Tempo
Pada suatu masa, orang-orang menggerakkan jari di angka-angka berada di benda penghitung. Perkalian atau penambahan jangan terlalu lama dipikirkan sambil merem-melek. Pijatlah angka dan tanda di situ. Jawaban lekas muncul. Lihatlah, kerja menghitung jadi enteng mirip “sihir” di jari-jari. Semula, benda itu milik orang-orang di bisnis atau kaum dagang, belum idaman para murid ngenglet di matematika. Kita mengenang benda berhiaskan tombol-tombol itu bernama kalkulator.
Di Solo, teman-teman berbelanja buku baru mulai sering berceloteh mengandung sindiran ke penerbit-penerbit. Buku-buku terbitan mereka memang cakep dan penting. Pujian meluntur gara-gara mata melihat tempelan atau pencantuman harga. “Wah, kalkulator rusak!” Penerbit diprotes menggunakan simbol kalkulator. Pengejek mengira penerbit untung besar di harga jual buku. Nah, pembeli atau pembaca keberatan pada angka-angka alias harga melebihi seratus ribu rupiah. Kalkulator milik penerbit dan pembaca buku tentu beda merek atau kesaktian.
Ingat buku, ingat kalkulator. Perkara kalkulator cenderung teringat di toko memajang buku-buku baru. Di pasar buku bekas, kalkulator bisa sengaja dirusak atau disihir demi memurahkan harga buku-buku. “Kalkulator” pedagang ada di kepala dan mulut. Mereka nyangnyangan sampai kemringet dan ngekek. Tata cara menjatuhkan harga buku di permufakatan memicu tawa. Di Solo, ada manusia bercap “kalkulator crigis”. Ia mahir “memarahi” pedagang. Serbuan kata mirip puisi paling agung melampaui puisi-puisi Afrizal Malna dan Joko Pinurbo. Di jeda ocehan, ia mengalahkan pedagang agar memberi hitungan murah untuk tumpukan buku bekas. Di Solo dan Jogja, ia terlalu beruntung mendapatkan buku-buku “bahenol” dan lawas banget cuma dengan sekian ribu rupiah. Ia bernama Fauzi Sukri. Orang-orang cemburu atas kepemilikan “kalkulator crigis”. Kalkulator bukan benda di tangan.
Kalkulator di Indonesia menuruti pengisahan lisan, belum penulisan berupa penulisan puisi, cerita pendek, dan novel. Kalkulator belum jadi naskah di pementasan teater. Kita belum pernah mendapati naskah itu lucu berfilsafat seperti naskah gubahan Iwan Simatupang atau menghibur-nggatheli mirip naskah-naskah dari Putu Wijaya. Bersastra dengan kalkulator masih penantian di Indonesia. Kalkulator memang ada di hitungan harga jual, honor, pajak, dan iklan.
* * *
Di khazanah bacaan bocah negeri asing, kalkulator itu cerita mengharukan mengangkut keajaiban, sebal, malu, dan ratapan. Novel diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Annie Sang Manusia Kalkulator (2010). Novel gubahan Alexander McCall Smith. Pengisahan tokoh bocah perempuan bernama Annie. Di novel, Annie bukan murid bodoh tapi mengidap kelainan berkaitan pelajaran matematika. Annie mengetahui nama ibu kota dari puluhan negara. Ia hafal nama gunung tertinggi di dunia. Tanggal lahir George Washington pun teringat.
“Akan tetapi dalam pelajaran matematika, Annie tidak terlalu pintar. Kalau mau jujur, matematika sangat sulit untuknya. Sebagian besar orang tahu kalau 6 x 2 hasilnya adalah 12, tapi Annie tidak tahu jawabannya,” tulis Smith. Di hadapan matematika, “wajah Annie akan berubah menjadi pucat dan dia mulai bicara dengan gagap.” Hari-hari buruk di sekolah bagi Annie saat jam pelajaran matematika. Ia dipermalukan oleh teman-teman.
Gagal berpikir angka dan rumus, Annie mencoba menggunakan kalkulator milik bapak, tertinggal di meja makan pada malam hari. Eh, ia tetap saja gagal menemukan jawaban-jawaban atas sekian soal. Annie belum mengerti cara menggunakan kalkulator. Duh, kasihan! Pada kalkulator, Annie sebel. Pada menit-menit menjelang tidur, ia masih memegangi kalkulator. Mata sudah mengantuk. Kalkulator diselipkan di bawah bantal. Pada saat tidur, kalkulator itu bersinar menerpa kepala Annie.
Pagi, Annie pergi ke sekolah. Di kelas, guru melontarkan soal-soal matematika sulit, menantang para murid berani menjawab. Annie mengacungkan tangan duluan. Ia berhasil menjawab soal-soal semakin sulit. Guru dan murid-murid terperangah. Annie mendadak pintar! Kejutan itu berlangsung hari demi hari. Annie dipilih sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika. Ia sampai ke babak final meski kalah. Semua itu gara-gara ia terkena sihir kalkulator bersinar di bawah bantal. Pada peristiwa tidur, Annie mendapat keajaiban. Semua itu berkurang setelah sang bapak membuang kalkulator butut yang pernah digunakan Annie.
Novel itu bacaan bagi bocah-bocah berbahasa Inggris di Amerika Serikat dan Eropa. Novel datang di Indonesia menjadi “hiburan” dan petuah bagi bocah-bocah agar jangan terlalu bergantung pada kalkulator untuk belajar matematika. Kalkulator memang menggampangkan tapi murid wajib memiliki “kalkulator” di kepala, berharap semakin sakti, dari hari ke hari.
Pada masa 1980-an, perdebatan kalkulator berlangsung di Indonesia. Sekian pakar dan pendidik ingin mengharamkan tapi suara-suara lantang menginginkan murid-murid pintar berkalkulator. Episode itu tercatat di sejarah. Kalkulator tak cuma berupa benda pipih-persegi panjang. Kalkulator ada pula di jam tangan. Pada masa berbeda, kalkulator ada di ponsel. Kalkulator menular memberi kemudahan pencarian jawaban-jawaban.
Di Media Indonesia, 25 Agustus 2017, kita membaca berita pemuliaan kalkulator bagi bocah-bocah mengalami abad XXI. Berita mengenai kalkulator merek Casio dan kurikulum di Indonesia. Profesor di UGM mengusulkan pengharusan penggunaan teknologi kalkulator bagi murid-murid SMP dan SMA/SMK. Ia mengingatkan: “Tapi syaratnya, dengan kalkulator ini pelajaran harus lebih menarik, harus lebih mudah dipahami, dan digunakan sedemikian rupa dengan tidak menghilangkan proses.” Kalkulator itu mampu menghitung log algoritma dan standar deviasi, integrasi, dan diferensial. Kalkulator juga dilengkapi “fungsi tabel serta 40 konstanta rumus dan 40 konvensi matriks.”
* * *
Tempo
Kita mundur dulu di pengenalan kalkulator masa lalu. Dulu, kalkulator itu berada di bisnis. Kalkulator menghitung untung. Di majalah Tempo, 11 Agustus 1984, ada iklan mesin fotokopi. Orang dapat menghasilkan untung jika mau berbisnis menggunakan mesin fotokopi Xerox. Di iklan, ada bujukan “keuntungan” disimbolkan kalkulator. Setahun sebelum kalkulator itu untung, Bondan Winarno di kolom bertema bisnis mengabarkan penggunaan kalkulator. “Kalkulator dengan baterai tenaga surya yang berukuran setipis kartu nama sudah tidak merupakan benda asing – tukang kredit yang keluar-masuk kampung pun sudah punya,” tulis Bondan Winarno di Tempo, 20 Agustus 1983.
Pada masa 1980-an, iklan kalkulator sering dibuat Canon dimuat di puluhan edisi Tempo. Iklan bertokoh Albert Einstein. Di Tempo, 26 Mei 1984, iklan besar kalkulator: “Kalkulator Canon untuk Anda yang perlu hitungan serius dalam bisnis.” Iklan Canon muncul lagi di Tempo, 17 November 1984, dengan menampilkan jenis kalkulator berbeda. Pesan tetap sama: “Hitungan ilmiah serumit teori Einstein atau yang paling sederhana pun, keduanya merupakan pekerjaan serius. Gunakan kalkulator Canon dalam menyelesaikan administrasi dan keuangan yang memerlukan hitungan serius.” Ingat kalkulator, ingat tampang Albert Einstein.
Masa lalu, kita mengingat sekian merek kalkulator. Orang-orang bersaing dengan kepemilikan kalkulator. Benda itu gengsi. Benda itu penjawab. Di toko dan kantor, kalkulator wajib ada. Benda itu menggantikan kesusahan orang menghitung dengan bolpen di kertas-kertas berserakan. Kalkulator wajib ada di kasir dan bendahara. Kerja tanpa kalkulator, kepala mereka mungkin meledak. Kalkulator terlalu menentukan bisnis dan pendidikan di Indonesia, sejak masa 1980-an.
* * *
Kita berharap ibu-ibu tak menaruh kalkulator di dapur. Hitungan duit untuk belanja jangan dijadikan dalih mengundang kalkulator masuk dapur. Orang-orang kasmaran jangan membawa kalkulator di dalam kantong. Kalkulator bisa mengganggu kemesraan bagi lelaki suka mentraktir kekasih di warung makan atau restoran. Pacaran memang boros. Kalkulator bakal tersangka andai digunakan menghitung untung-rugi dari pengeluaran duit dan pemerolehan kemesraan. Asmara itu bukan kalkulator!
Di India, pastor Jesuit pernah memberi renungan berkaitan kalkulator. Renungan dari Anthony de Mello dalam buku berjudul Sejenak Bijak (1987). Renungan menggelitik dijuduli “Meditasi”. Halaman itu mengejutkan bagi orang mau berpikir sejenak di hadapan pengetahuan dan laku hidup. Ia mengajak kita ke renungan: Sang Guru bisa kagum seperti anak kecil/ terpesona oleh penemuan-penemuan modern./ Heran tidak habis-habisnya mengamati/ sebuah mesin hitung ukuran saku// Kemudia ia meledek,/ “Banyak orang yang rupanya punya mesin hitung saku/ tetapi di dalam saku tidak ada sesuatu/ yang pantas dihitung.”// Beberapa minggu sesudah itu,/ ditanya oleh seorang tamu,/ apa yang ia ajarkan pada muridnya,/ Guru menjawab,/ Mengurutkan prioritas secara benar./ Lebih baik memiliki uang daripada menghitungnya,/ lebih baik memiliki pengalaman daripada/ definisinya.
Renungan itu sudah dilupakan orang-orang demi mengerti dunia itu melulu duit. Para pembeli buku baru dan lama boleh membawa renungan itu setiap datang ke toko buku atau pasar buku loak. Bacalah sejenak, sebelum membuat keputusan lekas memiskinkan! Di Solo, orang-orang berlagak keranjingan menulis esai dan resensi sering cepat miskin di hari belanja buku. Duit tak cuma habis. Mereka sering berutang pada pedagang-pedagang di Gladak (Solo). Mereka berani berutang tanpa hitungan kalkulator dan selembar nota. Mereka sangat mengerti bakal mustahil berani berutang pada Gramedia dan Toga Mas. Pulang berutang, mereka membaca puluhan buku dan majalah. Hidup dijalani tanpa kalkulator. Miskin sekian hari ingin ditebus dengan pemuatan tulisan-tulisan di pelbagai koran dan situs-situs di internet. Mereka bukan “kaum kalkulator” tapi sulit mentas dari kere berkepanjangan. Konon, mereka sedang menunaikan misi dunia-akhirat dengan membaca dan menulis, tak merana gara-gara miskin. Mereka terus rajin berdoa agar buku-buku diperoleh dengan wajah semringah dan lega tiada tara. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022