Pada usia 55 tahun, Jorge Luis Borges menderita buta total!
Sudah pasti, deraan gangguan ini sangat serius baginya. Bagaimana ia bisa melanjutkan kegiatan intensifnya selama puluhan tahun sebelumnya dalam berkarya—tentunya pula membaca?
Ia juga tidak pernah belajar huruf Braille. Tetapi, justru, dalam kebutaannya, menurut banyak kritikus sastra, Borges berhasil menciptakan simbol-simbol literer yang inovatif melalui imajinasinya. J.M. Coetzee sampai mengatakan, “Borges, lebih dari siapa pun, telah memperbaharui bahasa fiksi dan dengan demikian membuka jalan bagi generasi Spanyol-Amerika yang dahsyat.”
Saya membaca Borges. Bacaan terbaru saya ialah kumcernya yang berjudul “Utopia Seorang Lelaki yang Lelah” (2017), diterjemahkan dengan ciamik oleh David Setiawan dan disunting Tia Setiadi. Setiap membaca karya-karya Borges, saya selalu teringat pada sebuah ilustrasi yang saya imajinasikan sendiri perihal “cara menulis” Borges.
Borges (saya imajinasikan) mengais segenggam pasir di pantai, mengepalnya kuat-kuat, lalu meletakkan pasir-pasir yang tentunya telah bercampur berbagai partikel lainnya, seperti debu, kerikil, pecahan kerang, serpihan kaca, mungkin pula sobekan kertas cinta, dll., lalu meletakkan di atas meja, di depan saya, dengan sangat rapi dan karenanya saya tidak melihatnya sekadar tumpukan pasir, tetapi “sesuatu” yang memukau. Saya takjub pada ketelitian dan kerapiannya dalam menata begitu banyaknya partikel dalam genggamannya di atas meja. Menjadi satu rangkaian, satu cluster, satu panorama! Satu impresi; satu pertanggungjawaban!
“Caramu bercerita sungguh memukau! Kau mirip pengigau,” kata Mariana (tokoh dalam cerpen Borges, “Kehendak Bebas dan Sang Commendatore”).
Pada cerpen “Kawan yang Khianat” (hlm. 7-17), misal, Borges berkisah tentang sosok Santiago Fischbein, seorang pemilik toko barang antik berbadan besar, lalu Carlyle yang berkata, “Orang-orang butuh pahlawan untuk dipuja.”, juga Ferrari, serta seorang asing berambut panjang dan berkumis, Eliseo, Juan Moreira, Sheeny, dewa, aku, dan masih banyak lainnya. Begitu pun pada cerpen “Orang Ketiga” yang di dalamnya memuat narasi “menyakitkan” begini: Di lingkungan sekeras itu, seorang lelaki tak pernah mengakui—bahkan tidak kepada dirinya sendiri—bahwa pentingnya perempuan tak lebih dari perkara berahi dan kepemilikan….
Pertanyaan di dalam hati saya selalu menggelepar begini: bagaimana Borges mampu mengisahkan banyak sekali partikel, item, lokasi, nama, hal, filosofi, perspektif, dan konteks pada satu cerpen sekaligus dengan teramu rapi, mengalir, dan impresif?
Ini sungguhlah tak mudah bagi siapa pun—bahkan para master teknik prosa sekalipun. Ini dapat dibayangkan kita dituntut untuk memikirkan banyak hal sekaligus pada satu titik, lalu meraciknya dalam satu impresi ide cerita, merangkaikannya satu dengan lainnya secara harmoni-domino, dengan rapi, detail, teliti, tidak split of logic. Sulit, sungguh sulit!
Dapat diniscayakan bahwa perkara pekik kesulitan ini berkaitan erat dengan jelajah bacaan, berjubelnya file ingatan yang telah tersimpan di dalam kepala dengan sangat baik, juga sokongan pengamatan panca indra, yang bersekutu “mencitrakan” ide cerita itu dalam keluasan dan bahkan keliaran imajinasi. Bagaimana saya mengatakannya kepada Anda, bahwa semua proses itu tidaklah mungkin diemban oleh kita-kita yang penuh keterbatasan bacaan, perspektif, pengamatan panca indra, dan jelajah refleksi dan imajinasi?
Lalu, dengan latar belakang demikian, terjadilah petaka paling mengerikan itu: buta mata! Membaca dan mengamati kemudian menjadi aktivitas yang muskil lagi. Ajaibnya, Borges tetap bisa melaju sedemikian memukaunya!
Bagaimana bisa?
Richard Bernstein, di The New York Times, meyakinkan kita, “Hanya Borges yang sanggup menulis dengan racikan semacam itu, kendati seseorang bisa saja menyangka bahwa karya-karya itu bersumber dari ragam inspirasinya, misalnya Edgar Allan Poe dan Franz Kafka, Ralph Waldo Emerson dan Miguel de Cervantes, dengan sedikit cita rasa liberal dari Omar Khayyam, Kabala dan Islam, dan banyak pengaruh dari bacaan esoterik.”
Borges rupanya telah berkelana ke seantero dunia, khazanah Timur dan Barat. Sebelum buta!
Tabungan Bacaan
Jika Anda sedang mengidap gangguan hipertensi, lalu dokter melarang menyantap sate kambing, mungkinkah Anda berkisah tentang lezatnya sate kambing kepada kawan-kawan Anda yang sedang menikmati sate-sate kambing di warung sate klathak Pak Pong, Jejeran?
Mungkin. Jika Anda sudah pernah memiliki pengalaman menyantap sate-sate kambing bertahun silam. Sesuatu yang pernah dialami, dilakukan, pastilah sesamar apa pun tetap melekat dalam ingatan. Itulah tabungan ingatan, yang dalam konteks ilmu pengetahuan dapat disebut “tabungan bacaan”.
Pada cerpen yang berjudul “Kisah Hidup Tadeo Isodoro Cruz (1829-1874)”, uraian biografis tentang tokoh tersebut begitu subtil, layaknya kita membaca sebuah catatan biografi. Satu-satunya narasi yang menyebabkan kisah ini “sahih” disebut cerpen ialah bagian ini: Bukan maksudku untuk mengulang kisah hidupnya. Pada malam dan siang saat perawiannya, aku hanya meminati salah satu kisahnya; sisanya, aku tak cerita apa-apa selain yang penting untuk memahami satu malam itu saja.
Ini satu bukti bahwa tabungan bacaan Borges menyumbangkan kekayaan ilmu pengetahuan pada cerpen tersebut, di satu sisi, dan di sisi lain, dengan ditopang kejunilan imajinasinya, ia bisa merangkai sebuah biografi menjadi cerpen yang “main-main” dan menggerakkan dobrakan-dobrakan pada mainstream cerpen. Ia menyuguhkan ilmu pengetahuan sekaligus mempermainkannya kemudian. Sebuah cara menyajikan ilmu yang cukup kurang ajar!
Maka, meski gegabah, saya tertarik sekali untuk menyatakan bahwa tabungan bacaan, jelajah bacaan, niscaya berbanding lurus dengan kedalaman dan keluasan imajinasi, dan pada gilirannya menghantar pada kekayaan gaya bercerita.
Inilah masalah serius kita yang bergerak di bidang karya kreatif sastra—puisi, cerpen, lakon, novel.
Kita telah menyaksikan bukti-bukti nyata atas tesis ini. Di negeri kita, sejarah kreatif Chairil Anwar yang mahir banyak bahasa asing, gemar membaca, meski dengan cara misal mencuri buku atau meminjam buku dan tak pernah mengembalikannya, menunjukkan pencapaian dekonstruksionisnya pada langgam Pujangga Baru yang digawangi Sutan Takdir Alisjahbana. Tanpa Chairil Anwar, kata H.B. Jassin, takkan ada Angkatan 45. Tanpa Borges, realisme magis sangat mungkin untuk tidak pernah semarak di ranah teks sastra.
Kita bisa pula menabalkan sosok Seno Gumira Ajidarma yang di tahun 1996, awal-awal saya belajar menulis cerpen, pernah membuat saya terhenyak dengan kumcer “Saksi Mata”. Seno begitu sanggup mengisahkan apa pun dengan cara apa pun, dengan konten yang memukau—seolah ia adalah manusia yang “serba tahu”. Dapat dipastikan, Seno telah memiliki “tabungan bacaan” yang luar biasa. Bukan hanya membaca Danarto atau Hamsad Rangkuti, tetapi juga Borges!
Mari pungkasi pelajaran Borges ini dengan menukil gaya berceritanya pada cerpen “Kehendak Bebas dan Sang Commendatore” yang panjangnya 43 halaman!
Di opening, Borges menuliskan:
Napi di sel 273 itu menerima Nyonya Anglada dan suaminya dengan kepasrahan yang gamblang.
“Aku akan langsung ke intinya dan menghindari bertele-tele,” Carlos Anglada berjanji dengan takzim. “Otakku bagai sebuah kulkas besar. Situasi sekitar kematian Julia Ruiz Villalba—dipanggil Pumita oleh teman sebayanya—masih mendekam di pembuluh kelabu ini, masih segar. Dengan saksama, aku harus jujur; aku harus memandang masalah ini lepas dari deus ex machina. Aku bermaksud menawarimu pemeriksaan silang fakta-faktanya. Aku mendesakmu, Parodi—jadilah saraf pendengar.”
Di ending, dia menuliskan:
“Mungkin dikarenakan aku telah amat lama tinggal di penjara ini sehingga aku tak lagi percaya dengan penghukuman. Semua orang mendapatkan cukup penghukuman dalam tindakan salahnya sendiri. Tidak benar bahwa orang jujur menjadi algojo orang lain. Commendatore hanya punya umur beberapa bulan lagi. Buat apa buang-buang waktu memberitahu mereka tentang kondisinya dan tanpa juntrungan membuat gaduh sekumpulan pengacara, hakim, dan kepala polisi?”
Terbayangkah kita untuk menuliskan “kulkas besar” untuk menyifati “otak, ingatan”; “pembuluh kelabu” untuk “ingatan segar”; “saraf pendengar” untuk “menyimak dengan saksama”—itu dalam hal diksi? Bagaimana lagi dalam hal alur, penokohan, dan pesan moral—suatu impresi yang tak pernah ditinggalkan Borges atas nama bentuk-bentuk bercerita; suatu tanggung jawab moral dan ilmiah kepada pembaca ceritanya?
Dan, ssttt, satu lagi: cerpen ini oleh Borges didedikasikan kepada Nabi Muhammad Saw. Tak usah kaget….
Blandongan, Jogja, 10 April 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
WN Rahman
Setahu saya Gray Matter tidak diterjemahkan jadi pembuluh kelabu. Tapi, ya, he is like a scientist.