak pernah diasah, mungkin membutuhkan puluhan kali tebasan, dan golok tua berkarat membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memotong sebatang pohon. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya terpotong di waktu yang tidak bisa ditentukan.

Jadi, tidak semua individu anak belajar dengan cara yang sama dengan efek yang sama. Anak-anak memiliki berbagai kapasitas, kecenderungan, dan preferensi yang memengaruhi pembelajaran mereka. Jika guru dapat mengidentifikasi perbedaan-perbedaan itu dan kemudian menjelaskannya dalam desain dan penyampaian instruksional yang bijak, guru dapat mengoptimalkan pengalaman belajar individu masing-masing anak.

Memahami Setiap Anak

Setiap guru juga berusaha menemukan cara terbaik untuk membawa mata pelajaran mereka kepada anak mereka dengan cara menghubungkan “kekuatan guru dengan anak”. Maksudnya, pembelajaran harus menjadi proses interaktif dan kolaboratif antara guru dan anak dan mereka bekerja sama dalam pembelajaran yang efektif. Jika guru mencoba menjadi segalanya bagi semua anak, atau membentuk dirinya menjadi “teori” palsu dalam pengajaran, saya kira ini bukanlah cara yang efektif untuk melakukan itu.

Seorang guru harus datang dengan pemahaman bahwa setiap anak berbeda. Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, dan motivasi yang berbeda. Jadi, guru benar-benar harus menemukan cara untuk menyesuaikan apa yang dia tawarkan dengan apa yang akan datang. Beberapa anak membutuhkan banyak perhatian dan dukungan untuk menguasai materi. Lainnya dapat mengelola apa yang ditawarkan dengan dukungan yang relatif sedikit. Lalu, ada kelompok lain yang bisa menguasai semuanya dengan cepat dan mudah, justru unggul di kelas.

Selain itu, jika guru benar-benar memahami anak yang diajarnya, maka dia juga harus benar-benar memahami teori-teori belajar yang sudah dipelajarinya sewaktu belajar di universitas. Seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang teori belajar yang berbeda untuk menghadapi tantangan yang berbeda di kelas. Sebuah kelas berisi anak dengan latar belakang, kelas sosial, dan cara berpikir yang berbeda. Untuk menghadapi keragaman seperti itu, seorang guru perlu menyadari bagaimana menghadapi masalah, tantangan kelas dan bagaimana pengajaran terjadi di dalam kelas.

Karena itu, perlu memahami bagaimana anak-anak belajar. Para guru, misalnya, mencoba menganalisis gaya dan cara belajar melalui teori belajar yang sudah ada. Sebenarnya ada banyak teori belajar yang mencoba menjelaskan hal ini, dari satu perspektif atau lainnya, dengan beberapa kategori umum. Contohnya, teori belajar sosial mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan mengamati orang lain. Teori belajar behaviorisme, di mana belajar dijelaskan dalam hal rangsangan dan tanggapan. Berbeda dengan behavioris, teori belajar kognitif berfokus pada bagaimana pelajar memproses atau memahami informasi, daripada perilaku yang dapat diamati.

Teori lain, teori konstruktivisme. Teori ini merefleksikan pengalaman seorang anak, membangun pemahamannya sendiri tentang dunia tempatnya hidup. Masing-masing dari anak menghasilkan “aturan” dan “model mental” mereka sendiri, yang anak gunakan untuk memahami pengalamannya sendiri. Oleh karena itu, belajar hanyalah proses menyesuaikan model mental untuk mengakomodasi pengalaman baru. Terakhir, teori humanistik. Teori ini menekankan pentingnya perasaan dan pemikiran dalam proses pembelajaran, dan perkembangan anak sebagai “manusia seutuhnya”. Iklim belajar dilihat dari segi iklim fisik dan psikososial. Pengalaman subjektif atau pribadi anak sangat penting dalam peristiwa pembelajaran.

Dengan memahami pentingnya merangkul semua potensi anak, maka setiap orang dapat memaknai bahwa pendidikan adalah tentang bagaimana setiap anak bisa menjadi diri mereka sendiri, menghidupkan imajinasinya, mengejar minatnya, dan mengasah kreativitas dan kemampuan terbaik dalam dirinya. Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai “jiwa merdeka”. Menjadi manusia merdeka secara lahir dan batin.

Akhirnya, setiap hari, setiap anak-anak bernapas, setiap mereka melangkahkan kaki, anak-anak menyemai mimpi-mimpi mereka di bawah kaki-kaki orang tua dan guru-guru mereka, dan orang tua dan guru mereka haruslah menapakinya dengan lembut.

Roy Martin Simamora
Latest posts by Roy Martin Simamora (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!