Jiwa yang Sakit

vitogoni.deviantart.com

Kebencian seperti meminum racun

Lalu kamu berharap racun itu membunuh musuhmu.

Nelson Mandela

 

Waktu acara aqiqah anak saya, O’zer, salah satu kolega yang saya undang via WhatsApp memberikan tanggapan yang membuat saya menyesal mengundangnya. Ia bertanya, “Itu acaranya ngaji al-Qur’an atau apa, Pak?”

Wah gawat, benar dugaan saya selama ini, dia termasuk golongan muslim penjunjung gamis dan anti tahlilan, begitu sontak gumam batin saya. Saya lalu mikir beberapa waktu mencari jawaban teraman. Jawaban saya kemudian jadi begini: “Iya, Pak, acara kampung, saya ngikut aja kebiasaannya….”

Saya lalu lebih berharap dia tak datang saja. Sungguh saya khawatir rangkaian acara nanti malam tak sesuai harapannya, lalu dia menjadi kecewa. Dampaknya tak baik buat persahabatan dan kerja sama kami selama ini.

Di antara keriuhan tamu yang membludak sampai harus berjejer di jalanan depan rumah di atas tikar yang digelar ala kadarnya, dia datang. Memegang al-Qur’an kecil di tangan kanannya. Saya menyalaminya dengan selayaknya saya menyambut semua tamu, lalu menyilakannya duduk di barisan depan, di sebelah saya.

Acara pun dimulai. Berkali-kali saya meliriknya yang memejamkan mata. Acara aqiqah ini memang akhirnya diisi dengan tahlilan, yang kata Mbah Kaum kita niatkan untuk para anggota keluarga saya yang telah mendahului.

Dari awal “ila hadrati…” saya lihat dia turut membacakan semua rangkaian tahlilan itu. Semuanya! Al-Qur’an hanya dipegangnya di tangan kanan. Sampai selesai.

Ah, betapa buruknya prasangka yang telah melubangi hati saya. Prasangka bahwa dia termasuk golongan muslim yang anti tahlilan, yang mengklaim ritual tersebut sebagai bid’ah, wa kulla bid’ah dhalalah, telah menjungkalkan saya pada keburukan-keburukan pikiran dan hati. Saya telah memvonisnya dengan semena-mena, berharap dia tak datang saja ke acara saya yang saya sendiri yang telah mengundangnya.

Boleh jadi dia sesungguhnya benar-benar tak suka dengan rangkaian acara tahlilan tersebut—ah, ternyata saya masih saja menyimpan prasangka, ya. Tapi bukankah itu tak penting, sebab yang lebih penting dia datang memenuhi undangan saya sebagai rasa hormatnya pada saya, lalu duduk manis seperti hadirin lainnya, turut komat-kamit membacakan doa-doa, dan pulang dengan baik-baik saja? Ya, kan?

Itu artinya, kalaupun benar dia tak suka dengan acara tahlilan, sejatinya ia memilih melakukan sikap terbaiknya sebagai manusia di hadapan sebuah undangan dan acara tahlilan tersebut? Lalu apanya yang salah dan perlu dipermasalahkan?

Tak ada. Sama sekali tak ada!

Benarlah Mandela, segala bentuk kebencian, ketidaksukaan, termasuk dendam, yang bergolak di kepala dan hati kita, kepada siapa pun dengan alasan apa pun, bekerja seperti racun. Kita menelannya. Kemudian kita berharap racun tersebut akan membunuh orang yang kita benci, kita tak suka, atau kita dendami.

Siapakah yang benarnya terbunuh racun itu?

Bukan dia, bukan musuh kita, tapi sebenar-benarnya kita!

Kita sendirilah yang terbunuh oleh kobar kebencian itu, prasangka itu, ketidaksukaan itu, dendam itu. Hidup kita, pikiran dan hati, seketika menjadi sedemikian memarnya oleh gangguan-gangguan mematikan racun itu. Menjadi resah, sempit, dan riuh.

Padahal, semua kita sungguh-sungguh telah selalu mafhum lahir batin bahwa pilihan hidup, aliran, paham, pandangan, hingga kepentingan setiap orang merupakan hak mutlak yang tak layak disinggung siapa pun, sepanjang tidak merugikan siapa pun. Pilihan adalah cara setiap kita menjadi manusia, yang tak harus sama atau dipaksa sama dengan dalih apa saja, tetapi mengapa kita begitu sulit untuk menegakkan panji permakluman itu?

Merasa benar, merasa terbaik, merasa terkudus, demikian banjaran kepongahan yang kita rajin sekali merayakannya di dalam pikiran dan hati kita. Yang lainnya diposisikan di bawah kita, yang seharusnya meniru pilihan kita, yang seyogianya kita ajak kepada jalan kita (mungkin dengan sebutan dakwah), agar sejamaah dengan kita, agar sama-sama benar dan selamatnya.

Sakit benar kita ini!

Kita sungguh-sungguh tak pernah tahu apakah benar jalan yang kita pilih dan tempuhi adalah sahih dan lurus, tetapi kita selalu gemar sekali menyatakan jalan pilihan orang lain sebagai salah dan bengkok. Kita yang umpama tak benar-benar tahu wujud gajah itu seperti apa, lalu kita mengatakan gajah itu wujudnya pipih lebar, lantas kita olok-olok dan benci orang lain yang mengatakan gajah itu wujudnya panjang dan bulat. Kita menuding pandangan orang lain salah, buruk, dan sesat, atas dasar pandangan kita yang sejatinya sama-sama tidak mutlak-valid-benar, dan hanya Dia yang tahu kesejatian benarnya. Kita lalu melangkah jauh membencinya. Memusuhinya bahkan. Mengharapkannya mati saja agar tak merusak kedaulatan kebenaran itu.

Betapa parahnya sakit kita ini!

Saya lantas esoknya berkirim WhatsApp padanya, menyampaikan banyak terima kasih atas hadirnya, dan doanya, dan memohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Dia membalas dengan ringkas, “Semoga dia jadi anak yang shalih, amiinnn….”

Sungguh saya malu. Tak terperi. Malu atas prasangka tak berdasar yang telah melubangi pikiran dan hati saya tentangnya. Malu sebagai manusia.

Sebagaimana Anda, saya ternyata masih saja sakit jiwa….

 

Jogja, 3 Agustus 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!