Kabut Asap dan Kekayaan yang Dijual Murah

Kabut Asap
Sumber gambar liputan6.com

Suatu senja—ah saya tidak ingin membawa pembaca dalam suasana romantis ala Seno Gumira Ajidarma, sungguh—saya iseng saja membuka kitab suci para editor buku se-Indonesia alias KBBI, mencari makna dari istilah “kuping tebal”. Hanya memastikan tidak ada penambahan makna, sebab dengan keluarnya versi terbaru, maka akan ada pula penambahan-penambahan di sana-sini.

Jujur saja, sebagian kita pernah menjadi orang-orang berkuping tebal. Renungkan saja, ada kalanya kita menutup telinga dari nasihat-nasihat yang baik ataupun kehilangan rasa malu. Ada kalanya egosentrisitas kita demikian tinggi hingga mengenyampingkan kebaikan-kebaikan yang mungkin itu berasal dari bisikan malaikat di samping kita—jika kita percaya dengan keberadaan malaikat tentu saja. Ujung-ujungnya, kita lalu menyesali mengapa tak membiarkan hati kita sedikit terbuka dan memberikan waktu ketimbang sibuk mengeluarkan bantahan-bantahan demi kebenaran yang semu.

Beberapa hari yang lalu, berbekal sebuah tiket pesawat kelas ekonomi rasa kereta api eksekutif, saya menyempatkan diri pulang ke kota nan jauh di ujung Sumatra, di mana rumah orang tua saya berada, di mana orang-orang bermarga Lubis—dalam adat Mandailing dianggap saudara, ah meski sebenarnya tak punya hubungan darah sama sekali—menjadi tetangga kanan kiri, di mana segalanya serba berbeda dengan nuansa Jawa termasuk dalam watak keras manusianya.

Ada sesuatu yang berbeda menyambut kedatangan pesawat yang menjelajahi udara selama 2 jam 45 menit. Baru saya sadari ketika masuk ke dalam mobil yang dikendarai ayah saya meninggalkan jalanan lurus mulus Bandar Udara Internasional Kualanamu. Mendung hari itu, karena kabut asap kata ibu saya. Dua bulan lalu, saya masih bisa menikmati terik menggigitnya matahari. Hari itu, saya menarik napas dalam-dalam, sampai juga ke mari, batin saya. Tapi udara masih seperti biasa, syukurlah.

Medan adalah kota terbesar ketiga Indonesia dalam hal luas wilayahnya, tapi menjadi kota besar pertama yang mulai digerogoti kabut asap kiriman dari bagian lain Pulau Sumatra. Konon katanya, tinggal Lampung dan Aceh yang masih berhasil “melarikan diri” dari kepungan asap hasil pembakaran hutan. Jauh sebelum saya menginjakkan kaki, warga Singapura sudah lebih dulu dibuat menderita hampir tiap tahun. Sungguh tak terbayang betapa malunya kita menjadi bangsa yang menebarkan keburukan pada bangsa lain. Jika kita kerap mencaci Israel dengan tindakan genosida terhadap bangsa Palestina, atau membenci setengah mati Hitler atau kekejamannya pada orang Yahudi. Lalu apa kabar dengan asap yang telah merusak dan membunuh begitu banyak orang? Apa bedanya itu dengan genosida meski perlahan-lahan?

Mungkin—saya lalu berpikir sinis—mungkin tindakan ini akan “pasti” berakhir jika si kabut asap sudah menyelimuti langit Jakarta, setiap hari menghalangi matahari bersinar di atas istana kepresidenan, mengacaukan trafik penerbangan di Soekarno-Hatta, membuat rumah sakit penuh karena warga semua usia datang dan pergi mengeluh sesak napas dan mata perih, kegiatan belajar mengajar dihentikan ketimbang makin banyak korban berjatuhan. Tapi, alhamdulillah, Tuhan masih melindungi ibu kota kita tercinta. Sehingga, bersabarlah wahai orang-orang Sumatra dan Kalimantan, ini memang cobaan berat. Tuhan bersama kita semua. Amin.

Kabut asap masih menjadi prioritas nomor sekian, karena saking banyaknya urusan pemerintah yang belum selesai, termasuk pembagian keuntungan antara Freeport dan Indonesia. Katanya terlalu kecil keuntungan yang dibagi, tapi kontrak masih saja diperpanjang meski belum ada kata sepakat dari kedua belah pihak. Wacana tinggal wacana. Bisnis adalah bisnis.

Kita (katanya) adalah negara kaya—pake raya. Tapi kita tak senasib dengan Arab Saudi yang kemudian membangun negara dan memakmurkan penduduk. Harga bensin kualitas terbaik lebih murah dari sebotol minuman kemasan. Di luar berlimpahnya minyak bumi, bisa pula ini berkat faktor anugerah karena di sanalah terletak dua dari tiga masjid kesayangan Tuhan berada. Kekayaan negara kita dijual murah. Kemurahan hati yang ditukar dengan harga murah pula. Yang tersisa hanyalah recehan-recehan tanpa bargaining value tinggi. Lulusan-lulusan terbaik negeri ini memilih negara lain untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya selama masa kuliah. Lalu orang-orang asing semakin berdatangan mencari penghidupan mapan dengan jalur yang semakin dimudahkan. Yang repot adalah yang makin tersingkirkan karena minim kemampuan. Untuk bertahan dari kerasnya persaingan adalah sebuah tantangan teramat berat. Atau kemudian menyerah pada keadaan.

Kabut asap di Sumatra dan Kalimantan tak pernah luput dari tajamnya sorotan media massa. Sebab itulah fungsi vital sebuah media massa. Serupa yang dipaparkan profesor komunikasi massa dari University of Amsterdam, Denis McQuail dalam buku McQuail’s Mass Communication Theory. Media massa dapat digunakan sebagai alat untuk menarik dan mengarahkan perhatian kepada masalah, solusi, maupun pihak-pihak yang berkuasa maupun terkait. Media massa kita tidak menutup-nutupi yang sebenarnya terjadi. Stasiun TV berlomba-lomba mengirimkan reporter untuk melaporkan bagaimana parahnya kondisi kebakaran hutan, bahkan sempat mewawancarai salah satu pelaku pembakaran tersebut. Koran-koran tidak mau kalah mengabadikan kabut yang membuat jarak pandang semakin memprihatinkan. Namun apa daya, masyarakat tidak memiliki kekuatan super untuk bisa bergerak memadamkan titik-titik api sekaligus memberi efek jera kepada para pelakunya. Memang kuncinya ada di tangan pemerintah. Kita hanya bisa menahan kesal karena melihat penanganan yang tidak maksimal.

Yang mengalami kebakaran hutan memang tidak cuma bangsa kita. Menurut pantauan globalincidentmap.com, dalam sebulan terakhir, hal serupa juga terjadi di sejumlah titik di Amerika Serikat, seperti Nebraska, Washington, California, New Mexico, Arizona, Montana, dan Oregon. Musim panas disebutkan menjadi faktor utama begitu cepatnya api melahap hutan-hutan lebat. Bedanya, pemadam kebakaran hutan di sana segera bertindak hingga terselamatkanlah penduduk Amerika Serikat dari ancaman ISPA dan rasa malu karena mencemari udara secara massal. Setidaknya, untuk saat ini. Tahan diri untuk membicarakan dekade-dekade ke depan.

Ayolah pemerintah Indonesia, percepatlah langkah kalian dalam bertindak. Jangan menunggu sampai ada keluarga dan kerabat yang menjadi korban atau bahkan kita sendiri. Kabut asap adalah tanggung jawab kita bersama. Kita tidak akan pernah tahu, akan seberapa jauh angin lagi-lagi membawa pergi kabut asap ini. Tapi kita pasti bisa menghentikannya bahkan mencegahnya terulang kembali di tahun-tahun mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!