Kaleng Khong Guan untuk Indonesia lebih Toleran

Sumber gambar: khongguan.co.id

“Bisakah kita menjadi kaleng Khong Guan saja?” Saya mencoba bertanya pada diri sendiri. Papua kian memuncak dengan konflik. Beberapa media memberitakan peristiwa yang terjadi di sana meskipun kabar yang beredar, akses jaringan tak terjangkau di sana. Entah, beberapa media yang mengabarkan peristiwa terkini di Papua secara faktual atau tidak tapi bukan berarti kabar itu dianggap fake news namun hanya mempertanyakan.

Sayap bagian timur burung garuda kembali terkepak tak normal seperti biasanya. Melihat peristiwa Papua dari jauh, saya teringat dan membayangkan peristiwa masa lalu antara KGSS (DI/TII) dan Tentara Negara yang menjadikan masyarakat berada di lini tengah dan sebagai korban tentunya yang diceritakan begitu apik dalam beberapa karya Faisal Oddang khususnya dalam Tiba Sebelum Berangkat.

Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) atau pasukan Gurilla setelah bergabung dengan Kartosoewirjo berubah nama menjadi DI/TII. Tentara Negara atau Tentara Jawa saling serang dengan Tentara Islam Indonesia (TII). TII yang tidak diakui oleh negara waktu itu memutuskan untuk mencipta kerusuhan. Dalam catatan Mapata untuk Sumiharjo mengisahkan saat keduanya saling serang, warga biasa yang jadi korban. Jika perang di utara maka kami lari ke selatan, perang di barat maka kami mengungsi ke timur. Kami meninggalkan kampung yang dihancurkan perang.

Kami hidup di hutan dan menderita. Suatu waktu, Tentara Islam akan turun gunung dan mencari kami, para bissu, untuk dikembalikan jadi lelaki. Jika kami tolak, kami akan dibunuh. Tentara Jawa sama kejamnya, mereka menuduh kami mata-mata Tentara Islam, mereka akan menangkap lalu menyiksa bahkan membunuh beberapa warga yang berusaha melarikan diri (Tiba Sebelum Berangkat, hlm. 110).

Bukan hanya itu, TII selalu turun gunung dan memasuki perumahan warga saat persediaan mereka di gunung habis. Hasil panen dan binatang ternak warga menjadi sasaran mereka. Dan jika kabar tersebut terdengar di telinga Tentara Jawa maka mereka pun akan menyusuri perumahan warga dan menghancurkan sawah dan ternak warga agar TII tidak mendapatkan persediaan makanan lagi.

Keniscayaan konflik atau peperangan antar-dua kelompok adalah ada yang kalah dan menang namun hampir dipastikan, akan ada kekalahan ulung yakni kelompok yang tidak ada di antara keduanya, kelompok masyarakat biasa. Mereka, masyarakat biasa, yang tidak terlibat kepentingan antar dua kelompok yang bertikai acap kali menjadi korban meskipun fenomena kebanyakan usut punya usut bahwa di antara kedua kelompok yang bertikai, salah satunya mengatasnamakan diri bahwa tengah berjuang untuk memperjuangkan kepentingan bersama atau dalam hal ini masyarakat biasa atau bahkan keduanya tengah memperjuangkan tujuan yang sama yakni kemaslahatan masyarakat umum. Entahlah, dalih-dalih seperti itu bukan lagi rahasia umum. Siapa kawan, siapa lawan. Itu yang keseringan tampak di permukaan.

Meskipun kerusuhan yang terjadi di Papua bukan berangkat dari persoalan agama namun menyentuh salah satu pilar kebangsaan yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Perbedaan ras, agama, maupun warna kulit merupakan sunatullah. Kerusuhan yang terjadi di Papua dipantik oleh kasus rasialisme yang dialami mahasiswa Papua di Pulau Jawa.

Terjadinya rasialisme atau tepatnya menamai seseorang atau kelompok dengan tidak semestinya merupakan sebuah tindakan yang melenceng dari gagasan Unity in Diversity atau salah satu fondasi awal berdirinya negeri ini. Indonesia adalah negeri yang multikultural. Menghargai keberagaman budaya adalah keharusan di negeri ini. Lantas, apakah konsep keberagaman tersebut terinternalisasi dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita? Secara subjektif, kita bisa saja mengatakan “iya” namun secara objektif, patut kiranya ditelaah terlebih dahulu apalagi berkaca dari kasus yang dialami saudara kita di Papua.

Sebuah seminar internasional bertajuk “Minority/Majority-Managing the Harmony” merupakan rangkaian kegiatan Makassar International Writers Festival 2019 di LT Fakultas Adab dan Humaniora, Juni lalu. Acara tersebut menghadirkan penulis-penulis nasional dan internasional, salah satunya adalah sastrawan ternama Indonesia, Joko Pinurbo.

Sebelum memulai pembahasannya, Jokpin membacakan salah satu puisi terbarunya “Perjamuan Khong Guan”. Yang paling membekas bagi saya adalah saat Jokpin berada pada bait “Rengginang bersorak ketika agama-agama menyatu dalam kaleng Khong Guan”. Saya membayangkan betapa damainya Indonesia jika dihuni oleh manusia-manusia yang memiliki sifat layaknya kaleng biskuit Khong Guan.

Kita dapat menemukan kaleng biskuit Khong Guan di mana-mana meskipun isinya tidak melulu tentang biskuit, bisa berisikan kue mentega, kacang telur, dan lain-lain. Di perayaan hari-hari besar keagamaan seperti hari raya dalam agama Buddha, Hindu, Islam, Kong Hu Cu, Kristen, Protestan, dan Yahudi, Khong Guan acap kali mewarnai harmonisasi perayaan tersebut.

Konflik yang terjadi di Papua ataupun konflik yang berbau agama lainnya di Indonesia hanya mampu diminimalisir atau bahkan dihindari jika kita menginternalisasi sifat kaleng Khong Guan dalam diri kita masing-masing. Perpecahan atas dasar perbedaan mampu diantisipasi jika kita sebagai warga negara cakap dalam memosisikan diri. Indonesia yang damai dan harmonis adalah yang mampu menghargai perbedaan dan terbuka dalam berpikir.

Cara berpikir yang inklusif bukan berarti harus mengikuti sebuah ajaran atau paham yang kerap dianggap tidak sesuai dengan ideologi bangsa ini namun lebih kepada kemampuan kita untuk memahami sesuatu ketimbang membencinya. Bukankah sebuah kesalahan besar jika kita membenci sesuatu namun kita tidak memahaminya? Kekhawatiran ideologis yang berlebihan adalah tidak mendewasakan dan membungkam gagasan kritis untuk kemajuan sebuah bangsa.

Adagium “setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru” kiranya bisa ditambah bahwa segala sesuatu yang ada di semesta ini adalah guru sekaligus sekolah bagi umat manusia. Seperti halnya Kaleng Khong Guan, betapapun sederhana dan kecilnya untuk dijadikan sebuah pembelajaran namun ia mampu mengajarkan kita menjadi warga negara Indonesia yang lebih toleran.

Askar Nur

Comments

  1. Anjaaaay Reply

    mantap

  2. Adien Tsaqif Reply

    Masih menjadi pertanyaan, dimanakah ayah keluarga khong guan? wkwk

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!