Kalam Berisi: Masa Lalu dan Biografi

Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936) mengenang masa masih muda, masa mengartikan hidup dengan sekolah dan kerja. Kenangan memunculkan tokoh berbangsa Eropa, bekas amtenar bestuur. Orang Eropa itu berkata: “Djika orang dizaman saja baharoe diangkat mendjadi amtenar jang dibantoekan kepada BB, maka jang lebih dahoeloe ditanjakannja ialah: dengan djalan apa saja boleh mendapat seekor koeda toenggang jang baik serta moerah poela harganja? Tapi zaman sekarang amtenar moeda itoe lebih dahoeloe akan bertanja: apa merk vulpen jang paling baik dan dimana saja membelinja?” Di buku Kenang-Kenangan (1936) terbitan Balai Poestaka itu “vulpen” di kalangan bumiputra diartikan “kalam berisi”. Percakapan orang Eropa dan Achmad Djajadiningrat itu berlatar awal abad XX. Zaman sedang bergerak, meninggalkan pikiran lawas berganti ke pikiran dan benda-benda baru. Di tanah jajahan, “kalam berisi” penentu jenis pekerjaan, status sosial, intelektualitas, dan kesanggupan menjadi manusia modern berlanggam Eropa.

Alat itu memang terlalu penting dan membuktikan kemauan orang mengubah diri di tanah jajahan. Achmad Djajadiningrat pun menggunakan “kalam berisi” dalam kerja-kerja birokrasi dan seruan memajukan Hindia Belanda melalui Volksraad. Di mata jelata, benda milik kaum terpelajar dan orang pemerintahan kolonial sering menimbulkan takjub tapi tak kebablasan ke mistis. Benda itu penentu nasib dalam urusan politik, perdagangan, hukum, dan pendidikan. Di tanah jajahan, “kalam berisi” didatangkan dari pelbagai negeri dengan pelbagai merek. Sejarah pun berubah dengan pilihan “menarikan” benda itu di lembaran-lembaran kertas atau dokumen resmi. “Kalam berisi” untuk menulis dan membuat tanda tangan, bukti keampuhan teknologi modern.

* * *

Di Indonesia, pengejaan benda itu sering berbeda: vulpen, pulpen, ballpen, bolpen, bolpoin. Kesadaran pada merek atau keinginan pamer gengsi memicu perdagangan alat tulis melalui iklan-iklan di pelbagai majalah. Di majalah Liberty edisi Mei 1931, iklan sehalaman Hahn & Co, beralamat di Surabaya: “Enak pakenja Sailor, vulpenhouders.” Benda itu dihargai mahal dan bergaransi. Bujukan dari pengiklan: “Manis keliatannja boeat pake sendiri atawa boeat kasih persent.” Benda mengisahkan gengsi si pemilik. Benda pun bisa menjadi hadiah molek berharga mahal. Di iklan, Sailor hitam dihargai f 6 dan warna hijau dihargai f  7,5.

Persaingan penjualan bolpoin tampak seru dari pembuatan iklan-iklan di majalah-majalah laris. Di majalah Kadjawen edisi 16 Juli 1938, iklan dari perusahaan impor beralamat di Bandung. Iklan bolpoin bermerek Paramount. Pengiklan memberi godaan bolpoin berwadah elok: “… dipoen wadahi ing etui koelit mawi kantjing ingkang modern, prajogi sanget kagem para prijantoen ingkang asring njerat.” Bolpoin dan wadah menentukan derajat si pemilik. Tawaran bagi orang sering njerat atau menulis. Pesan harap diperhatikan: “Ngiseni sapisan kenging kangge njerat 12.000 temboeng.” Benda itu telah diukur kemampuan saat digunakan untuk menulis. Bolpoin sanggup digunakan menulis 12.000 kata. Pihak perusahaan memberi harga f 20.

Perkara siapa pantas memiliki bolpoin semakin terjawab dengan peningkatan jumlah pendirian sekolah dan lulusan-lulusan bekerja di birokrasi, perusahaan, jurnalis, atau kantor partikelir. Jumlah pemilik dan pengguna bolpoin bertambah, memastikan berlangsung “kemadjoean” di Indonesia. Keinginan orang-orang berbolpoin diladeni bisnis alat tulis dengan pelbagai merek dan harga. Bolpoin-bolpoin di tangan mengubah drastis sejarah Indonesia, tak melulu di tangan penguasa kolonial tapi ditandingi tangan-tangan kaum bumiputra selaku pelajar, jurnalis, pengarang, guru, politikus, dan saudagar. Pada peristiwa bersejarah, bolpoin sangat diperlukan Soekarno dalam membubuhkan tanda tangan di teks proklamasi. Bolpoin itu pinjaman tanpa teringat nama si pemilik.

Pada zaman “kemadjoean” adegan memukau adalah kaum bumiputra duduk sedang menulis. Di tangan, bolpoin digerakkan di kertas. Bolpoin untuk menulis kata-kata membesarkan ide-imajinasi Indonesia. Kaum bolpoin menerima khasiat pendidikan modern. Semula, pendidikan itu dicap konsekuensi Politi Etis. Di tanah jajahan atau saat menempuh studi di Eropa, kaum bumiputra mulai berbolpoin: melakukan bantahan dan serangan ke nalar kolonialisme. Di kertas-kertas, kata-kata bertinta memungkinkan sebaran nasionalisme, sebelum digandakan dengan mesin cetak. Deretan tokoh besar bergantung ke bolpoin. Benda itu mengesahkan politik bertebaran kata-kata bertinta, bergerak ke segala penjuru.

Soekarno pun selalu berbolpoin untuk melangsungkan revolusi di Indonesia. Daoed Joesoef (2017) mengenang bahwa lukisan para seniman di Jogjakarta pernah ingin dibeli Soekarno dengan bolpoin. Soekarno sedang tak memiliki duit. Para seniman menolak secara sopan. Mereka ingin duit untuk membeli makanan dan pakaian. Soekarno terpaksa membeli dengan cara mencicil meski sudah menerangkan bahwa bolpoin itu bakal berharga mahal. Sesalan dialami setelah puluhan tahun berlalu. Daoed Joesoef menganggap penolakan seniman itu salah. Bolpoin milik Soekarno digunakan saat memberi tanda tangan di pelbagai dokumen resmi menentukan nasib Indonesia. Bolpoin pun digunakan untuk menulis pidato dan membuat catatan-catatan atau surat. Daoed Joesoef khawatir jika bolpoin itu hilang, tak selamat menjadi benda bersejarah di museum.

* * *

Di Indonesia, benda itu tak melulu milik elite politik. Di kampung atau desa, orang memiliki bolpoin atau menaruh bolpoin di saku baju bagian atas berarti mengabarkan status sosial tinggi dan intelektualitas. Bolpoin melengkapi pengenaan busana. Benda bukan cuma penghias atau pelengkap. Benda itu penting! Si pemilik menggunakan demi memberesi segala urusan, tak peduli waktu dan tempat. Dulu, saku baju berbolpoin dikenakan saat berada di kantor, rumah, dan ruang publik. Konon, benda itu istirahat saat si pemilik sedang tidur.

Pada masa Orde Baru, bolpoin semakin meramaikan lakon Indonesia. Murid-murid seantero Indonesia berhak menggunakan bolpoin, tak selalu pensil. Pada masa 1970-an sampai 1990-an, jutaan murid memiliki kenangan bersama bolpoin bermerek terkenal dan terjangkau. Bolpoin itu bernama Pilot. Iklan-iklan bolpoin semakin bertebaran di puluhan majalah terkenal, terutama majalah Tempo. Majalah itu memuat beragam merek bolpoin, mulai harga terjangkau sampai harga sangat mahal.

Majalah Tempo edisi 27 Desember 1986, memuat iklan sehalaman. Iklan bercerita Pilot: “Kelancaran serta kehalusan menulis dengan ballpen Pilot terasa lebih sempurna dibandingkan ballpen yang lain,” Di bawah, ada keterangan singkat: “Alat tulis bermutu sejak 1918.” Seabad, merek itu turut menentukan peristiwa menulis dan bertanda tangan. Kini, kita tak lagi mengalami kenangan seperti Achmad Djajadiningrat. Orang tak mewajibkan diri memiliki bolpoin atau menaruh bolpoin di saku baju. Lakon hidup mutakhir tak lagi terlalu ditentukan bolpoin.

Di Indonesia, mengingat sekian merek bolpoin seperti mengingat tokoh dan situasi zaman. Bolpoin memang untuk menulis tapi sempat menjadi penentu martabat si pemilik. Kepemilikan bolpoin memancarkan pesan saat si pemilik memegang, menaruh di atas meja, dan menaruh di kantong baju. Bolpoin pun mengartikan cara kerja orang-orang di meja kasir atau birokrasi dalam mengurusi pelbagai berkas resmi. Bolpoin ada di kesibukan mementukan identitas, perniagaan, dan pemerintahan. Bolpoin-bolpoin itu sempat menunaikan tugas-tugas besar dalam kesejarahan Indonesia, sebelum tersepelekan dan ditaruh di luar nostalgia bersama.

* * *

Kini, bolpoin hampir absen dari pengisahan besar. Orang-orang sudah jarang pamer kepemilikan bolpoin dalam menjalani peristiwa-peristiwa keseharian. Bolpoin memang masih bercerita murid dan mahasiswa tapi mengalami pengurangan pesona. Bolpoin tak seheboh saat menandai pekerjaan modern dan pembuatan identitas berlatar kolonialisme dan modernitas awal abad XX.

Bolpoin sempat juga bercerita ketekunan pengarang menggubah puisi dan cerita pendek. Dulu, Sapardi Djoko Damono keranjingan menulis puisi di buku tulis. Ia menulis dengan bolpoin. Kerja menulis dengan bolpoin menghasilkan terbitan buku berjudul Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono (2017) disusun oleh Indah Tjahjawulan. Puisi-puisi bertinta itu lanjutan dari pendokumentasian tulisan tangan milik Chairil Anwar. Selama puluhan tahun, umat sastra di Indonesia memiliki ingatan rupa atas peristiwa Chairil Anwar menarikan bolpoin di kertas-kertas. Pendokumentasian oleh HB Jassin mengingatkan tata cara menulis puisi dengan bolpoin, sebelum bersastra dengan mesin ketik atau komputer.

Pemaknaan bolpoin di sastra mungkin melampaui rutinitas murid dan mahasiswa membuat catatan atau mengerjakan soal-soal ujian. Di kalangan murid dan mahasiswa, bolpoin tentu sempat mengingatkan segala hal tanpa janji benda itu bakal dimuseumkan dan dikenang sepanjang masa. Bolpoin masih milik mereka untuk memberesi segala lembaran penting dan resmi berupa ijazah atau dokumen-dokumen akademik.

Di tangan pengarang, bolpoin berarti kerja memberi tanda tangan ke puluhan sampai ribuan buku. Para pengarang beken bergantung bolpoin demi memberi ketakjuban bagi para pembaca atau penggemar. Bolpoin untuk tanda tangan mencipta cerita-cerita turunan atas penerbitan buku sastra. Bolpoin-bolpoin mungkin lekas dibuang setelah habis tinta. Bolpoin agak jarang dikeramatkan dalam membentuk biografi pengarang. Kita masih belum memiliki ingatan atau catatan merek bolpoin digunakan oleh Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Danarto. Kita pun belum berebutan mengoleksi bolpoin-bolpoin pernah digunakan Dewi Lestari untuk memberi tanda tangan di novel berjudul Aroma Karsa (2018). Bolpoin boleh idaman atau menandai sejarah laris buku dan pengakuan pada pengarang-pengarang beken di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!