Bukan kecelakaan lalu lintas yang baru terjadi sepuluh menit yang lalu. Orang ramai mengerubungi dua sedan, masing-masing dengan kaca depan bagian kiri bolong. Jendela di sebelah mobil kedua juga bolong. Joktonwe melakukan tindak anarkis. Ia yang melempar bertubi-tubi ke kaca depan dan jendela mobil yang menyebabkan difraksi kaca menyebar. Tindakan brutalnya menyebabkan dua bocah meninggal, Maryam Lalita dan Cu Yen. Ibu Cu Yen pingsan, di bagian kepalanya terkena lemparan batu ketiga Joktonwe, setelah batu pertama dan kedua dari arah depan meretakkan kening dan hidung serta dagu Cu Yen. Saat ibunya memeluk wajah Cu Yen yang sudah berlumuran darah, ia duduk sebangku dengan putri sulungnya yang menginjak usia tiga tahun itu. Lagi manja-manja dan banyak ingin tahunya.
Satpam perumahan yang sedang jaga di pos berhamburan. Masing-masing menggendong dua anak korban. Satpam yang lain menghentikan lalu lintas yang sedang ramai. Matahari sudah lepas sepenggalah. Ibu Cu Yen secepatnya digotong ke mobil yang kebetulan melintas di lokasi perempatan, guna melarikannya ke rumah sakit terdekat. Kedua ayah anak malang berdiri dengan tubuh dan bentuk wajah tak beraturan. Menggeletar, pucat pasi layaknya mayat hidup.
Dua mobil maut dibiarkan tidak didorong ke pinggir. Tak berapa lama, sirine mobil polisi dan ambulans mengalun-alun bergelombang. Dua korban dimasukkan ke ambulans. Sementara di jalan terusan arah utara, mobil ambulans lain memasukkan tubuh Joktonwe yang pingsan setelah tersungkur saat hendak melarikan diri. Garis polisi di pasang begitu ambulans meninggalkan TKP. Persimpangan yang menjadi jalan keluar satu-satunya dari arah selatan bagi warga dalam Desa Lau Megendang ramai kembali. Demikian juga mobil berselonjoran keluar dari arah barat, mulut perumahan yang dihuni warga kelas atas. Rumah-rumah berharga miliaran dilengkapi dengan taman-taman ala Byzantium.
Sudah setahun ini terjadi gesekan antara warga dan pihak perumahan yang ingin menutup jalan. Sebabnya jalan alternatif belum dibangun. Kalau pun ada jalan memotong keluar desa ini menuju jalan raya, jalan atau gang kecil yang ada, yang tak mungkin dilalui kendaraan bila harus berselisih. Sempit menahun kalau harus jadi pilihan. Setengah luas kecamatan ini sudah ada desas-desusnya akan dijadikan pemukiman elite. Warga tak kan bisa mengelak atau bertekak kalau sudah kemauan konglomerat dan penguasa.
Kelak bertahun-tahun sesudah peristiwa ini, Joktonwe si pelaku anarkis, tak pernah mengakui kalau dialah yang telah membunuh Miriam, putri Abdul Manan, pemilik toko emas di beberapa kota besar, dan Cu Yen, cucu konglomerat perumahan megah, yang salah satu rumahnya di kompleks ini bak istana Persia. Pengakuan Joktonwe, bahwa ia hanya melempari dua mobil itu, tidak melakukan pembunuhan. Sama seperti ketika ia membakar barak para kuli bangunan perumahan tiga tahun sebelumnya. Waktu itu beberapa orang kuli mengalami luka bakar. Joktonwe ditangkap polisi, diamankan selama tiga tahun. Pengakuannya, ia hanya ingin membakar barak, bukan melukai siapa pun. Sementara pada hari naas kematian dua bocah ini, Joktonwe baru saja kembali datang ke desanya untuk melihat keadaan ibunya.
Marnisyah bukannya bahagia dengan pertemuannya dengan Joktonwe yang sudah tak bertemu selama tiga tahun. Setelah saling berpelukan, Joktonwe mengeluarkan berbagai hadiah untuk ibunya. Barang-barang mewah. Tak lupa segepok uang. Marnisyah justru berkata, “Kau bukan anakku, hey anak muda. Dan aku bukan ibumu.”
“Mengapa, Bu? Ada apa?”
“Joktonku tidak sewangi tubuhmu. Ia selalu berkeringat lapar, bau kemiskinan lekat di tubuhnya,” Marnisyah berlalu meninggalkan Joktonwe yang terpelongo. Joktonwe mengikuti Marnisyah, penasaran. “Joktonku kurelakan telah berkalang tanah, kau tahu itu!”
“Aku Jokton, Bu. Fitria adikku, dan Johan abangku.”
“Mereka bukan saudaramu!” bisik Marnisyah ke telinga Joktonwe yang berdiri di sebelahnya menghadap keluar di pintu dapur yang rangka atapnya hampir mengenai kepala Joktonwe.
“Terus, aku anak siapa?”
“Coba kau masuk ke dalam kamar yang dulu kau tempati. Kamar tempat kau dulu menempa diri menjadi seorang laki-laki!”
Rumah retak Marnisyah menjadi perhatian tetangga sekeliling sesama warga miskin, sebab kehadiran seorang anak muda berpakaian necis. Memarkir mobil di tepi jalan sepandangan dari masing-masing rumah.
Dulu rumah Marnisyah, sesudah suaminya meninggal, masih tiga kali lipat luas bangunan dan halamannya dari yang dimilikinya sekarang. Ia dengan air mata darah terpaksa merelakan bagian yang hilang karena terjerat rentenir, meminjam uang untuk biaya Fitria bekerja sebagai TKI. Hingga hampir dua tahun lebih gadis itu tak pernah berkabar. Maka pihak rentenir mengambil bagian tanah, sesuai dengan janji.
Joktonwe membuka lemari rendah dua pintu yang sudah sangat tua. Begitu terbuka, wangi kapur barus menyeruak. Disaksikannya baju-baju lamanya masih tergantung rapi. Termasuk baju terakhir dan celana pendek cutbray sebetis yang dikenakannya waktu melakukan pembakaran terhadap barak para kuli. Ia angkat stelan itu, menciumnya. Tercium masih bau tanah dan keringat tubuhnya yang lengket di baju kemeja batik murahan. Marnisyah memang tak pernah mencuci baju dan celana itu. Saksi bagi jihad anaknya.
Dilihatnya ke sekeliling dinding berbagai catatan-catatan dan gambar unyang dan atok, pasangan ayah ibunya. Kemudian memutar kembali kepalanya ke lemari. Diraihnya baju dan celana pendek saksi perbuatannya. Dilepasnya baju yang dikenakan beraroma bau parfum berkelas. Dipakainya baju kenangannya. Kemudian duduk di bangku tua menghadap cermin lemari yang sudah kabus.
Beberapa saat duduk merenungi wajahnya yang sudah berubah karena faktor usia, berkelebat dalam cermin wajah masa pubernya dulu, waktu setamat SMA. Lalu ia ingat pula batu-batu mangga yang disimpannya di sudut dalam lemari. Dirabanya karena gelap. Masih ada. Tiga plastik batu intifada, begitu Joktonwe menyebutnya. Diangkatnya dua plastik berisi batuan. Ia letakkan di depan kursi, digapit kakinya. Kembali ia bercermin. Kini, ia betul-betul merasakan suasana tiga tahun yang lalu. Perasaan ingin menghancurkan bangunan rumah mewah yang dianggapnya rumah para borjuis yang terletak persis di depan rumahnya. Warga sekitar dua puluh rumah-rumah reyot di sini memang bisa memandang ke perumahan mewah tanpa halangan, sebab terletak di tanah yang lebih tinggi. Santer pula kedengaran akan dibeli oleh pengembang.
Batu-batu intifada, sebelumnya sebagai upaya merondokkan agar tak ketahuan polisi yang menggeledah rumahnya, batu-batu disusun Marnisyah menjadi lantai periginya yang masih berfungsi hingga kini. Tapi ibunya yang punya aura sedarah dengan Joktonwe membersihkannya kembali, memasukkannya ke dalam plastik. Mengembalikannya ke dalam lemari.
Sekonyong-konyong tak ada kata-kata yang mendahului, Joktonwe keluar menerobos jendela bak rambo, dengan menenteng plastik berisi batu. Jerjak jendela yang terbuat dari kayu berserakan tanpa menimbulkan derak karena lapuknya. Tak jauh berlari ke persimpangan, Joktonwe pun melakukan tindakannya pada kedua mobil naas yang sedang berjalan lambat keluar dari perumahan.
Marnisyah tak peduli dengan cerita orang yang berdatangan ke rumahnya mengabarkan Joktonwe melempar dua mobil dan menyebabkan dua orang korban. Ia meneruskan pekerjaannya melepas daging kemiri dari batoknya.
“Pekerjaan ini yang jelas jadi uang yang halal. Biar polisi dan pengadilan yang mengurusnya!” tandas Marnisyah sambil mendorong pisau berujung lancip menerobos hingga ke dasar tempurung kemiri. Ia sudah bertahun-tahun mengambil upahan melepas daging kemiri dari batoknya––sesudah pensiun menjadi babu China––dengan upah tak sampai lima ratus rupiah sekilo. Baginya pekerjaan ini mulia, walau dengan upah sedikit saja lebih besar dari upah nenek-neneknya dulu mengutip ulat-ulat tembakau di perkebunan milik Belanda.
Hari keseratus meninggalnya dua putri kesayangan keluarga diperingati dengan khidmat. Engkong Cu Yen yang sangat-sangat terpukul datang di acara menyeratus almarhum cucunya di rumah Sofyan anaknya, yang masih berada di area kompleks. Ia sedikit terhibur dari dukanya. Ia datang bersama Chai Ha, istrinya yang baru keluar dari rumah sakit karena mengalami shock.
Keesokan harinya, Engkong Cu Yen, konglomerat real estate yang punya kekayaan dua puluh tingkat di bawah Donald Trump, memanggil Manaf, orang kepercayaannya, yang sekaligus besannya. Istri Sofyan adalah anak kandung Manaf. Sofyan memeluk Islam karena menikah dengan Farida Ardani. Cu Yen, anak mereka satu-satunya bernama lengkap Fatimah Cu Yen.
Masing-masing dua sahabat ini meneguk kopi hangat asli arabica di ruang paling luks di istana kediaman Engkong Cu Yen. “Apa yang harus kulakukan dengan keadaanku ini, Manaf?” Engkong Cu Yen memulai pembicaraan. Manaf tak tahu berkata apa. Wajahnya menyunggingkan senyum pahit. Cu Yen juga cucunya.
“Jangan berat kau mengatakan apa pun, Manaf. Begini, tadi malam aku merenung hingga larut baru bisa tidur. Hampir saja aku menelepon Dokter Han kembali. Lalu aku mandi membersihkan tubuhku. Tak berani aku melihat lagi foto Cu Yen. Aku berniat agar foto-foto Cu Yen di kamar dan di ruang-ruang lain diturunkan.”
“Itu bagus, Tuan, untuk perlahan-lahan membuat lupa. Dan keyakinan baru ditumbuhkan pula bahwa suatu waktu kita-kita akan bertemu dengan almarhumah kembali.”
“Malam tadi aku sudah dengar dari Sofyan. Tadi malam selepas acara, Sofyan mengantarku dan menyatakan perasaannya. Farida juga ikut. Menurut Sofyan, Cu Yen adalah anak surga. Belum berdosa sebesar biji sawi pun. Maka Tuhan yang maha adil dan penuh kasih sayang, menempatkannya kelak di surga.”
“Begitulah ajaran Islam, Tuan.”
“Ya. Yang aku paling suka mendengar cerita ketabahan Cu Yen yang hebat sebagai seorang anak. Bahwasanya Cu Yen tidak mau masuk ke surga sebelum ayah ibunya turut masuk surga sesudah pengadilan akhirat. Ia menanti di pintu surga ….”
Air mata Engkong Cu Yen membasahi pipi dan ia melap wajahnya dengan telapak tangannya. Sedu sedannya keluar sederet dengan tarikan napasnya.
“Bukan saja kedua orang tuanya, Tuan. Tapi juga orang-orang yang menyayanginya pasti kelak bertemu dengan Cu Yen.”
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan, Manaf? Keluarkan aku dari duka yang dalam ini. Seandainya seluruh harta dan kekayaanku habis. Istana-istana dan rumah mewah yang kubangun rata kembali dengan tanah, biarlah. Biarlah, asal aku bisa hidup bersama cucuku Cu Yen dan neneknya Chai Ha. Sekalipun harus hidup di bawah pohon bambu. Bantulah aku Manaf.”
“Tuan, maaf. Seandainya sesudah kata-kata yang kuucapkan ini membuat Tuan benci padaku, lakukanlah. Hanya kata-kata ini yang bisa kusebutkan.”
“Manaf, kau orang paling jujur yang kukenal sepanjang hidupku.”
“Sujudlah Tuan. Letakkan kening tuan ke tanah yang suci.”
***
Di tempat lain, di rumah komandan polisi Anwar Sadat, yang tak lain tempat Joktonwe selama tiga tahun berada, karena kepolisian memerlukan pemuda-pemuda berani seperti Joktonwe. Sama juga seperti para teroris yang dideradikalisasi, Joktonwe masih dalam pengawasan ketat kepolisian. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip ia bukan seorang pembunuh. Hasan Munjir, sepupunya yang dulu sering melarangnya untuk tidak menyimpan dendam, terus mendampinginya. Statusnya kini seorang pengacara. Psikolog Junkern de Geseu asal Jerman telah mendapat bahan disertasinya yang hampir cukup selama tiga tahun mendampingi Joktonwe. Junkern memerlukan data langsung kehidupan anak cucu para koeli Jawa di masa cultuurstelsel Hindia Belanda.
“Kalaupun aku pembunuh, sepupu Hasan,” Joktonwe menepuk bahu Hasan yang dipanggilnya dengan tutur sepupu, yang berarti setara, “kupikir itu hanya petunjuk Tuhan untuk keadilan. Agar orang-orang sadar. Rupanya gen darahku tak bisa hilang, atau lumpuh atas trauma masa lalu ayah, ibu, atok dan unyangku terhadap ketidakadilan. Kau tahu, sepupu Hasan, sejak sekolah menengah, bahkan masih di sekolah dasar, aku terlalu sering mendengar cerita langsung bagaimana kompeni memperlakukan atok-atok kita. Di tanah bekas orang-orang malang darah dagingku diperbudak Belanda bahkan Jepang itulah mereka kini mendirikan rumah-rumah mewah dan mengulikan kembali Lek Jurno, Kang Mimin, dan … ah, pokoknya semua laki-laki dan perempuan keluarga dan tetangga kita. Kau malaikat, Hasan? Malaikat?!”
Hasan termangu. Dalam hatinya berdoa agar Joktonwe mengakhiri murkanya. Sebab kalau sudah begini, Joktonwe terpaksa harus didinginkan dengan cerita tema ikan-ikan yang dipeliharanya di kolam belakang rumah khusus Komandan Anwar Sadat. Dulu, sewaktu ingin membakar barak, Hasan capek memperingatkan Joktonwe, yang bernama lengkap Joko Tono Waliyullah ini menolak dan bahkan memandang remeh Hasan sebagai mahasiswa hukum.
- Joktonwe - 31 December 2021
- Sebatas Mematut Judul - 3 May 2018
Zahra
Hai kak . Aku mahasiswa dari kota Makassar yg ingin berkarya seperti Kaka. Dan sya ingin juga menulis sebuh cerpen . Tpi kurang tau untuk memposting cerpen ku.
halub
Mari main main aja dulu ke cerpenmu.com, nanti baru ke tingkat berikutnya